Kisah Din Minimi Panglima GAM Kembali ke Pangkuan NKRI Setelah Didatangi Langsung Sutiyoso

Estimated read time 4 min read

JAKARTA – Din Minimi merupakan pimpinan kelompok bersenjata mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Din Minimi, yang bernama asli Nurdin Ismail, menjadi pemimpin GAM yang paling dicari sejak penandatanganan Perjanjian Helsinki di Finlandia pada 15 Agustus 2005.

Perbuatannya sungguh meresahkan masyarakat dan aparat. Tak sedikit masyarakat dan aparat keamanan yang menjadi korban kebiadaban kelompok ini.

“Din Minimi, kelompok GAM masih ada 120 orang. Nama aslinya Nurdin, sedangkan Minimi nama senjata kerasnya. Sudah empat tahun lebih dia diburu aparat,” kata Letjen TNI (purn) ) ) Sutiyoso di channel YouTube Refly Harun, dikutip SINDOnews, Kamis (27/10/2022).

Tak ingin semakin banyak korban yang berjatuhan, Sutiyoso yang saat itu menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) diminta untuk meredam pergerakan eks pejuang GAM Din Minimi di Aceh. “Saya kira di Aceh tidak aman. dan Papua “Itu hanya grup, jadi saya selesaikan dulu,” kenang Sutiyoso.

Mantan Wadanjen Kopassus memutuskan untuk langsung terjun ke lapangan operasi. Ditemani dua anak buahnya yakni Kapten Desna dan Sersan Wayan, pria yang akrab disapa Bang Yos itu kemudian masuk ke dalam hutan untuk mencari tempat persembunyian Din Minimi.

Pria kelahiran Semarang yang sarat pengalaman tempur ini terus mempertaruhkan nyawanya di pedalaman gurun Aceh untuk menunaikan tugas mulia mengabdi pada negara. Di usianya yang tak lagi muda, mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengajak sisa-sisa kelompok bersenjata untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Pangdam Jaya Purba akhirnya berhasil menemukan markas Din Minimi di tengah hutan setelah menempuh perjalanan jauh melalui medan yang berat. “Saat saya sampai di kabinnya sekitar pukul 06.30 WIB, keadaan di tengah hutan sudah gelap. Dia memakai baju kamuflase, celana kamuflase dan senjatanya ditembakkan,” ujarnya.

Panglima Kodam Jaya mengatakan, situasi semakin mencekam karena Din Minimi tidak sendirian. Pemimpin kelompok bersenjata itu didampingi ratusan pengikutnya yang bersenjata lengkap. Mereka segera mengepung Bang Yos bersama dua orang anak buahnya.

“Pada akhirnya, kami hanya bertiga. Ayo pergi ke tempatnya. Dikelilingi oleh 120 orang di Din Minimi. Jika kamu ingin menjadi populer, bunuh aku atau sandera aku, tapi aku bukan orang bodoh (ikatan tidak bijaksana). “Saya punya latar belakang, saya punya keyakinan itu,” jelasnya.

Dalam situasi pengepungan, Sutiyoso yang memiliki kemampuan intelijen dan terbiasa menangani situasi kritis di lapangan operasi tidak kenal takut. Dengan pistol terkokang dan siap ditembakkan, Sutiyoso mengajak rombongan berdialog.

“Saat itu saya membawa pistol, anak buah saya membawa AK. Saya juga membawa magasin cadangan lengkap, dicelupkan dan dikunci. Untuk berjaga-jaga,” ujarnya.

Dengan tenang dan penuh perhatian, Bang Yos menerapkan pendekatan soft atau strategi persuasif dan mengajak Din Minimi dan pengikutnya untuk berdialog. “Aku bilang Din, aku hanya 3 orang yang bisa menang melawan 120 orang. Kenapa aku berani karena aku percaya padamu, jadi aku minta kamu juga percaya itu,” ujarnya.

“Tapi aku juga bilang: Din, bolehkah aku membawa senjata? Aku mengatakan semua itu hanya agar dia mengerti hal-hal seperti, kamu juga akan mati, kira-kira seperti itu.” ” tambah Bang Yos.

Usaha Sutiyoso untuk menundukkan Din Minimi dan pengikutnya akhirnya berhasil tanpa ada satupun peluru yang ditembakkan atau ada satupun korban jiwa setelah melalui dialog yang agak panjang dan sulit. Din Minimi akhirnya menyerah dan ingin kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

“Pada jam 5 pagi dia akhirnya menyerah. Meski kaku, dia menyuruh anak buahnya untuk menyerah. Selanjutnya 10 orang membawa 60 pucuk senjata langsung diantar ke Jakarta dengan didampingi penguasa, jelas Sutiyoso.

Bang Yos mengatakan, senjata yang dimiliki kelompok Din Minimi merupakan sisa konflik sebelumnya karena masih ada senjata yang belum diserahkan. Menurut dia, tidak menutup kemungkinan adanya penyelundupan senjata melintasi perbatasan.

“Sejak saya bertugas 10 bulan tahun 1978, tracking ke pantai utara susah sekali, tidak tercover. (Senjata) bisa dari Thailand, bisa dari Filipina,” ujarnya.

Kemampuan Sutiyoso melumpuhkan Din Minimi tanpa menembakkan satu peluru pun dan menimbulkan korban jiwa menunjukkan bahwa lulusan Akademi Militer tahun 1968 itu adalah sosok pemberani yang mempunyai hati nurani. Saat senjata terakhir diserahkan, Bang Din (Din Minimi) berteriak. Dia memeluk Pak Sutiyoso dan berkata: Pak Sutiyoso, jangan tinggalkan saya, Pak, kata Presiden Humane Foundation of Aceh (AHF) itu. . Abdul Hadi menirukan ucapan Din Minimi.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours