DJP Jabar: Modus pelanggaran perpajakan terbesar berupa faktur TBTS

Estimated read time 2 min read

Bandung Barat (ANTARA) – Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Jawa Barat mengungkapkan bentuk pelanggaran perpajakan mayoritas atau terbesar adalah berupa penerbitan faktur pajak. yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (TBTS).

Kepala Kanwil DJP Jabar I Kurniawan Nizar mengatakan, di Jabar bahkan seluruh Indonesia, yang paling besar secara umum adalah kenaikan biaya dan faktur pajak fiktif, namun besarannya berbeda-beda antar kanwil.

“Kalau Kanwil Jabar I kebanyakan menerbitkan faktur pajak TBTS atau dokumen transaksi palsu. Lalu membengkakkan biaya dan menyembunyikan pemasukan,” kata Kurniawan di Bandung Barat, Rabu.

Hal serupa juga diungkapkan Kepala Kanwil DJP Jabar II Harry Gumelar yang mengatakan penerbitan faktur pajak kepada TBTS merupakan pelanggaran tertinggi di wilayahnya yang pelakunya adalah pengusaha kena pajak.

“Jadi bisa orang perseorangan, badan hukum, atau korporasi, pengusaha pasti punya pajak, karena merekalah yang bisa menerbitkan surat-surat perpajakan. Soalnya, menerbitkan invoice itu berbeda dengan penjualan barang,” imbuhnya. . dia berkata.

Atas berbagai pelanggaran perpajakan sepanjang tahun 2022 hingga saat ini, Kanwil DJP Jabar I, II dan III bersama Kejaksaan dan Kepolisian telah menghemat kerugian penerimaan negara kurang lebih Rp79,3 miliar dari 22 tersangka. Rinciannya adalah Kanwil DJP Jabar I (Rp 19,16 miliar), Kanwil DJP Jabar II (Rp 19,07 miliar), dan Kanwil DJP Jabar III (Rp 41,07 miliar).

“Umumnya kerugian yang dicatat dan diamankan disertai dengan denda, sehingga kerugian negara bisa dibagi,” ujarnya.

Terkait penegakan peraturan perpajakan, Kepala Kantor Wilayah DJP Jawa Barat III Romadhaniah mengatakan penegakan hukum perpajakan penting dilakukan karena memberikan keadilan kepada wajib pajak dengan memastikan siapa pun yang dengan sengaja mengelak dari kewajiban perpajakannya harus dipertanggungjawabkan demi hukum. sesuai dengan peraturan yang berlaku.

“Penegakan hukum perpajakan memberikan efek jera dan mencegah penggelapan pajak di kemudian hari dengan memastikan setiap tindakan penggelapan pajak terdeteksi dan dituntut,” kata Romadhaniah.

Kata dia, DJP selalu mengedepankan asas Ultimum Remedium dalam menangani perkara dugaan tindak pidana perpajakan.

Kemudian, menurutnya, hukuman tersebut merupakan upaya terakhir karena tersangka masih diberi kesempatan untuk menggunakan haknya, yaitu pembayaran utang pajak yang kurang atau kurang dibayar, dan penambahan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku. undang undang Undang. .

“Jika wajib pajak menggunakan hak tersebut, maka tersangka dibebaskan dari tuntutan pajak,” ujarnya.

Sementara itu, Aspidsus Kejaksaan Jabar Agus Arfianto mengungkapkan, negara membuka opsi bagi pelanggar pajak untuk mendapatkan pengembalian denda mulai dari penyidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan hingga penjatuhan hukuman.

“Setelah putusan inkracht, apabila terdakwa tidak membayar denda pidana, maka hartanya dapat diambil oleh penuntut umum dalam lelang. Penegakan hukum perpajakan merupakan upaya ultimum Remedium,” kata Agus.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours