Pelaku Industri Tekstil: Saat Ini Trennya Bukan Lagi PHK, Tapi Menutup Pabrik

Estimated read time 2 min read

JAKARTA – Gelombang aksi mogok massal yang melanda sektor industri tengah mendapat sorotan. Ratusan ribu pekerja terpaksa dirumahkan oleh industri tekstil dan tekstil (TPT), seiring anjloknya penjualan di tengah gencarnya barang impor yang membanjiri Indonesia.

Ketua Pengurus Besar Asosiasi Produsen Serat Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menjelaskan, keadaan yang diiklankan hanya terlihat di permukaan. Ia mengatakan, yang terjadi di sektor TPT adalah penutupan pabrik yang menyebabkan dunia usaha tutup.

“Saat ini trennya bukan lagi PHK, tapi penutupan pabrik, karena perusahaan mempekerjakan sisa pekerja sehingga sekaligus melakukan PHK sekaligus menutup pabrik,” kata Gita kepada MPI, Jumat (14). . / 6/2024).

Ia melanjutkan, tren gulung tikarnya sektor sandang akan terus terjadi selama pemerintah tetap mempertahankan kebijakan yang berpihak pada importir.

“Penyakit ini akan terus berlanjut sampai ada undang-undang perbaikan pasar dari pemerintah, selama pemerintah terus mendukung pedagang dari luar negeri, maka penutupan pabrik ini akan terus berlanjut,” jelas Gita.

Ia mengatakan, keadaan semakin buruk sejak awal tahun 2024 ketika Kementerian Perdagangan menerbitkan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang mengutamakan fasilitasi ekspor agar pasar industri TPT kembali ke non dalam negeri.

“Sejak ada Peraturan Menteri Perdagangan No. 8 Tahun 2024, ada ide relaksasi dari luar negeri, sehingga banyak merek lokal yang kembali ke barang impor, industri tekstil merasa sudah tidak ada harapan dan arus kas buruk, jadi. beberapa perusahaan memutuskan menutup pabriknya dan memecat sisa pekerjanya,” kata Gita.

Sekadar informasi, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPN) Ristadi menjelaskan, penurunan produk TPT karena kalah bersaing dengan barang impor, terutama yang berasal dari China.

“Pabrik-pabrik yang memotong kain-kain tersebut berusaha bertahan dengan menjual produknya, namun gagal menjual terutama di pasar lokal,” jelas Pak Ristadi.

“Produknya tidak laku karena kalah bersaing harga dengan produk luar negeri TPT, terutama dari China sehingga tidak bisa bertahan,” lanjut Ristadi.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours