Kisah Letnan Jenderal TNI (Purn) Soegito, Jual Sepeda dan Palsukan Tanda Tangan Bapaknya demi Masuk Akmil

Estimated read time 7 min read

Tidak semua cerita tentang jalan menuju puncak karir militer penuh dengan jalan mulus. Salah satu contoh inspiratif adalah Letjen (purn) Saegita, jenderal legendaris Kopasus.

Saegita membeberkan kisah menarik sekaligus menegangkan di balik usahanya untuk bisa masuk Akademi Militer Nasional (AMN) yang kini bernama Akademi Militer (Akmil) di Magelang.

Sejak kecil, Soegita bercita-cita menjadi taruna AMN. Namun, jalan menuju impian tersebut penuh dengan rintangan.

Dengan keterbatasan finansial dan kesulitan mengakses informasi, Saegita menghadapi berbagai tantangan yang harus diatasi. Bagi mantan panglima Castro ini, menjadi tentara merupakan pilihan paling menarik karena biaya pendidikan sepenuhnya ditanggung negara.

Dengan informasi yang sangat terbatas tersebut, ia dan beberapa teman sekolahnya akan menjadi tentara. Sayangnya, seluruh proses seleksi masuk AMN di Magelang dilakukan di Semarang.

Proses seleksi berlangsung sebelum publikasi hasil akhir ujian sekolah menengah. Bolak-balik ke Semarang bukan hanya menyita waktu, tapi juga menguras dompet.

Dengan uang jajan yang selalu terbatas dan terkadang tidak mencukupi, Soegita harus bisa mengatur keuangannya sendiri agar bisa segera berangkat ke Semarang jika diperlukan. Saat itu, setiap hasil seleksi disampaikan melalui surat, sehingga selalu ada jeda waktu antar seleksi.

Saking seringnya ia bolak-balik ke Semarang, sang kakak akhirnya sadar dengan apa yang dilakukannya. Tidak lama kemudian berita dengan cepat sampai ke Silakapa, tempat tinggal orang tuanya. Suatu hari, saat ia berkunjung ke Silacap untuk meminta restu orang tuanya, Saegita ditelepon oleh ayahnya.

Memberikan nasehat dan nasehat kepada anaknya bak seorang ayah, Sueleman kemudian menyuruhnya mengambil daun sirih dan mengisi gelas dengan air.

“Gita, kamu memelintir daun sirih ini. Lalu dipotong tiga kali di atas kaca,” kata Soelman Soegita sambil menyodorkan pisau, sesuai buku karya Letjen (Purn) Soegita, pelayan Pdt. Prajurit Stoottroepen”, Selasa (17/9/2024).

Saegita dengan polosnya menuruti perintah ayahnya. Dalam tiga potongan, tiga bagian daun sirih akan dimasukkan ke dalam gelas. “Alhamdulillah Gita,” ucap ayahnya membuat Saegita bingung dengan maksudnya.

Tanpa menunggu pertanyaan lebih lanjut dari putranya, Suleman menjelaskan. “Kamu menjadi alat negara, kamu mati tanpa memenuhi tugasmu.” Mendengar hal tersebut, ibu yang duduk di dekatnya langsung berteriak. “Oh, percaya saja pada serbuan Allah, Gito.”

Meskipun biaya perjalanan dan akomodasi di Semarang ditanggung oleh Panitia Seleksi AMN, namun tetap diperlukan biaya tambahan. Oleh karena itu, Soegito kemudian menjual sepeda yang ia gunakan selama lebih dari tiga tahun itu, dari SMA Cilacap hingga SMA Purwokert. Ada baiknya mendapatkan dana tambahan.

Ketika kunjungan terakhir ke Semarang pada tahun 1958, setiap pelamar harus membawa surat keterangan cuti sekolah asli. Seperti Soegita, ia harus mendapatkan ijazah SMA sebelum bertemu dengan petugas penerimaan taruna di Semarang. Untuk itu dia harus menghadapi Panglima Soemarm.

Saegita menyampaikan kepada kepala sekolah niatnya untuk mencabut gelarnya. Sambil menggelengkan kepalanya, Samarno membuka sebuah buku besar. Matanya bergerak cepat mencari nama Saegit di daftar nama siswa. “Wah murid Gita, kamu belum bayar pembangunannya,” ucapnya kasar yang ditanggapi Saegita dengan tetap diam dan sedikit menundukkan kepala.

“Tapi maaf, saya tidak mempunyai uang lagi pak, karena saya sudah bolak-balik ke Semarang, dan besok saya harus kembali ke Semarang lalu ke Cimaha,” jawabnya bingung.

Ia mempertimbangkan untuk meminjam uang kepada kakaknya, namun Saegita merasa malu. Foto ibunya terlintas saat dia memberinya uang untuk membayar kelulusan sekolahnya untuk terakhir kalinya. Namun uang itu digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk jalan-jalan ke Semarang.

“Tapi mahasiswa Guiteau harus bayar, bagaimana kalau begitu,” suara Pak Marmo meninggi, langsung membuyarkan lamunannya.

“Pak, saya memang tidak punya uang,” pinta Saegita. “Iya, itu saja,” jawab Kepala Sekolah sambil menyodorkan ijazahnya dengan agak paksa.

Selain ijazah, calon juga harus membawa surat keterangan persetujuan orang tua untuk mengikuti pelatihan AMN. Jika harus kembali ke Cilacap, jelas membutuhkan waktu dan biaya. Sementara itu, uangnya hampir habis.

Saat itu, perjalanan dari Purvokert menuju Chilakap memakan waktu yang cukup lama karena terbatasnya jumlah bus dan kondisi jalan yang rusak parah. Perjalanan memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam melalui Sokaraja, Banyumas, Kota Bunta, Kroya, kemudian melewati Jembatan Serai sebelum mencapai Chilachap.

Jalan lain yang melewati Jembatan Maos tidak dapat dilewati karena jembatan tersebut masih dalam kondisi rusak setelah sengaja dihancurkan oleh gerilyawan pada masa Perang Kemerdekaan. Makanya saya jadi malas ke Silacap, kata Saegita.

Setelah berpikir panjang, Soegita akhirnya menemukan cara termudah. Dia memalsukan tanda tangan ayahnya. Saegita memang paling jago meniru tanda tangan, mungkin karena bakat menggambar dan kemampuan menulisnya yang bagus. Tak hanya tanda tangan sang ayah, ia juga bisa membubuhkan tanda tangan sang menantu.

Alhasil, begitu surat keterangan ayah diketik, Soegita tak kesulitan membubuhkan tanda tangan ayahnya pada formulir persetujuan. “Selain untuk menghemat uang, saya bergabung dengan AMN dengan risiko saya sendiri dan jika terjadi sesuatu, saya tanggung,” pungkas Saegita.

Bel akhir yang ditunggu-tunggu pun berbunyi. Nah, itulah jawaban Saegita termasuk yang terpilih mengikuti tahap seleksi akhir di Chimaha, Bandung. Pada hari yang dijadwalkan, Soegita berada di tempat seleksi taruna di Semarang. Seluruh calon taruna asal Jawa Tengah berkumpul di sini, sekitar 100 orang.

Kemudian mereka dikirim ke Bandung dengan kereta api. Selama perjalanan dari Semarang menuju Bandung, warga Banyumas dan Purwokert lebih memilih diam daripada ikut berteriak dan bercanda. Tak ayal, gaya bicara Banyumasan terkenal ceroboh dan dianggap tidak senonoh. Seringkali menjadi bahan tertawaan bagi yang mendengarnya. Di antara calon taruna yang senang meledek anak-anak Banyumas adalah Pramona dan kelompoknya dari Yogi.

Kemudian ratusan calon taruna dari seluruh Indonesia berkumpul di Garnisun Chimahi. Perilaku dan gaya mereka berbeda-beda, sesuai dengan karakter aslinya. Ada yang lusuh dengan gaya agen, namun ada juga yang berpenampilan dewasa. Mereka ditempatkan di dua lokasi, salah satunya di Pusdiklat Transportasi TNI di Chimahi. Mereka berdiri di sini selama hampir sebulan.

Sejak tiba di Cimahi, suasana berbeda mulai mereka rasakan. Untuk pertama kalinya, mereka diperkenalkan dengan tradisi militer seperti absensi. Setiap pagi pun mereka harus melakukan senam pagi di udara dingin Simaha dengan bertelanjang dada, dengan pakaian dinas yang selalu longgar, atau dengan senapan Lee Enfield (LE) yang menggaruk bahu. Namun karena mereka semua datang dengan tekad yang sama untuk menjadi taruna, apapun rintangan yang mereka hadapi, mereka hadapi dengan tekad yang bulat.

Seperti sebelumnya, seleksi yang harus mereka lalui di Chimahi tidak jauh berbeda dengan yang mereka lalui di daerah masing-masing. Meliputi ujian jasmani I dan II, ujian psikoteknik I dan II serta ketangkasan jasmani. Tampaknya selalu seperti itu, pengecekan berulang kali sepertinya memastikan keakuratan data dari pemilu sebelumnya.

Setiap peserta diberikan satu set pakaian berwarna hijau berukuran “takdir”. Artinya Anda beruntung jika mendapatkan yang sesuai dengan ukuran tubuh Anda. Namun banyak orang mendapatkan pakaian yang lebih kecil atau bahkan longgar. Saegita sendiri diberi ukuran baju yang lebih besar sehingga harus menjahitnya sendiri agar pas dengan badannya. Mereka mengikuti kompetisi dengan satu set baju berwarna hijau.

Saat yang paling seru adalah saat ujian renang. Mereka yang belum bisa berenang pun sudah kebingungan sebelum menyelam ke dalam kolam. Anehnya, ada juga yang tidak tahu cara berenang, tapi cara melarikan diri. Mungkin karena topiknya kurang menyeluruh. Seperti Budihardi yang tidak bisa berenang, tapi kabur. Setelah menjadi perwira, ia pernah bercanda mengatakan hal tersebut kepada teman-temannya. “Salah satu keuntungan bergabung di AMN adalah saya bisa berenang ha..ha..ha…” ucapnya bangga.

Melewati masa uji coba terakhir di Cimahi cukup melelahkan. Namun Saegita tetap semangat, berusaha melewati setiap ujian yang dilaluinya. Kemampuan Saegit lolos dalam setiap tahapan seleksi fisik tentu tidak lepas dari kegemarannya terhadap olahraga tersebut. Mungkin kekenyalan tubuhnya menjadi kelebihan dibandingkan teman-temannya yang mengikuti seleksi saat itu.

Tentu saja senam menjadi salah satu olahraga yang disukainya. Anda dapat memutar tubuh Anda di atas pukulan kuda dan melakukan beam plus jungkir balik. Segala manfaat latihan fisik itu sangat terasa saat ia menjadi anggota Kopassus.

Di akhir periode seleksi, hasilnya dipublikasikan. Dinyatakan 170 peserta menyatakan lolos. Kegembiraan memenuhi mereka yang namanya dipanggil, namun tidak begitu bagi mereka yang dipanggil.

Wajah mereka tertunduk lesu, seolah-olah kehilangan tenaga, karena tidak menyangka akan gagal setelah melalui seleksi yang sangat berat. Promono mengacu pada grup ini. Anehnya, dia mencoba lagi pada tahun berikutnya dan lulus. Beberapa teman lainnya yang gagal diterima di AAL dan AAU.

170 orang berasal dari berbagai suku di negara tersebut. Rinciannya sebagai berikut: Aceh 1 orang, Batak 12 orang, Minang 1 orang, Palembang 2 orang, Sunda 16 orang, Betawi 1 orang, Jawa 120 orang, Bali 1 orang, Manada 5 orang. Toraja 1 orang, Bugis Makassar 4 orang, Dayak 2 orang, Banjar 1 orang, Timor 1 orang, dan Ambon 2 orang.

Soegito mendapat stempel taruna nomor 5026. Angka 5 menandakan Akademi Militer Yogyakarta angkatan kelima yaitu angkatan 1 dan 2 di Yogya, angkatan 3 dari KMA Breda dan angkatan 4 yang masuk angkatan 1957 Eddie Sudrajat, Saiful Suloon dan lainnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours