Final Euro 2024: Trofi keempat Spanyol atau piala perdana Inggris?

Estimated read time 5 min read

Jakarta (ANTARA) – Spanyol mengincar menjadi tim pertama yang empat kali menjuarai Piala Eropa, sedangkan Inggris mengincar trofi Eropa pertamanya saat bertemu di final Euro 2024, Senin pagi di Stadion Olimpiade Berlin. 02.00 WIB.

Sebelumnya, La Roja sudah empat kali mencapai final Euro, yakni pada tahun 1964, 1984, 2008, dan 2012 dengan hanya final Euro terakhir pada tahun 1984 yang gagal mereka menangi.

Di sisi lain, ini merupakan Piala Eropa kedua yang dinikmati Inggris setelah Euro 2020. Belum ada manajer Inggris yang bisa menandingi Gareth Southgate untuk mengantarkan The Three Lions ke final dua turnamen besar.

Southgate menjadi manajer kedua setelah Sir Alf Ramsey yang membawa Inggris ke final kompetisi. Southgate gagal di Euro 2020, sedangkan Ramsey sukses menjuarai Piala Dunia 1966.

Jika mampu membawa Inggris mengalahkan Spanyol, Southgate akan membandingkan Ramsey sebagai manajer yang membawa Inggris mengangkat piala besar sepak bola.

Dia bisa mengakhiri rekor 58 tahun tidak memenangkan Piala Dunia atau Piala Eropa, yang bisa membawanya memenangkan gelar ‘Master’ seperti yang diberikan kepada Alf Ramsey.

Ini mungkin trofi pertama bagi Harry Kane, yang tampil sangat baik di Liga Premier dan Bundesliga tetapi belum mengangkat trofi tersebut.

Sebaliknya, bagi Luis de la Fuente, menyelesaikan lawatan Spanyol ke Piala Eropa dengan memenangi enam pertandingan terakhir secara reguler, menjadikannya manajer pertama yang menjuarai Piala Eropa dengan rekor kemenangan sempurna sepanjang masa.

Ia juga akan bergabung dengan jajaran pelatih top Spanyol yang telah memenangkan kejuaraan besar bersama Jose Villalonga, Vicente del Bosque dan Luis Aragones.

Dia akan dikenang sebagai pelatih yang menyatukan tim yang umumnya kurang cemerlang, namun akhirnya menang. De la Fuente versi Spanyol bahkan tidak diunggulkan untuk menjuarai Euro 2024 sejak awal.

Halaman selanjutnya. Perjalanan Spanyol ke final berjalan persuasif, sementara Inggris tersandung Persuasion vs. godaan

Meski tak bertabur bintang seperti Inggris, tur anak asuh de la Fuente sangat meyakinkan.

Sebelum pertandingan terakhir, mereka memenangkan seluruh enam pertandingan, lima di antaranya tanpa perpanjangan waktu. Tidak ada pertandingan yang berakhir dengan adu penalti.

Sebaliknya, Inggris hanya dua kali memenangi laga dalam 90 menit waktu normal, bahkan Swiss terpaksa mengambil penalti di kuarter terakhir.

Faktanya, lawan Inggris lebih ringan dibandingkan tim Spanyol.

Belanda mungkin menjadi lawan terberat Inggris, namun Spanyol mencapai final setelah mengalahkan Italia, Jerman, dan Prancis, serta kuda hitam Kroasia.

Hebatnya, tujuh dari delapan gol Spanyol berbanding empat terjadi melalui permainan terbuka.

Sebaliknya, Inggris seharusnya tersandung lebih dulu. Mereka terpaksa bermain imbang dengan Denmark dan Slovenia, dan nyaris kalah dari Slovakia jika bukan karena dua gol di menit-menit terakhir.

The Three Lions pun harus mengandalkan penalti kontroversial untuk mengalahkan Belanda di semifinal.

Tim Inggris mencetak 7 gol dan kebobolan 4 gol dari 66 gol, 19 di antaranya masuk gawang.

Sebaliknya, La Roja mencetak 13 gol dan kebobolan 3 gol setelah menciptakan 108 peluang, 37 di antaranya tepat sasaran.

Kesuksesan Spanyol dibangun berdasarkan filosofi sepak bola yang memaksa lawan kehilangan fokus dalam menyerang dan kehilangan bola. Namun Spanyol akan kesulitan untuk mengalahkan Inggris.

The Three Lions sangat mengandalkan fisik, mengejar bola, dan bermain lebih efisien dibandingkan Spanyol.

Balapan The Three Lions juga melewati La Roja dengan perbandingan 737 km dan 723 km. Ada juga operan yang lebih efisien di Spanyol, 3.593 berbanding 3.202.

Inggris juga punya senjata yang harus diwaspadai Spanyol, yaitu stamina, yang kerap membuat mereka kesulitan. Mereka berkali-kali diselamatkan oleh gol-gol di menit-menit terakhir.

Halaman selanjutnya. Di atas kertas, Spanyol dan Inggris berimbang

Spanyol lebih suka menyerang lawan seperti mereka, namun saat menghadapi Italia dan Jerman, menampilkan permainan menyerang, La Roja justru mendapat tekanan.

Mereka harus mengandalkan gol ketika mengalahkan Italia dan menjadi tim yang lebih mendapat tekanan saat menghadapi Jerman di perempat final.

Dalam beberapa hal, Inggris bermain seperti Italia dan Jerman, dan bahkan di bawah asuhan Southgate mereka menunjukkan gaya menyerang sepak bola tiki-taka yang diincar La Roja. Bukti terakhirnya datang saat mereka menyingkirkan Belanda di semifinal.

Tiki taka adalah semangat olahraga Spanyol yang diadopsi dari gaya permainan Barcelona.

Ironisnya, tiki-taka tidak akan kemana-mana di Spanyol musim ini, karena Real Madrid yang berbeda dengan tiki-taka seperti Inggris sebelum era Southgate justru sukses di La Liga dan Liga Champions.

Di sisi lain, tiki taka berkembang pesat di Inggris seiring Manchester City kembali menjuarai Liga Inggris.

Dari sini mungkin salah satu hal terpenting dalam permainan ini adalah bagaimana kedua tim memandang permainan lawannya.

Dalam hal ini, Inggris mempunyai pesepakbola yang paham betul dengan permainan Spanyol.

Mereka memiliki Jude Bellingham, yang merupakan center utama Real Madrid, dan mantan pemain Atletico Madrid, Kieran Trippier, yang tahu cara menangkap dan membunuh tiki-taka. Mereka juga memiliki Kyle Walker dan Phil Foden yang bisa memainkan tiki taka.

Di sisi lain, Spanyol hanya memiliki sedikit referensi untuk memahami permainan Inggris secara utuh, selain Rodri yang merupakan pendukung stadion Spanyol dan Manchester City.

Rodri yang merupakan penyelenggara pertandingan La Roja akan bertarung bersama Declan Rice seperti yang sering terjadi di Premier League. Kedua gelandang ini memainkan peran kunci untuk Spanyol dan Inggris, serta City dan Arsenal.

Terjadi lagi pertarungan sengit antara kedua sayap dan kedua sayap pertahanannya.

Keunggulan Inggris lainnya adalah timnya memiliki delapan pemain yang pernah tampil di final Euro 2020, hanya Jesus Navas yang memiliki kualitas yang dimiliki 8 pemain tersebut.

Pengalaman tersebut bisa menjadi pengalaman yang sangat menentukan, terutama ketika para pemain Inggris termasuk Bukayo Saka mengatasi kutukan penalti dalam kemenangan perempat final mereka atas Swiss. Jika laga ini harus dilanjutkan ke adu penalti, Inggris akan menjadi tim yang berpeluang menang.

Yang pasti, menurut Luis de la Fuente, tim yang mampu mengatur pasukannya dengan baik dan sesedikit mungkin melakukan kesalahan akan memenangkan pertandingan ini.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Lamine Yamal dan Nico Williams yang membobol pertahanan Inggris ataukah Saka, Bellingham, dan Phil Foden yang mengganggu lini belakang Spanyol, salah satunya adalah pemain sayap kanan yang menua, Jesus Navas.

De le Fuente kemungkinan besar akan kembali menggunakan formasi 4-3-3, sedangkan Southgate tetap mempertahankan formasi 3-4-2-1 yang berhasil ia pesan dan hilangkan saat melawan Belanda.

Ini merupakan pertemuan keempat kedua tim di turnamen besar setelah Piala Dunia 1950, Piala Dunia 1982, dan Euro 1996. Mereka hanya sekali bermain dan seri dalam tiga pertandingan tersebut.

Dari situ nampaknya kedua tim sudah lama sama-sama mampu menentukan final Euro 2024 dengan adu penalti seperti final Euro tiga tahun lalu.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours