Irjen Pol (Purn) Hamidin Aji Amin, Praktisi Terorisme yang Hobi Menulis dan Melukis

Estimated read time 9 min read

Pukul 23.45 WIB sekelompok orang bubar usai pertemuan malam itu, di pojok kawasan Sepatan, Tangerang, Banten, tepat di sebuah bangunan kayu terapung di atas kolam ikan dengan hamparan sawah hijau di belakangnya. Kepala Polisi (Purn) Hamidin Aji Amin, pemilik tempat itu, meski terlihat lelah, tetap semangat menceritakannya.

“Kita ngobrol lagi,” kata Hamidin mengakhiri pembicaraan dan berpamitan. Malam itu, di tengah perbincangan santai, dia kebetulan memberi saya sebuah memoar berjudul “Wajah Baru Terorisme”.

Sekilas, buku merah karyanya setebal 252 halaman ini menarik untuk dibaca. Karena itulah judul ini menarik dan membuat orang bertanya-tanya seperti apa sebenarnya wajah baru terorisme. Karena penasaran, terlebih lagi karena Hamidin merupakan seorang pakar kontraterorisme yang tentunya paham betul mengenai isu terorisme.

“Kajian mengenai perkembangan terorisme tentu akan lebih menarik jika kita ikut serta dalam emosi dan ikut serta dalam proses pemberantasan, terutama dalam perspektif pendekatan soft dan non-pemerintah. Mendengarkan ceramah atau perbincangan tentang terorisme tentu saja merupakan hal yang menarik. lebih baik daripada mendengar langsung dari orang-orang yang terlibat dalam tindakan tersebut adalah hal yang sangat berbeda.”

Dalam kata pengantar yang ditulis Hamidin Oji Amin dalam bukunya, jelas ia mengajak masyarakat tanah air dan dunia internasional pada umumnya untuk bergandengan tangan dalam memerangi terorisme. Keterlibatan ini bisa dimulai dengan membaca dan memahami buku yang disajikannya.

Baca juga: Membaca Terorisme dari Pendekatan Justitia Soft-No-Proch

Hamidin sebagai orang yang memiliki dasar-dasar pemberantasan terorisme tentu dapat menganalisis dan memetakan permasalahan terorisme di Indonesia dengan mudah. Berkat pengalamannya tersebut, ia kerap bepergian ke luar negeri untuk berbicara di forum-forum besar internasional tentang pemberantasan terorisme.

Hamidin Oji Amin menyampaikan hal tersebut pada rapat koordinasi Fungsi Migrasi

Perwakilan Indonesia di Seoul, Korea Selatan pada tahun 2018.

“Cita-cita saya jadi diplomat, bukan polisi. Waktu kecil saya terinspirasi dari Menteri Luar Negeri Adam Malik yang sering tampil di televisi. Saat itu menurut saya bapak ini hebat, bisa berbicara di kancah internasional. konferensi, dia bisa ke luar negeri. Tapi walaupun saya bukan diplomat, saya bisa ke luar negeri dan mengunjungi banyak negara. “Dan ini jalan Tuhan, kita harus bersyukur dan hidup dengan baik,” kata Hamidin.

Hamidin mengatakan, selama menjadi anggota aktif milisi, hampir seluruh tugas dan tanggung jawabnya dijalankan pada tingkat operasional. Lulusan Akademi Kepolisian tahun 1987 ini lebih berpengalaman di bidang brigade mobil (Brimob). Dari jabatan Kabag Mobil Polda Sulut pada tahun 2000 hingga Direktur Pencegahan BNPT pada tahun 2015 dan Deputi III Kerjasama Luar Negeri BNPT pada tahun 2017. Terakhir, sebelum diangkat menjadi Kapolda NTT pada 2 September 2019 , Hamidin menjabat Kapolda Sulawesi Selatan (Sulsel) selama delapan bulan.

Selama menduduki jabatan tersebut, banyak prestasi dan karya besar yang diraihnya. Berawal dari Kapolres pertama di pos perbatasan di Entikong, Kalimantan Barat pada masa ketegangan antara Indonesia dan Malaysia, Posoro mulai beroperasi dengan bekerja sebagai Kepala Sub Unit Penindakan Densus 88, menangani kasus Antasari Azhar sambil bekerja di Tangerang. kereta bawah tanah Kapolri sekaligus Kerbau SiBuYa tampil sebagai Kapolda Metro Jaya di masa kepemimpinan SBY.

Buku wajah baru terorisme

Kembali ke topik pemberantasan terorisme, Hamidin mengatakan penyebaran ekstremisme dan terorisme telah berubah seiring berjalannya waktu, mulai dari era kemerdekaan, masa bom Bali, hingga saat ini. Oleh karena itu, ia berharap media tidak mempropagandakan dan mereproduksi tema-tema ekstremisme dan terorisme yang mengancam keutuhan bangsa.

Hamidin Oji Amin (kanan) menandatangani buku “Wajah Baru Terorisme”.

Yang dia berikan kepada temannya.

“Hari ini kita bicara radikalisme dan terorisme, tidak hanya berdampak pada kelompok tertentu yang sudah terlanjur radikal, tapi ancaman ini juga bisa muncul antara keluarga dan kelompok,” ujar pria kelahiran 17 Oktober 1962 itu.

Buku Hamidin “Wajah Baru Terorisme” berisi kumpulan artikel informatif dan mendidik berdasarkan pengalaman praktis Hamidin bersentuhan langsung dengan narapidana dan mantan narapidana teroris, yang dikumpulkan oleh National Peace Press Center. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan beberapa pejabat yang bertugas di daerah angkat bicara di kolom opini media cetak.

Baca Juga: Menjinakkan Terorisme

Hamidin menjelaskan detail proses ini beserta hasil komunikasi dan dialog dengan pelaku kejahatan teroris, khususnya dengan pelaku kejahatan yang bekerja sama yang akan memahami betul seluk-beluk terorisme. Namun sebaliknya, jika terdapat resistensi dalam dialog, maka kegigihan akan menjadi kata kuncinya. Inilah yang penulis alami selama bertahun-tahun.

Hamidin mengaku banyak berhubungan dengan eks penjahat dan orang-orang yang terlibat langsung dalam radikalisasi di Indonesia, serta beberapa negara lain yang menangani WNI yang terlibat radikalisme dan terorisme di negaranya. Setidaknya hampir seluruh lembaga pemasyarakatan (lapas) di tanah air yang menampung narapidana teroris telah dikunjungi. Begitu pula dengan mereka yang kembali bermasyarakat setelah menjalani hukuman pidana.

Belajar dari pengalamannya menangani narapidana dan mantan narapidana teroris, didukung oleh pengalamannya sebagai kepala departemen dan kepala subdit penindakan di Densus 88 anti teroris polisi, serta direktur pencegahan di Densus 88. BNPT. . memutuskan untuk menuliskan pengalamannya dalam buku ini.

Hamidin Aji Amin (tengah) pada sebuah acara saat masih aktif di milisi.

Secara keseluruhan, buku ini banyak bercerita tentang bagaimana proses radikalisasi terjadi di tingkat lokal, regional, dan global. Proses identifikasi, pencelupan dan jihadisasi yang terjadi melalui proses interaktif dalam ikatan kekeluargaan, identitas, sponsor guru dan siswa, serta proses persahabatan banyak dibicarakan. Demikian pula kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ternyata turut berperan dalam proses radikalisasi siber dan menjadi lahan subur bagi penyebaran penipuan.

Polarisasi dan penyebaran radikalisme menjadi fakta yang tidak bisa dipungkiri. Pemanfaatan cryptocurrency yang berpotensi dan telah digunakan di Indonesia juga dibahas dalam buku ini. Untuk meningkatkan pemahaman mengenai gerakan teroris nasional, regional, dan global, penulis juga mengkaji organisasi teroris masa lalu dan terorisme global saat ini, termasuk tokoh asing dan tokoh sentral lokal.

Mengembangkan bakat menulis dan menggambar

Buku “Wajah Baru Terorisme” ibarat sebuah cerita yang menjadi sebuah tulisan. Padahal, seiring dengan ilmu dan pengalamannya, Hamidin sangat pandai mengungkapkan keinginan dan keprihatinannya dalam bentuk buku tentang terorisme. Fleksibilitas dalam menulis ini lebih disebabkan karena ia berkomitmen dalam menulis, menjaga dan membina bakat menulisnya di tengah kesibukannya.

Baca juga: Menerima Korban Terorisme Secara Umum

Dalam menulis, kita tentu mengalami titik jenuh dan bosan. Tidak bisa menulis apa pun, tidak bisa menyusun kalimat. Namun tampaknya tidak demikian halnya dengan Mahidin Oji Amin. Tampak jelas bahwa keberadaan buku “Wajah Baru Terorisme” merupakan cerminan dari kegigihan dan minat Mahidin dalam menulis. Sesibuk apapun dirinya, purnawirawan polisi yang juga magang kontraterorisme ini bisa menulis dengan mudah. Menulis seolah menjadi nafas hidup Hamidin.

“Waktu saya masih muda, saya mengirimkan cerita pendek ke majalah remaja bernama “Dukhtarak”. transfer (dasar pembayaran yang digunakan di perbankan),” kenang Hamidin sambil tertawa terbahak-bahak.

Ide menulis bisa datang dari mana saja, mulai dari melihat, mendengar, bahkan merasakan. Pemikiran-pemikiran atau gagasan-gagasan tersebut hendaknya segera dihubungkan dengan menuliskannya, atau bila ada kesempatan, agar gagasan-gagasan yang ditemui tidak menguap begitu saja. Tampaknya Hamidin Oji Amin sering digunakan, sehingga tak heran jika banyak tulisannya, terutama di media, yang tertukar dan bernaskah.

Selain menulis dan membaca buku, melukis merupakan salah satu hobi Hamidin Oji Amin.

Menciptakan sebuah karya dalam bentuk tulisan, apalagi buku, akan menjadi artefak sejarah. Melalui tulisan, seseorang dikenal oleh masyarakat dan dikenang dalam sejarah umat manusia. Dan kenyataannya, kehidupan dari bangun tidur hingga tidur kembali bisa menjadi cerita yang menarik untuk ditulis. Menulis merupakan ekspresi jiwa, sarana mengungkapkan pikiran dan mengungkapkan kegelisahan. Menulis juga tidak harus baku, sesuaikan saja dengan kemampuan dan karakteristik kita.

Dalam sosiologi dikenal istilah habitus, yaitu cara memandang dan bereaksi terhadap dunia sosial tempat kita tinggal, melalui kebiasaan, keterampilan, dan karakter pribadi. Orang-orang yang berasal dari budaya yang sama (kelas sosial, agama dan kebangsaan, etnis, pendidikan dan profesi) memiliki kebiasaan yang sama karena pola budaya dan sejarah pribadi kelompok membentuk pemikiran individu; Akibatnya, kebiasaan seseorang mempengaruhi dan membentuk tindakan sosial orang tersebut.

Memakai istilah filsuf Perancis Pierre Baudouin, habitus adalah nilai-nilai sosial yang menjadi landasan hidup seseorang, terbentuk sebagai hasil perjuangan hidup yang panjang, dan kemudian secara laten membentuk watak, sifat, dan tingkah laku orang tersebut. Habitus tertanam begitu dalam sehingga secara refleks memandu bagaimana seseorang berperilaku dan bereaksi terhadap masalah.

Kebiasaan tersebut nampaknya tercermin dalam kepribadian dan perilaku Hamidin Oji Amin baik sebagai seorang polisi (walaupun sudah pensiun), maupun sebagai terapis antiterorisme dan gemar menulis. Melalui buku yang ditulisnya ini, Hamidin memberikan gambaran bagaimana seharusnya seseorang bersikap setelah tidak menjalankan profesinya (sebagai polisi). apa yang harus dilakukan

Seberapa baik pikiran dan sentuhan seorang mantan petugas polisi menjaga akal sehatnya saat dia menjelajahi tempat-tempat baru? Pada dasarnya bagaimana menjaga sikap yang mengandalkan kedisiplinan dan insting layaknya seorang polisi saat mengikuti diskusi publik.

Baca juga: Taliban dan Terorisme di Indonesia

Hamidin mengatakan, buku “Wajah Baru Terorisme” merupakan kumpulan tulisan yang dihimpun dari catatannya. Saat terbaik untuk menyelesaikan buku ini adalah saat beliau menjabat sebagai Deputi Bidang Kerja Sama Internasional di BNPT. Dalam perjalanan ke negara-negara Afrika, Eropa, Amerika, Asia salah satunya China, dan negara lainnya.

Hamidin sering menggunakannya di pesawat dan menyelesaikan tulisannya satu per satu. Dan tentunya bagi mereka yang senang traveling dan mempunyai hobi menulis, terutama yang rajin mencatat, kebiasaan Hamidin yang selalu meluangkan waktu untuk menulis merupakan hal yang sangat positif untuk ditiru.

“Menulis sebaiknya menjadi sebuah kebiasaan. Tidak perlu menunggu lama untuk menulis. Ide atau ide sudah ada di benak kita, jadi tulis saja. Dan untuk menulis kita juga harus rajin membaca, agar banyak referensi untuk menulis. bahan tulisan. “Baca semuanya, kalau positif,” kata koordinator ahli Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

Selain menulis, mantan Kapolda Sulsel dan Kapolda NTT ini rupanya juga hobi melukis. Lebih dari seratus lukisan mulai dari gaya naturalistik hingga abstrak diciptakan pria kelahiran Muara Siban, Pagaralam, Sumatera Selatan ini. Ia berkata: “Ibarat melukis, menulis adalah seni yang membutuhkan sentuhan jiwa dan emosi.”

Hamidin mengaku sudah menekuni bidang seni lukis sejak kecil, yakni saat duduk di bangku sekolah dasar (S.D.). Bahkan, saat menjabat Kapolda Sulsel, lukisannya terjual Rp 200 juta. “Saat itu lukisan saya dilelang. Seluruh uang hasil lelang lukisan itu saya sumbangkan kepada korban gempa Palu,” ujarnya.

Hamidin Aji Amin memetik jeruk di kampung halamannya

Kota Pagaralam, Provinsi Sumatera Selatan.

Hamidin pernah menulis di dinding IG-nya @hamidin_ajiamin tentang hubungan profesi dengan seni dan keindahan manusia. Timbul pertanyaan, apakah profesi dan perdagangan saling berkaitan? Sebuah pertanyaan unik, sulit dijawab. Dan tentu saja hanya artis yang bisa menjawabnya. Bayangkan di Perancis, dikatakan bahwa beberapa algojo pada masa Raja Louis XVI dan Marie-Antoinette, yang menurunkan rantai guillotine, memenggal kepala orang yang dijatuhi hukuman mati, beberapa dari mereka memiliki hobi. . melukis dan menari,- tulis Hamidin.

Mungkin kita masih ingat siapa Rembrandt Harmenzoon van Rijn, seorang seniman grafis asal Belanda. Kisah hidup dan cintanya dengan Saskia Nan Uilernburg dengan romantisme pernikahan mereka pada tahun 1633. Sepeninggal Saskia yang berusia 29 tahun ., mengubah karakter lukisannya, Rembrandt mengatakan bahwa dunia ini sadis Namun sebaliknya, lukisannya menjadi semakin populer.”

“Menjadi seniman tidak selalu identik dengan lemah lembut. Tapi bagi saya, seni adalah seni, kehidupan yang sulit tidak mempengaruhi kekuatan karya seni. Padahal, ketika Anda terganggu, Anda melihat dunia bergejolak, Anda memfitnah profesi Anda. …Yang paling karya indah penuh seni. Dunia harusnya keras, kekejaman di sana sadis, saling bunuh, fitnah, curang… yang penting kuas dan cat ini bergerak dan bergerak sesuai naluri, yang selalu indah…”.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours