Papua Butuh Analisis Lanskap untuk Pembangunan Hijau dan Revitalisasi Kakao

Estimated read time 5 min read

PAPUA – Provinsi Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki hutan utuh luas terakhir di Indonesia. Agar ekosistem tetap terjaga dengan baik, diperlukan analisis lanskap spasial untuk pengembangan dan revitalisasi kakao.

Pemerintah Kabupaten Jayapura atas inisiatif Badan Ekoscapa Perdagangan Hijau dan Orien Spasia mengadakan kegiatan diseminasi dan workshop “Pengelolaan Lanskap Berbasis Spasial untuk Pengembangan dan Revitalisasi Kakao di Kabupaten Jayapura” pada tanggal 11 Juli 2024 di Sentani, Jayapura.

Aksi ini berdasarkan hasil studi analisis lanskap Spasia Orien untuk melihat kemungkinan mendorong agroforestri kelapa di dataran utara Papua. Penelitian ini bertujuan untuk mendukung pemerintah Kabupaten Jayapura untuk mendukung pemerintah daerah dengan melakukan analisis ilmiah terhadap kondisi bentang alam.

Analisis dilakukan terhadap luas seluruh Provinsi Papua sebesar 7.774.625 hektar yang merupakan kawasan hutan utuh terluas terakhir di Indonesia dan kawasan hutan tropis terluas ketiga di dunia. Secara khusus analisis juga dilakukan untuk mengkaji karakteristik sistem agroforestri kakao di Kabupaten Jayapura.

Baca juga: Viral! Pesta cerai di Princevu Lampung, menghabiskan uang sepuluh juta rupiah

Agroforestri kakao diakui sebagai solusi alternatif untuk memperkuat pengelolaan lanskap terhadap ancaman deforestasi dan degradasi lahan, sebagai sumber pendapatan dan modal, dengan mempertimbangkan komposisi lanskap dan kondisi sosial ekonomi di Papua.

Pemerintah Provinsi Jayapura terus berupaya menjadikan kakao sebagai komoditas yang lebih baik di daerahnya, baik secara nasional maupun internasional. “Dukungan dan bantuan dari pemerintah, mitra pembangunan dan swasta masih sangat dibutuhkan masyarakat untuk memberikan pelatihan, pendidikan, pengetahuan dan informasi yang tepat tentang cara mengelola kakao, yang diharapkan dapat memberdayakan masyarakat dalam mengamankan lahan dengan kakao. Kakao menjadi ikon Kabupaten Jayapura,” ujar Dra Delila Giay, M.Si, Asisten 2 Pembangunan Ekonomi Kabupaten Jayapura, dalam sambutan penerimaannya pada pembukaan kegiatan sosialisasi.

Hasil analisis menunjukkan ditemukan 18 jenis tutupan lahan untuk seluruh wilayah, yaitu hutan primer provinsi Papua seluas 5.892.778 hektar dan hutan sekunder seluas 1.341.898 hektar. Namun angka tersebut terus mengalami penurunan setiap tahunnya, apalagi jika dibandingkan dengan jumlah lahan perkebunan dan pemukiman yang masing-masing bertambah lebih dari 20.000 hektar pada periode 2003-2022.

Analisis Go & No Go Areas pada penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di Provinsi Papua dan Kabupaten Jayapura merupakan wilayah dengan tutupan hutan alam dan tutupan karbon tinggi (HCV/SKT).

Saat memetakan sebaran agroforestri kakao di Wilayah Jayapura, sebanyak 2.686 hektar lahan agroforestri kakao berada di kawasan No Go Priority 1, 2.050 hektar berada di kawasan No Go Priority 2, 5.302 hektar berada di kawasan No Go Priority 3. , dan sebanyak 4.300 hektar berada di lantai 3 No Go Priority.

Secara keseluruhan jumlah perkebunan kakao hanya seluas 1,03% (14.340 ha) dari total luas wilayah Kabupaten Jayapura, namun perkebunan kakao mempunyai peranan penting dalam sejarah perubahan bentang alam Jayapura. Untuk pengembangan lebih lanjut kawasan agroforestri di Jayapura, Orien Spacia melakukan analisis Area Go & No Go dengan menggunakan data klasifikasi hutan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, rencana tata ruang Kabupaten Jayapura dan data tutupan lahan berdasarkan analisis peta dasar tropis data Planet-NICFI, untuk mengembangkan rekomendasi perencanaan agroforestri Agroforestri kakao berdasarkan prioritas produksi, konservasi dan inklusi (PPI).

Rancangan lanskap agroforestri kelapa berdasarkan prioritas Produksi, Perlindungan dan Inklusi merekomendasikan tiga jenis kegiatan di setiap wilayah, yaitu konservasi (Prioritas 1, 2, 3 dilarang berjalan kaki), restorasi (prioritas 1, 2, 3, dilarang berjalan kaki) dan berkelanjutan. produksi (Tanpa Prioritas 2, 3, Go Area).

Program konservasi dapat dilakukan secara alami pada kawasan hutan atau badan air yang masih asli, namun pada kawasan yang sudah ditanami kakao, dapat dilakukan agroforestri dengan jenis tanaman endemik sebagai tanaman dominan, seperti Merbau (Intsia bijuga), Sowang (Xanthostemon novoguineensis. Matoa (Pometia pinnata), Pinang (Area catechu), Durian (Durio zibethinus) dan Sagu (Metroxylon sagu) dapat diterapkan pada kawasan hutan terdegradasi, kawasan agroforestri dengan kakao dan kombinasi Merbau, Sowang, Matoa, durian, sagu, gamal lainnya. (Gliricidiasepium) dan kakao (Theobroma Cocos).

Untuk mempertahankan produksi kakao dan kawasan agroforestri lainnya, disarankan untuk memadukan tanaman endemik seperti Matoa, Durian, Sagu, Gamal dan Pinang yang dapat disilangkan dengan Vanili (Vanilla planifolia). Kegiatan produksi berkelanjutan yang dilaksanakan harus mengikuti beberapa prinsip, tentunya tidak menebang atau membakar pohon terutama jenis pohon endemik, menciptakan perlindungan antara kebun dan kawasan hutan, sumber air dan habitat serta menanam jenis asli di daerah penyangga.

Baca juga: Pimpinan TNI Sering Mengintimidasi Warga Sipil, Menghadang 3 Kelompok OPM

Johan Manggo SP Bappeda, Johan Manggo, Dinas Perekonomian dan Investasi Kabupaten Jayapura menyatakan, Analisis Kawasan Go & No Go ini atau dokumen sejenis lainnya dari mitra pembangunan dapat dimasukkan dalam dokumen perencanaan pemerintah, seperti RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yaitu sekarang telah ditetapkan, atau dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).

Peluang pengembangan perkebunan kakao masih terbuka karena permintaan di pasar internasional dan domestik masih tinggi. Peluang ini harus dimanfaatkan Indonesia dengan meningkatkan daya saing produk melalui peningkatan kualitas dan inovasi produk kakao.

“Kabupaten Jayapura yang merupakan bagian dari Provinsi Papua mempunyai hutan primer yang luas, namun tata ruang Kabupaten ini menunjukkan ancaman deforestasi masih cukup tinggi.” Oleh karena itu, IDH dan Orien melakukan kajian Go/No-Go untuk memahami kemungkinan inovasi model bisnis baru yang bebas deforestasi dan dapat diimplementasikan sesuai dengan hasil kajian agroforestri kakao di Kabupaten Jayapura. yang menekankan 3 hal yaitu revitalisasi kakao khususnya di kawasan hutan, perlindungan wilayah adat dan pelibatan masyarakat lokal,” Ari Suthanti, Direktur Program Green Trade Initiative Foundation.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours