Spirit Advokasi Anti-Amerika

Estimated read time 5 min read

Anak Agung Banyu Parvita

Kepala Kajian Pertahanan

Siswanto Rushdie

Disutradarai oleh Namarin

Buku ini pada dasarnya mencoba mencari jawaban ideal apakah suatu negara yang menjalin kerja sama militer dengan negara lain dan membuka pangkalan militer semakin menggerogoti kedaulatannya.

Baca Juga: Buku Susuk Kapal Borobudur Cover Gaya Asik Kafe Bumi Sitarika

Di dunia dan kawasan saat ini, dalam konteks dinamika geopolitik yang berkembang, isu-isu di atas menjadi semakin relevan untuk diperdebatkan, sementara politik kekuasaan telah menjadi formula untuk mempertahankan eksistensi negara-bangsa. Lebih spesifiknya, buku ini berupaya mengkritisi kebijakan luar negeri dan pertahanan Filipina dan Amerika Serikat (AS) terkait keberadaan pangkalan militer Amerika di Filipina.

Jika dilihat lebih dalam, hubungan AS-Filipina pada dasarnya dibangun di atas hubungan sejarah yang panjang dan budaya yang kuat serta nilai-nilai demokrasi yang sama. Misalnya, Perjanjian Pertahanan Bersama AS-Filipina tahun 1951 memberikan landasan yang kuat bagi kemitraan pertahanan kedua negara. Mentalitas Perang Dingin saat itu menjadi argumen utama pendirian pangkalan militer AS di Filipina.

Sementara itu, pada tahun 2014, Filipina memperdalam kerja sama pertahanannya dengan Amerika Serikat melalui pembentukan “Enhanced Defense Cooperation Agreement” (EDCA). Tujuan EDCA adalah untuk meningkatkan kemampuan pertahanan Angkatan Bersenjata Filipina dalam melawan ancaman militer Tiongkok di Laut Cina Selatan. Untuk menanggapi aktivitas dan ekspansi Tiongkok di Laut Cina Selatan, EDCA dipandang sebagai opsi pencegahan yang paling mungkin dilakukan, dan oleh karena itu Filipina perlu menanggapi agresi Tiongkok di wilayah yang disengketakan.

Sebelumnya, Filipina dan Amerika Serikat telah menjalin beberapa kerja sama pertahanan yang mencakup kedua negara dalam aliansi militer di kawasan Asia Tenggara, yang dituangkan dalam Perjanjian Pangkalan Militer tahun 1947, Perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1951, dan Perjanjian Kekuatan Kunjungan. tahun 1947. 1998. Sementara itu, EDCA rencananya akan disahkan oleh Parlemen Filipina pada tahun 2015-2016.

Perjanjian tersebut, yang ditandatangani pada tahun 2014, dianggap sebagai perjanjian eksekutif antara mantan Menteri Pertahanan Filipina Walter Gazmin dan mantan Menteri Pertahanan AS dan Duta Besar untuk Filipina Philip Goldberg. Akhirnya, pada 12 Januari 2016, Mahkamah Agung Filipina meneguhkan konstitusionalitas perjanjian tersebut, mengizinkan kedua negara untuk bekerja sama di bidang pertahanan dan mengizinkan Amerika Serikat memulihkan pangkalan militernya di Filipina.

Dinamika diplomasi pertahanan dan kerja sama pertahanan bilateral kedua negara semakin mendalam ketika Menteri Luar Negeri AS Blinken dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin menjamu Filipina dalam pertemuan tingkat menteri “2+2” pada April 2023.

Pertemuan tersebut merupakan lanjutan dari kunjungan Presiden Marcos Jr. ke Amerika Serikat dan kunjungan kerja resmi Presiden Joe Biden selama empat hari pada awal Mei 2023. Kerja sama pertahanan antara kedua negara telah menghasilkan konsekuensi politik global dan sejumlah perkembangan khusus. Kemajuan militer adalah milik Tiongkok.

Baca juga: Bacaan Buku Dunia dan Indonesia

Diplomasi pertahanan antara Amerika Serikat dan Filipina telah berkembang dari sistem interaksi dan keterlibatan sederhana antara kedua negara untuk mengatasi masalah keamanan dan pertahanan bersama menjadi aliansi militer yang kompleks dalam hubungan antarnegara. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya aliansi politik dan militer yang dimanfaatkan kedua negara sebagai upaya kerja sama keamanan dan pertahanan kolektif di kawasan.

Diplomasi pertahanan merupakan alat penting untuk mencapai tujuan keamanan nasional dan regional baik bagi negara maupun negara lain di kawasan. Bangkitnya kekuatan-kekuatan regional seperti Tiongkok dan India telah mengubah lanskap keamanan di kawasan, meningkatkan potensi persaingan dan konflik antar negara-negara besar. Selain itu, sengketa maritim di Laut Cina Selatan, Laut Cina Timur, dan Laut Jepang Timur juga menjadi sumber ketegangan.

Hal-hal di ataslah yang mendorong AS meyakinkan Filipina untuk membangun pangkalan militer. Sementara itu, pembukaan pangkalan militer AS ini tidak hanya akan menimbulkan ketegangan baru dan perlombaan senjata di kawasan, tetapi juga melemahkan konsep ASEAN Jopfan (Zona Damai, Kebebasan, dan Netralitas) yang juga telah disepakati oleh Filipina pada tahun 2015. . tahun 1971.

Oleh karena itu, sesuai dengan judul buku ini, pembukaan pangkalan militer asing (AS) di Filipina justru akan menjadi sumber ketidakamanan baru tidak hanya bagi Filipina tetapi juga bagi negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Saat ini, kedua negara tampaknya berusaha mempertahankan mentalitas Perang Dingin dalam sistem internasional yang semakin multipolar.

Faktanya, kedua negara telah menciptakan “mentalitas Perang Dingin baru” di kawasan Asia Tenggara, yang tentunya akan memperkuat kembalinya politik kekuasaan. Situasi seperti ini juga mengancam posisi sentral ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara yang selalu mengutamakan cara-cara damai dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di kawasan dan selalu berusaha bertindak adil dalam persaingan antar kekuatan besar (great power Competition).

Buku “The Basis of Our Insecurity” tidak hanya memiliki kerangka teoritis dan sejarah yang sangat menyeluruh, tetapi juga anti-Amerikanisme, yang penulisnya adalah salah satu aktivis cinta damai. Filipina. Orang yang bersangkutan, dengan dosis yang tepat, mampu menggabungkan dua bidang: kesadaran akademis dan masalah kehidupan. Sehingga ia menjadi tokoh yang menentang keberadaan pangkalan militer asing di negaranya.

Baca juga: Buku Bergambar dari Tiongkok Dirilis

Simbulan prihatin dengan keberadaan pangkalan Amerika di negaranya. Sebab, keberadaan mereka membuat Filipina dilema. Saat ia menulis, “Pangkalan militer AS di Filipina baru-baru ini digunakan sebagai dalih untuk meningkatkan bantuan militer dan ekonomi AS secara besar-besaran. Oleh karena itu, ‘Bantuan’ kepada pemerintah Filipina dibenarkan sebagai ‘pembayaran’ untuk kelanjutan akses ke pangkalan dan AS. fasilitas militer (hal. 231) .

Secara ekonomi, lanjut Roland di halaman 251, markas Paman Sam tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan terhadap lingkungan sekitar. Kekayaan yang diperolehnya sangat besar. Parahnya, harga diri kita sebagai bangsa digadaikan, perempuan ditindas, dan sebagainya.

Berkaca dari penjelasan Simbulan, kita berharap Indonesia bisa jatuh ke dalam perangkap Amerika dan tidak tergoda untuk meninggalkan pulau-pulau yang ada sebagai pangkalannya. Kita harus mengingatkan mereka karena kelompok neoliberal pro-AS sudah berkuasa. (*)

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours