Polusi Udara Meningkatkan Serangan Asma, Kemenkes Fokus Perkuat Layanan Primer

Estimated read time 4 min read

JAKARTA – Menteri Koordinator Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan kenaikan biaya bantuan medis yang signifikan diperkirakan mencapai Rp38 triliun akibat cuaca buruk. Polusi ini meningkatkan prevalensi penyakit pernafasan, seperti asma, yang merupakan salah satu penyakit utama dunia.

Kepala Departemen Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid menekankan pentingnya untuk tidak menganggap remeh dampak polusi udara terhadap kesehatan. Terutama asma. Menurut data dari Global Burden Diseases 2019 Diseases and Injuries Collaborators, asma termasuk di antara lima penyakit pernapasan utama di dunia, bersama dengan penyakit paru obstruktif (COPD), pneumonia, kanker paru-paru, dan tuberkulosis.

Prevalensi asma di Indonesia mengkhawatirkan, sekitar 7 persen, dan sekitar 18 juta orang akan terkena asma pada tahun 2022. Penyakit ini diperparah dengan tingkat polusi yang mengkhawatirkan, sehingga harus diambil tindakan segera dan tegas untuk melindungi kesehatan masyarakat. Pemerintah meresponsnya dengan memperkuat layanan kesehatan dasar. Hal ini termasuk penyediaan peralatan spirometri ke pusat kesehatan masyarakat dan pelatihan dokter untuk mendiagnosis asma.

“Polusi udara dapat menyebabkan penyakit asma, sehingga pemerintah akan fokus pada penguatan pelayanan dasar agar dapat mendiagnosis asma dan mengobatinya serta bertujuan agar penderita asma dapat mengakses layanan kesehatan yang tepat dan berkualitas,” kata Nadia.

“Di antara upaya penguatan puskesmas adalah penyediaan peralatan spirometri untuk puskesmas. Spirometri mulai digunakan oleh tenaga kesehatan terlatih, meningkatkan kapasitas dokter dalam mendiagnosis asma dan memastikan pasien memiliki akses terhadap obat-obatan yang tepat. untuk manajemen kesehatan,” lanjutnya.

Namun tantangan besar masih tetap ada, seperti kurangnya obat-obatan di fasilitas kesehatan masyarakat. Banyak pasien asma dirawat di rumah sakit, sehingga meningkatkan biaya dan masalah kesehatan. Kementerian Kesehatan dan pemangku kepentingan memperkuat fasilitas kesehatan dasar agar dapat mengobati penyakit seperti asma dengan lebih baik.

“Yang tidak termasuk dalam kekuatan 144 penyakit, padahal gejala klinisnya semakin parah, penyakitnya semakin meningkat, fasilitas dan sarana untuk mengobatinya belum ada, dan obat-obatan yang dibutuhkan ada dalam kekuatan FKRTL,” kata Nadia.

Ketua Pokja Asma dan PPOK Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr. Budhi Antariksa, SpP(K) mengatakan, obat-obatan yang tersedia di puskesmas hanya untuk penatalaksanaan asma akut dan tidak dapat digunakan untuk penatalaksanaan asma jangka panjang, karena obat tersebut diresepkan untuk pasien di rumah sakit dan memiliki akses terhadap obat yang tepat.

Meski asma merupakan pengetahuan dasar dokter umum di puskesmas, PDPI mengingatkan pemerintah agar obat inhalansia disediakan di puskesmas. “Memang para ahli mempunyai pengetahuan tentang 144 penyakit, termasuk asma, namun jika di puskesmas tidak ada obat kontrol, sebaiknya dokter puskesmas mengunjungi pasien asma di rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan khusus sesuai anjuran BPJS,” kata pernyataan itu. . Pikiran.

Kurangnya obat-obatan yang terkontrol di fasilitas kesehatan masyarakat merupakan salah satu penyebab utama tingginya biaya pengobatan asma dan peningkatan risiko asma yang tidak terkontrol. “Jika obat pengontrol penting ini tidak tersedia di puskesmas, risiko asma akan terus meningkat dan lebih dari 57,5 ​​persen pasien asma akan berakhir di IGD dan memerlukan perawatan khusus di rumah sakit karena penyakitnya tidak terkontrol. ,” kata Budhi.

Senada dengan PDPI, Kemenkes juga menegaskan, jika tidak ada pelaku bunuh diri di puskesmas, sebaiknya dokter merujuk pasien ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan khusus, sesuai indikasi medis. Strategi-strategi ini dirancang untuk memastikan bahwa penderita asma menerima perawatan komprehensif dan akses dini terhadap intervensi medis yang tepat, serta memperkenalkan pedoman medis baru untuk pengobatan asma.

Selain itu, hasil kajian Pusat Studi Kebijakan Ekonomi dan Kesehatan Universitas Indonesia (CHEPS UI) melakukan kajian penguatan pengobatan yang tersedia di puskesmas untuk satu di antara 144 penyakit yang mempunyai kekuatan umum. praktisi, seperti diabetes. . CHEPS UI mengatakan peralihan terapi insulin dari rumah sakit ke puskesmas dapat mengurangi beban biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk pengobatan diabetes sebesar 14 persen, hingga atau 17 persen per tahun. Padahal penghematan anggarannya sekitar Rp 22 triliun (2024-2035), atau setara penghematan Rp 1,7 triliun per tahun.

“Dalam upaya peningkatan kapasitas pelayanan kesehatan dasar, kami mengajak para pemangku kepentingan khususnya tenaga kesehatan dan kelompok profesi untuk bersama-sama mendukung penguatan fasilitas kesehatan primer (FKTP). Semua pasien mendapatkan perawatan dan dukungan yang diperlukan untuk penanganan penyakit yang efektif, ” pungkas Nadia.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours