Cara merayakan tahun baru yang lebih berkelas

Estimated read time 6 min read

Jakarta (Antara) – Era baru selalu sama bagi kelompok militer dan tentara. Memang baik untuk menginspirasi kegembiraan bersama, tetapi terlalu banyak kegembiraan dapat melupakan esensi liburan. Apalagi dalam rangka merayakan Tahun Baru Hijriah yang bermakna agar tidak ada yang tersesat dalam hiruk pikuk pesta.

Diketahui, Tahun Baru Hijriah merupakan saat Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah yang dahulu bernama Yatsrib. Pengertian Muharram sebagai bulan Hijrah Nabi, karena proses hijrah Nabi dimulai pada bulan Muharram setelah Nabi mengukuhkan baiatnya pada akhir bulan Dzulhijjah. Padahal sebenarnya hijrah resmi terjadi pada malam tanggal 27 Safar dan beliau sampai di Yatsrib pada tanggal 12 Rabi’ul Awal.

Oleh karena itu, Muharram diputuskan menjadi bulan pertama dalam penanggalan Islam ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar. Komitmen ini merupakan awal penanggalan Islam yang disebut tahun Hijriah.

Di Indonesia, puluhan tahun yang lalu, perayaan Tahun Baru Hijriah sepertinya tak kalah seru dan populer dengan perayaan Tahun Baru Masehi yang penuh dengan pesta kembang api dan kembang api serta terlihat di berbagai hari libur nasional.

Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu agama dan meningkatnya kualitas spiritual masyarakat, maka dalam beberapa tahun terakhir perayaan Tahun Baru Hijriah dengan berbagai kegiatan seperti zikir bersama, tabligh akbar dan pembagian obor semakin diperluas. Perkembangan ini sangat menggembirakan dari sudut pandang ghirah dan penyebaran agama.

Namun di sisi lain, kemeriahan perayaan Tahun Baru Islam menunjukkan maraknya ekstremisme agama dengan mengonsumsi hari raya serupa yang dianggap di luar Islam. Tumbuhnya egoisme agama di tengah masyarakat menyebabkan banyaknya umat Islam yang mengucilkan kelompoknya sendiri dan menganggap orang di luar kelompoknya sebagai kafir.

Ekstremisme memang identik dengan idealisme, padahal agama yang baik harus mengedepankan perdamaian dengan menghargai perbedaan dan menumbuhkan semangat toleransi. Memang baik bagi umat Islam merayakan Tahun Baru Hijriah, namun bukan berarti merayakan Tahun Baru Masehi dilarang dan langsung kafir.

Berbagai perayaan

Ada berbagai cara masyarakat merayakan tahun baru Hijriah sesuai syariat atau mengikuti tradisi dan budaya daerahnya, bagi yang ingin memahami inti peristiwa Hijriah Nabi (SAW).

Pada dasarnya tidak ada ajaran Islam yang mengatur adat istiadat khusus merayakan tahun baru Hijriah menurut syariat. Namun banyak amalan keagamaan yang dianjurkan pada bulan Muharram dan banyak manfaat positifnya, misalnya pada hari terakhir bulan Dzulhijjah, membaca doa terakhir tahun setelah Ashar dan kemudian membacanya di awal bulan. doa tahun ini. Pada malam 1 Muharram, setelah puasa sunah 1 Muharram, dan puasa Asyura pada hari kesepuluh bulan Muharram.

Adat istiadat ini semakin bertambah karena adanya persatuan di kalangan umat Islam dalam merayakan semangat tahun baru. Kita bisa menyaksikan upacara zikir besar-besaran, anjungan tambula dan salawat serta pertunjukan lampion tradisional warna-warni pada malam 1 Muharram. Di Jakarta juga ada yang namanya Mabit (Malam Bina Taqwa), yang diadakan di masjid-masjid, penuh dengan wacana keagamaan, dengan tujuan refleksi diri selama berada di tempat ibadah.

Perbedaan perbedaan budaya dan agama membuat perayaan Tahun Baru Hijriah sangat berbeda di berbagai tempat.

Di sebagian wilayah Jawa, peringatan malam 1 Muharram yang sering disebut 1 Suro lebih banyak mengandung makna tradisional (kejawan) dibandingkan keagamaan, bahkan ada yang menganggapnya mengandung unsur penyembahan berhala, seperti menunggangi kerbau yang disebut kiai. Salamet atau Kirab Kebo Bule, pencucian benda pusaka dan benda suci lainnya serta Padusan (mandi berkelompok di sumber air).

Ada pula tradisi sedekah Gunung Merapi yang dilakukan dengan cara mengangkat kepala kerbau dan berbagai hasil tanah, setelah itu masyarakat desa melayangkan kepala kerbaunya ke puncak gunung.

Sedangkan para abdi dalem Yogyakarta merayakan tahun Hijriah dengan mengelilingi keraton sejauh tujuh kilometer tanpa mengucapkan sepatah kata pun, menyebutnya Tappa Bisu. Sejarah tradisi ini dimulai di Paguyuban Abdi Dalem Keprajan Keraton Yogyakarta.

Tak jauh dari Yogyakarta, ada tradisi mengunjungi Gunung Tidar. Di kawasan Kebun Raya Gunung Tidar, kawasan Magelang, masyarakat berbondong-bondong mengunjungi makam para Syekh dan Kia penyebar Islam di Jawa seperti Syekh Subakir, Kiapangang, dan Kia Samar.

Banyak masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang mempunyai tradisi upacara Bubur Suro. Secara tradisional, bubur merah dan bubur putih diolah secara terpisah dan dibawa ke masjid dan disantap bersama untuk mempererat silaturahmi.

Sementara itu, pemerintah daerah di Sukabumi menyambut Tahun Baru Islam dengan lomba drum komunitas. Upacara ini disebut “Ngadulang”.

Selain di Pulau Jawa, kita mengetahui ada tradisi “Nnggugung” di Pangkalping, Bangka. Pada upacara Nngggugung, masyarakat datang ke masjid dengan membawa nampan berisi makanan dan lauk pauk untuk dinikmati bersama. Tradisi ini untuk mempererat tali silaturahmi dan kekeluargaan antar warga.

Sedikit berbeda dengan upacara “Tabuik” atau “Tabuik” di Pariaman, Sumatera Barat, yang diselenggarakan untuk merayakan Asyura pada tanggal 10 Muharram. Acara ini memperingati wafatnya Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.

Tradisi serupa juga digelar di Bekulu. Tabuik berasal dari kata Arab untuk peti kayu. Rangkaian aksi Tabuik dimulai dari tanggal 1 Muharram sampai dengan tanggal 10 Muharram. Pada tanggal 10 Muharram, Tabuik terlihat bersama masyarakat lalu dibuang ke laut.

Kolase foto warga desa merayakan Tahun Baru Islam 1446 Hijriah di Blitar, Jawa Timur. Sabtu (6/7/2024). Antara/Ho-Afif Sajidah. Kelas populer

Sebagian besar umat Islam di Tanah Air merayakan tahun baru pada Sabtu (6/7) malam. Tanpa memikirkan untuk meredam aliran kebahagiaan, luangkan waktu sejenak untuk merenungkan apakah kita menyambut tahun baru dengan prestasi keagamaan yang lebih besar dibandingkan 1 Muharram tahun lalu.

Hijrah bukan sekadar gerak, apalagi gerak fisik. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah mungkin tidak relevan untuk kita ikuti dengan baik, dengan asumsi negara kita dalam keadaan damai dan tidak ada ancaman atau campur tangan dalam kehidupan beragama. Padahal, pemerintah dan pemerintah mengakomodir kebutuhan umat Islam akan bangunan ibadah untuk memenuhi kebutuhannya.

Dalam konteks sekarang, Hijrah lebih tepat digunakan dalam kerangka Hijratun Nafsiyah dan Hijratul Amaliyah, yaitu migrasi spiritual dan intelektual. Seluruh rangkaiannya kita ikuti hingga akhir bulan Dzulhijjah dan perjalanan mencapai tingkat spiritualitas tertinggi. Jika kemarin Anda menghitung gaji sambil bekerja, sebaiknya Anda memulai tahun baru besok, bukan sekarang.

Tahun baru dan babak rohani baru, kami memahami bahwa ibadah yang ikhlas tidak perlu “dihitung” di sisi Allah (swt) termasuk berpuasa tanpa melupakan pahala surga. Cinta artinya “memberi” karena artinya mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dapatkan semua 1 Muhran dan satuan standar iman.

Yang tidak kalah pentingnya adalah aspek psikologis dari meditasi. Berkaitan dengan hal tersebut, ada kata-kata bijak Ali bin Abi Thalib: “Tidak ada harta yang lebih baik dari pada ilmu, tidak ada keadaan yang lebih menyakitkan dari pada kebodohan, dan tidak ada warisan yang lebih baik dari pada pendidikan.”

Dahulu Islam mengalami masa kejayaan karena lahirnya para ulama yang penemuan dan pemikirannya mempengaruhi peradaban dunia. Al Khawarizmi (ahli matematika yang menemukan Al Jabbar), Al Battani (astronom yang menemukan tahun 365 hari), Ibnu Al Haytham (ahli fisika yang menemukan optik), Ibnu Sina (ilmuwan di bidang kedokteran), dan masih banyak lagi. yang lain.

Apa kontribusi kita terhadap pembangunan negara, masyarakat dan peradaban generasi akhir zaman? Bisakah kita tetap berpuas diri dan tidak peduli sambil membiarkan budaya dan teknologi asing mengubah peradaban?

Selama Anda tidak tersesat dalam kemeriahan dan lupa menyelidiki sifat Hijrah, tidak ada salahnya merayakan tahun baru dengan mengikuti tradisi daerah tempat Anda tinggal. Mari kita pergi ke bagian iman dan peradaban terbaik!

Selamat Datang Zikir dan Tahun Baru 1446 Hijriah di Pondok Pesantren Rudoh Al-Hikam Sibinong Bogor – Jawa Barat. Sabtu (6/7/2024). Antara/Sizuka

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours