IDAI: Pertusis di Indonesia banyak yang tidak terdata

Estimated read time 2 min read

Jakarta (ANTARA) – Ketua Kelompok Koordinasi Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr. Ph.D. Anggraini Alam Sp.A(K) mengatakan, banyak kasus pertusis di Indonesia yang tidak tercatat, akibat peningkatan kasus pada tahun 2022.

“Sebelum tahun 2022, WHO mengatakan hanya 4 dari seratus ribu penduduk Indonesia yang dianggap menderita batuk rejan, itu tidak berhasil, namun karena kurangnya reformasi di Indonesia sebelum penyelidikan, hal itu tidak lagi menjadi kewaspadaan kita,” Anggraini ucapnya dalam percakapan online yang digelar di Jakarta, Jumat.

Anggraini mengatakan sebagian besar statistik batuk rejan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak dilaporkan dengan baik karena sistem skrining pertusis yang belum sempurna, dan analisis yang terlambat.

Gejala pertusis sebagian besar biasanya terlihat setelah penderita batuk selama dua minggu dan muntah-muntah, yang menandakan ia sudah memasuki stadium kedua.

Di Indonesia, kata Anggraini, Kementerian Kesehatan sudah mulai melakukan pemeriksaan khusus untuk mengetahui angka infeksi pertusis pada tahun 2022 dengan meluncurkan petunjuk teknis pemeriksaan pertusis.

“Tampaknya pada tahun 2023 akan meningkat pesat sebesar 5,5 kali lipat, dari 38 negara bagian, 30 negara bagian telah diuji laboratorium dan ditemukan pertusis, dan akhirnya terjadi wabah,” kata Anggraini.

Data tersebut juga menunjukkan bahwa sekitar 40 persen bayi di bawah usia satu tahun menderita batuk rejan, dan sekitar 80 persen di antaranya belum mendapatkan vaksinasi. Wabah juga dilaporkan terjadi di daerah padat penduduk seperti Jawa dan Sumatera.

Anggraini mengatakan, pencegahan dan pengurangan penyakit kanker, khususnya pada bayi, perlu dilakukan, karena kalau laporan batuk rejan saja, disebut Forum Ekonomi (KLB) karena 90 persen kasus perubahan memang benar-benar tertular.

Kementerian Kesehatan memberikan informasi mengenai batuk rejan dan cara mencegah penyakit tersebut dengan meningkatkan cakupan vaksinasi.

“Tingkat vaksinasi kita mulai meningkat, tapi kita belum bisa bilang ini bagus karena batuk rejan sudah menginfeksi 17 orang lagi, jadi kita perlu 95 persen yang divaksin, karena di situlah penyakit itu merebak,” ujarnya.

Cakupan vaksinasi untuk scaling up dan penyelesaian DTP-1 baru mencapai 91,4 persen pada tahun 2023, DTP-2, DTP-3 dan DTP-4 belum mencapai 95 persen.

Ia berharap pada tahun 2024, bayi dan anak sudah dapat menyelesaikan vaksinasi DTP yang juga merupakan program pemerintah untuk usia 2, 3, 4 hingga 18 bulan, termasuk usia lima hingga tujuh tahun dan remaja usia sekolah dasar untuk mencegah pertusis. .

“Kami harus mengalami pertusis dan batuk terus-menerus selama dua minggu dengan gejala muntah-muntah tanpa sebab, dan sesak napas, sehingga harus ke rumah sakit terdekat untuk pemeriksaan,” ujarnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours