API sebut perlu arah jelas untuk tangani industri tekstil dalam negeri

Estimated read time 2 min read

Solo (ANTARA) – Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan perlu adanya pedoman jelas dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan industri TPT dalam negeri agar tidak menyusut.

Departemen Sumber Daya Manusia API Harrison Silaen di Solo, Jawa Tengah, Selasa mengatakan, jika pemerintah masih menganggap penting industri TPT, berarti perlu dilakukan upaya untuk melindunginya.

“Mari kita bekerjasama dengan seluruh institusi dalam menjaganya, kita tahu ada sekitar 20 kementerian dan lembaga yang terkait dengan industri TPT yang mempunyai kepentingan,” ujarnya.

Selain itu, kata dia, ada aturan bagi setiap konsumen sehingga kondisi tersebut membuat industri pakaian jadi sulit berkembang.

Jadi semua aturan dunia ada, kita akan sulit bersaing atau bersaing dengan luar negeri, ujarnya.

Di sisi lain, menurutnya, API juga berupaya berkomunikasi dengan negara lain dan meningkatkan kinerja di sektor industri.

Ia mengatakan, pemain tradisional di bisnis pakaian jadi saat ini sedang dalam kondisi yang buruk. Faktanya, jika melihat situasi sembilan tahun terakhir, ia mengatakan situasi pada 2023-2024 akan menjadi yang terburuk bagi sektor tekstil rumah tangga.

“Banyak faktor yang mempengaruhi keadaan ini, antara lain faktor pasar, teknologi, regulasi dan lain-lain,” ujarnya.

Dalam acara yang sama, Wakil Ketua API Jawa Tengah Liliek Setiawan mengatakan, kondisi geografis, khususnya krisis Eropa akibat perang Ukraina dan Rusia, menjadi salah satu penyebab lesunya pasar di kawasan. .

“Ini merupakan guncangan terhadap perekonomian, guncangan yang buruk. Hal ini dipicu oleh penurunan pasar akibat perubahan prioritas belanja,” ujarnya.

Selain itu, kata dia, Indonesia bukan satu-satunya negara yang memproduksi atau mengekspor pakaian.

Di sisi lain, menurut dia, industri pakaian dalam menghadapi predatory pricing atau strategi ilegal menjual produk di bawah harga yang merupakan salah satu trik bisnis yang bertujuan monopoli.

Oleh karena itu, tantangannya tidak hanya dari faktor eksternal, tetapi juga dari dalam negeri, termasuk masalah regulasi. Situasi saat ini disebut-sebut sebagai yang terburuk dalam sembilan tahun terakhir bagi dunia tekstil,” ujarnya.

Padahal, kata dia, jika tidak dikendalikan, predatory pricing akan mematikan UMKM.

“Jadi bukan hanya industri besar saja, tapi UMKM juga. Kalau UMKM berdampak berarti dampaknya sudah besar. Apalagi pelaku ekonomi kita 95 persen adalah pengusaha besar dan besar,” ujarnya.

Ia mengatakan, konsistensi diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, terutama dari sisi regulasi.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours