Kinerja Satgas BLBI Dinilai Masih Jauh dari Harapan

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Kinerja Kelompok Kerja Pengelola Hak Tagih Negara Dana Likuiditas Dana Bank Indonesia (BLBI) dinilai kurang optimal. Sebab, nilai kerugian pemerintah yang dihemat sangat kecil dan jauh dari harapan.

Melihat hasil kerja Satgas BLBI sejujurnya agak mengecewakan. Padahal waktunya (masa kerja Satgas BLBI) cukup lama, kata aktivis anti korupsi dan pengamat hukum Hardjuno Wiwoho di Jakarta. , Rabu (21/8/2024).

Tercatat hingga semester I-2024, Satgas BLBI mencatat perolehan aset eks BLBI seluas 44,7 juta meter persegi dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp38,2 triliun. Artinya, 34,59% hak tagih pemerintah berhasil dikembalikan satgas BLBI dari kewajiban sebesar Rp 110,45 triliun.

Hardjuno mengatakan, hasil yang dicapai Satgas BLBI masih jauh dari harapan.

Artinya, sejak dibentuk pada tahun 2021, pendapatan Satgas BLBI belum mencapai 50% dari kewajibannya.

Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan BLBI memang cukup kompleks, yaitu perpaduan antara moral hazard pemangku kepentingan dan kepentingan ekonomi politik yang dalam hal ini cukup kuat.

Fakta bahwa BLBI diserahkan kepada debitur secara tunai, sedangkan jumlah uang tunai yang dikumpulkan Satgas BLBI hanya sebesar Rp1,5 triliun, jelas tidak memenuhi harapan masyarakat, jelasnya.

Tentu saja, BLBI, yang awalnya diberikan pada akhir tahun 1990an untuk menyelamatkan sistem perbankan negara, seharusnya bisa dikembalikan dengan hasil yang sama. Namun, setelah bertahun-tahun upaya penggalangan dana, dana yang terkumpul jauh dari harapan.

Sebagian besar aset yang disita merupakan aset dan agunan yang nilai moneternya belum dibayar lunas.

“Harusnya prioritasnya adalah mengubah aset nonmoneter menjadi dana yang bisa langsung digunakan negara, tanpa itu akibatnya hanya kumpulan aset yang belum tentu mudah dimonetisasi,” tegas Hardjuno.

Yang lebih memprihatinkan, jika dihitung bunga 6% per tahun sejak Januari 1998 hingga 2024, nilai yang harus dibayar debitur adalah sekitar Rp 502,48 triliun. Artinya, bukan hanya pokok BLBI yang tidak ditarik, namun bunganya terus bertambah selama lebih dari 26 tahun.

“Dengan bunga yang sudah mencapai ratusan triliun rupee, terlihat betapa besar kerugian negara jika masalah ini tidak segera diselesaikan,” tambah Hardjuno.

Dengan berakhirnya masa jabatan Satgas BLBI pada bulan Desember 2024 dan pergantian kekuasaan dari Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto yang diharapkan terjadi pada bulan Oktober, timbul kekhawatiran serius mengenai nasib penagihan utang BLBI.

Setiap pergantian kepemimpinan membawa risiko perubahan kebijakan dan prioritas, yang dapat mempengaruhi keberlanjutan upaya penyelesaian BLBI. “Jika pemerintahan baru tidak memberikan dukungan penuh, ada risiko upaya repatriasi BLBI terhenti atau kehilangan momentum,” kata Hardjuno.

Hardjuno juga menekankan pentingnya pemerintahan baru memastikan penyelesaian masalah BLBI tetap menjadi prioritas utama. Dengan sisa utang sekitar Rp72,25 triliun dan jumlah yang harus dibayar, termasuk bunga, mencapai Rp502,48 triliun, maka upaya pengembalian uang warga harus terus digalakkan.

“Tanpa komitmen yang kuat dari semua pihak, temuan Satgas BLBI kemungkinan besar hanya akan menjadi catatan sejarah dan tidak memiliki dampak nyata terhadap keuangan negara dan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours