Ekonom proyeksikan suku bunga SRBI turun lebih besar dibanding BI-Rate

Estimated read time 3 min read

Jakarta (ANTARA) – Kepala Ekonom Citi Indonesia Helmi Arman memperkirakan penurunan suku bunga Bank Indonesia Rupiah Securities (SRBI) 12 bulan akan lebih tinggi dibandingkan suku bunga acuan BI atau estimasi BI-Rate. Akan turun 25 basis poin (bps) pada September 2024.

Perkiraan tersebut, jelas Helmi, didasarkan pada tren suku bunga Bank Sentral Serbia yang jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan BI-Rate saat BI menaikkan suku bunga acuan pada Oktober tahun lalu dan April tahun ini.

Jadi perkiraan kami, ketika suku bunga BI turun, maka suku bunga SRBI akan lebih turun dibandingkan BI rate, kata Helmi saat memaparkan prospek perekonomian di Jakarta, Kamis.

Helmi mengatakan, suku bunga SRBI 12 bulan juga turun sekitar 25 basis poin dalam beberapa pekan terakhir dari 7,5 persen menjadi 7,25 persen.

Jika BI mulai menurunkan suku bunga pada September tahun depan, kata Helmi, BI bisa memangkas suku bunga pemerintah Serbia terlebih dahulu.

April lalu BI-Rate naik 25 bps, tapi suku bunga SRBI naik hampir 60 bps kalau tidak salah. Jadi itu mungkin berubah nanti. “Meskipun perkiraan kami BI-Rate bisa turun 25 basis poin, namun suku bunga SRBI juga bisa turun,” jelasnya.

Di sisi lain, Helmi juga mengingatkan terdapat beberapa risiko ke depan, salah satunya terkait aliran masuk modal ke pasar keuangan Indonesia, khususnya pasar surat berharga negara (SBN).

Pelacakan data Citi terhadap aliran dana global, jelas Helmi, menunjukkan aliran modal ke seluruh negara berkembang atau emerging market secara umum tidak kuat.

Ia menduga, ada tanda-tanda masuknya investor ke Indonesia ini masih merupakan gejala atau akibat pergeseran posisi portofolio investor.

Pada saat yang sama, portofolio pasar negara berkembang mungkin belum menerima arus masuk yang signifikan secara keseluruhan.

“Jadi stabilitas arus masuk ke Indonesia yang kita lihat mungkin relatif sensitif terhadap dinamika atau pergerakan harga aset keuangan kita,” kata Helmi.

Selain itu, perlu dilakukan pemantauan risiko eksternal terkait pemilu AS. Pasar masih menunggu untuk melihat apakah akan ada babak baru perang tarif antara AS dan Tiongkok setelah pemilu AS.

“Seperti yang kita lihat pada masa pemerintahan Donald Trump tahun 2016-2020, setiap kali AS mengenakan tarif terhadap barang-barang Tiongkok, penguatan dolar biasanya terjadi karena mata uang Tiongkok atau yuan Tiongkok terdevaluasi.” “Dan itu menjadi risiko bagi nilai tukar negara-negara berkembang, karena Tiongkok adalah jangkar nilai tukar negara-negara berkembang,” jelas Helmi.

Terakhir, risiko yang perlu terus diwaspadai adalah terkait dengan situasi investor asing di Indonesia. Helmi mengatakan instrumen moneter jangka pendek di Indonesia bisa berubah jika suku bunga dalam negeri turun.

“Seperti kita ketahui, posisi asing di pasar instrumen keuangan jangka pendek Indonesia sangat penting. “Jadi kalau ditarik akan menetralisasi dampak positif capital inflow yang kini masuk ke pasar SBN,” kata Helmi.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours