Antara Pelanggaran Etika dan Pelanggaran Hukum

Estimated read time 5 min read

Harga diri Romawi

Manusia dan lingkungan alam merupakan dua faktor yang menentukan nasib dan masa depan kehidupan manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun hubungan dan interaksi kedua faktor tersebut, termasuk manusia dan satu sama lain, belum dipahami atau dipahami sepenuhnya oleh manusia. Hal ini disebabkan adanya kelemahan filosofis yang mendasar dalam cara pandang dan pemikiran manusia terhadap alam disekitarnya, yaitu tidak melupakan benda-benda material serta kehidupan hewan, tumbuhan dan sesama manusia.

Cara berpikir dan cara pandang yang salah inilah yang menjadi biang terjadinya fenomena seperti kerusakan lingkungan alam/lingkungan fisik serta krisis perilaku dan krisis moral dalam hukum dan penegakan hukum. Dalam konteks manusia, krisis moral dan etika dalam hukum dan penegakan hukum disebabkan oleh kesalahan pemikiran dan persepsi manusia terhadap makna keberadaan hukum dalam kaitannya satu sama lain dalam kehidupan manusia. Apakah kesalahan berpikir dan cara pandang yang lahir atau dipelajari?

Persoalan bagi para sarjana hukum bukanlah bahwa operasi hukum yang statis hanya sekedar mempertahankan status quo, namun sebaliknya selalu menimbulkan pertanyaan mengenai berjalannya hukum yang memberikan pengetahuan tentang fenomena hukum yang sebenarnya atau berjalannya hukum yang dinamis dan pendekatan-pendekatannya adalah dan seharusnya menjadi sikap para penegak hukum dalam menangani permasalahan air. Selain dari sudut pandang cara berpikir dan hukum dalam fungsi penetapan normanya juga dipandang benar dan patut dari segi nilai, nilai menjadi terminologi yang tepat yang mengacu pada asas kepatutan (bilijkheid) dan kesesuaian. Pertunjukan (Redelijkheide).

Cara berpikir dan memandang hukum sebagai suatu nilai akan menambah wawasan para ahli hukum khususnya praktisi hukum untuk memberikan penilaian terhadap perilaku seseorang yang dituduh melakukan pelanggaran hukum khususnya hukum pidana. Ada keraguan, karena hukum pidana adalah sebuah perjuangan. Beliau penuh kemanusiaan (Almarhum Roslan Saleh). Jika demikian halnya, maka cara berpikir dan memandang hukum sebagai suatu norma yang dinamis hendaknya benar dan tepat memperhatikan sila kedua Pancasila dalam artian bahwa orang yang disangka melakukan tindak pidana adalah benda mati. melainkan manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Apa maksudnya? Artinya, sejak seseorang disangkakan melakukan tindak pidana, ia harus dianggap tidak bersalah sampai putusannya mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali terbukti sebaliknya.

Selama 480 hari proses peradilan pidana mulai dari penyidikan hingga persidangan dan sidang di pengadilan, setiap tersangka/terdakwa tetap melekat pada hak asasi manusianya dan tidak seorang pun, termasuk pemegang hak mana pun, boleh berasumsi bahwa dirinya bersalah. Jika hal ini dilakukan maka jelas tersangka/terdakwa telah mengalami ketidakadilan yang dikutuk oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Filosofi pemidanaan dalam negara hukum yang berdasarkan Pancasila sebagai pedoman hidup hendaknya keadilan diutamakan di atas cara memulihkan (restorative justice) daripada cara memulihkan (retributive justice). Pemikiran tentang hukum (pidana) tersebut diwujudkan dalam tujuan pemidanaan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (Nasional).

Kecaman yang dilontarkan masyarakat awam terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi dan kesusilaan atau pembunuhan, seringkali tidak terkendali, oleh karena itu ada ungkapan bahwa sekali lulus ujian seumur hidup yang dihadapi, percuma saja. . Diduga terkait dengan penjahat. tindak pidana. Namun dengan diberlakukannya KUHP baru pada tahun 2023, diharapkan terjadi perubahan sikap aparat penegak hukum dan masyarakat terhadap seseorang yang diduga terlibat tindak pidana, termasuk korupsi.

Apakah mungkin? Permasalahan ini hanya bisa dijawab dengan mengubah pola pikir dan sikap aparat penegak hukum (APH) terhadap pelaku sistem peradilan pidana. Perubahan cara berpikir dan pandangan terhadap falsafah dan tujuan hukum pidana, keadilan retributif-keadilan restoratif-mengembalikan keseimbangan hubungan antara pelaku dengan lingkungan masyarakat dimana ia tinggal.

Bagian terakhir dari koordinasi ini telah dikembangkan dalam sistem pemasyarakatan sejak tahun 1960an di bawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Kementerian Kehakiman), namun belum menunjukkan hasil yang positif dan signifikan dan sumber permasalahannya adalah hukum pidana pada tahap awal. Secara filosofis dan tujuan, yang terbukti salah dalam hal efisiensi dan efektivitas produk sistem peradilan yang telah berjalan selama 79 tahun.

Sebenarnya permasalahan dalam hubungan mantan narapidana/napi dengan lingkungan masyarakat selama ini belum berhasil dalam melakukan reintegrasi atau membawa kembali mantan narapidana ke lingkungannya karena budaya masyarakat kita yang disebut dengan penjahat sejak lahir. (C. Lombroso) artinya pengampunan dan pertobatan bukanlah kata-kata yang melibatkan keterlibatan dalam suatu tindak pidana dan pernah dihukum sebelumnya.

Tampaknya pandangan masyarakat sudah menjadi universal bahwa kejahatan moral tetap dapat dipersalahkan secara hukum meskipun berbeda, sehingga cara berpikir dan pendekatan yang membedakan kejahatan moral dengan kejahatan hukum adalah sah secara hukum namun pendekatan Sejak tidak tepat. Masyarakat pada umumnya.

Namun, masih ada yang perlu diluruskan dalam situasi saat ini yang lebih mengedepankan persoalan pelanggaran moral dibandingkan pelanggaran hukum, meski terbukti jelas dan tegas bahwa diyakini masyarakat yang bersangkutan. ‘ Tindakan memenuhi dua bukti awal yang diperlukan. Hal ini terjadi karena kesalahan berpikir dan melihat perbedaan keduanya, bahwa pelanggaran moral belum tentu merupakan pelanggaran hukum, namun pelanggaran hukum tidak langsung (pidana) juga merupakan pelanggaran moral tanpa kecuali.

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka adanya uji etik terhadap perbuatan petugas yang terbukti jelas memenuhi unsur tindak pidana adalah bersifat prematur dan tidak diperlukan lagi. Sebab, jika pemikiran dan pendekatan yang salah terhadap kedua jenis pelanggaran tersebut masih dikaitkan dengan pimpinan lembaga negara, dikhawatirkan akan muncul solusi yang dibuat-buat dan dipertanyakan bahkan di mata para ahli hukum dan sosiolog. Namun, hal ini “menguntungkan” bagi mereka yang dituduh melakukan pelanggaran karena tidak diwajibkan oleh sistem peradilan yang berlaku dan harus dilanjutkan.

Dalam kekosongan hukum yang diciptakan oleh para pemimpin lembaga berdasarkan undang-undang yang dikenakan pada lembaganya, maka diperlukan peran publik untuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang sebaiknya dikeluarkan oleh pemerintahan Prabowo Subiano di masa depan.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours