Antologi kejujuran dari sudut warung kopi

Estimated read time 6 min read

Banda Aceh (ANTARA) – Sore harinya, Arif Munandar (25) terlihat piawai melayani pelanggan. Dia memerintahkan agar dapur disediakan. Jika pesanan sudah benar, pelayan segera mengantarkannya ke meja tempat pesanan ditempatkan.

Pelanggan seperti biasa menyediakan kategori dan memilih menu. Minuman, makanan ringan, dan angkat beban. Tentu saja kopi selalu menjadi menunya.

Minumannya berbeda-beda, basic coffee, espresso, double espresso, long black Americano, cappuccino, mochaccino, Sanger Arabika, kopi susu palem, kopi alpukat, dan kopi vanilla.

“Berapa jumlahnya?” tanya ANTARA kepada Kolektor Kopi De Era yang memesan menu, yang kemudian dijawab dalam bahasa Indonesia dengan logat Aceh yang kental, lalu membayar setelah makan.

Setelah selesai makan, mereka segera menuju ke meja kasir untuk memesan makanan dan minuman.

Kafe-kafe seperti ini banyak tumbuh di Banda Aceh. Meski tidak hanya menjual kopi, warga setempat tetap menyebutnya sebagai warkop atau disebut juga kedai kopi.

Faktanya, nongkrong di kedai kopi sudah menjadi salah satu bentuk budaya yang mengakar kuat di masyarakat Aceh. Dia tidak tahu apakah itu pagi, siang, sore, atau malam. Air De Era Coffee merupakan salah satu kedai kopi di Banda Aceh yang ramai berbelanja. (ANTARA/Zuhdiar Laeis)

Bagi yang tidak suka atau belum terbiasa minum kopi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tersedia juga menu minuman lainnya seperti teh, coklat dan berbagai minuman lainnya yang tidak mengandung kopi sama sekali.

Menariknya, model transaksinya sama. Calon pelanggan terlebih dahulu memesan, lalu makan atau minum dari menu yang dipesannya, lalu membayar tagihannya.

“Apakah kamu tidak takut kehilangan uang jika pelanggan berbuat curang?” Antara bertanya penasaran, apakah pelanggan bisa menipu atau melupakan pesanan. Anda hanyalah seorang laki-laki, bisa salah dan pelupa.

Masalahnya, dalam satu kedai kopi, pelanggannya bukan hanya satu atau dua orang, tapi banyak, bahkan mungkin ratusan. Mereka dipelihara dalam jumlah banyak dan beragam. Rasanya sulit mengingat wajah pelanggan, apalagi mengingat instruksi persisnya, meski tertulis di kertas.

Belum lagi, kafe-kafe di Aceh merupakan bangunan yang sangat terbuka, tidak berdinding apalagi berpintu. Saya bukan scam, tapi pelanggan hanya bisa “berkeliaran” karena sibuk sekali.

“Iya, ada satu-dua celah (menipu pelanggan, Red.). Kadang lari, larinya tidak cepat. Biasanya mereka pindah meja lalu pergi. Kalau begitu, kita pasang (nombok, Red. .) Kata Aris yang sudah dua tahun lebih bekerja dari saya sebagai pelayan di sebuah kedai kopi.

Namun pria berjanggut itu membenarkan bahwa ada satu atau dua pelanggan penipu tersebut. Beberapa, sejujurnya. Sistem pembayaran seperti ini dipastikan masih dipertahankan di kedai kopi.

Terkadang pelanggan tidak bermaksud menipu, namun mudah lupa. Oleh karena itu, makanan atau minuman tidak disebutkan saat membayar. Keesokan harinya, ketika dia kembali, pembeli koin itu memperingatkan bahwa pembayarannya terlalu sedikit dan telah dibayar.

Pelanggan adalah raja

Sistem pembayaran yang diterapkan pada platform ternyata menjadi strategi penjual sesuai pepatah “pelanggan adalah raja”.

Secara kebetulan, Antara bertemu dengan Sika Mahathir Firdaus, pemilik warkop lainnya, BTJ Kupi. Usianya masih muda, baru 30 tahun, namun ia sudah mengelola bisnis dengan 30 karyawan.

“Di platform, ini sistemnya (bayar dulu, Red.). Masyarakat ingin diperlakukan sebagai pelanggan. Kalau kita ciptakan budaya bayar dulu di Aceh, sepi,” ujarnya.

Masyarakat Aceh sudah mulai terbiasa dengan praktik membawa barang di pundak, apalagi hal tersebut merupakan hal yang paling umum dilakukan di pasar tradisional. Jangan disangka yang nongkrong di restoran hanya anak muda, keluarga, dan manula.

Di kedai kopi yang berusia kurang dari enam bulan itu, Mahathir menawarkan beberapa menu kopi, seperti kopi Sanger dan Robusta hitam. Minuman non-kopi lainnya, seperti serai jahe, adalah minuman dasar.

Untuk melengkapi warkopnya, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh menggandeng UMKM setempat untuk membuat stand penjualan.

Setidaknya ada 25 warung makan yang berlokasi strategis di kawasan warkop, seperti di belakang Stadion Harapan Bangsa (SHB) Banda Aceh, dan sejumlah kantor pemerintahan di sekitarnya.

Menunya beragam, mulai dari ayam bakar, nasi bebek, kebab, mie bruek, kerang rebus, martabak durian, sate padang, tahu goreng, bakso, hingga mie khas Bangladesh yang nyaris tak pernah sepi dari kedai.

Pak BTJ Kupi Cut Mahathir Firdaus. (ANTARA/Zuhdiar Laeis)

Berbeda dengan pedagang yang membuka warkop mulai 18 April 2024, kandangnya tidak terbagi. Namun, untuk setiap porsi makanan yang dijual masing-masing toko, mereka hanya menerima Rp 2.000. Sekali lagi, dia memainkan peran yang layak.

Dalam transaksi penipuan, pria ini tidak meragukan jalan silaturahmi, karena segala perbuatannya di kemudian hari akan dijawab di hadapan Tuhan.

“Saya yakin, saya yakin 100 persen. Saya yakin dan yakin, saya tidak pernah mengambil barang milik orang. Kalau (pelanggan) tidak membayar, saya ketahuan berkali-kali, Maathhir”.

Penjual makanan biasanya yang melaporkan jika kuitansinya hilang atau salah taruh. Untuk memahaminya, pesanan makanan dan minuman ditaruh di meja masing-masing pelanggan.

Berdasarkan laporan, dia melakukan pemeriksaan menggunakan peralatan CCTV yang dipasang di 13 unit toko dan memastikan bahwa dia mengidentifikasi pelanggan palsu.

Namun, Mahathir tidak meminta stafnya untuk mengkritiknya, berhenti mengonfrontasinya ketika ada pelanggan yang datang kembali. Anda mungkin kehabisan uang, pelupa, atau sengaja. Tinggalkan saja di rumah.

“Silakan makan sebanyak-banyaknya. Kalau tidak bayar nanti dikutuk. Karena hidup pasti tidak tenteram. Tidak berkah,” jelasnya sambil menunjukkan foto-foto tersebut. Beberapa selebritis pernah mampir ke kedai kopinya, seperti Ifan Seventeen, Marcell Siahaan, dan Ustadz Abdul Somad (UAS).

Prinsip kesetiaan

Tampaknya tempat makan di Banda Aceh juga memberikan contoh serupa. Ibarat toko kambing di ujung Pasar Aceh yang pelanggannya hampir tak pernah singgah, datang dan pergi.

Faktanya, toko tersebut bahkan tidak memiliki salinan pesanan di papannya. Pelanggan harus mengambil nasinya dan sesuka mereka, maka mereka akan memesan minuman.

Seusai makan, pelanggan diminta mengingat pesanan makanan dan minuman, kemudian kasir menghitungnya dan mengembalikannya.

Ini berbeda dengan kebanyakan perilaku di tempat makan modern, seperti “makanan cepat saji”. Pelanggan memesan piring, membayar terlebih dahulu, lalu membawa makanan dan minumannya.

Bahkan, berdirinya usaha jenis ini di banyak tempat mulai menjadi tempat berjualan yang lumrah. Mungkin pelanggan mengharapkan mereka tidak jujur.

Faktanya, sebagian besar toko (warteg) Tegal masih mempertahankan pola transaksi tradisional, serupa dengan yang terjadi di Aceh. Makan dulu, bayar belakangan.

Namun ukuran lounge-nya tidak sebesar warkop di Aceh dan akses keluar masuk pelanggan hanya sampai melalui dua pintu. Hal ini memudahkan pelanggan untuk memantau. Suasana di BTJ Kupi Banda Aceh penuh dengan pelanggan. (ANTARA/Zuhdiar Laeis)

Namun baru-baru ini ada kasus jujur ​​​​seorang pelatih Muaythai asal Jawa Timur, Sold of Fortune, yang dua kali meninggalkan selnya di gedung Bale Meuseuraya Banda Aceh, namun ternyata tidak kehilangan siapa pun.

Seingatnya, pertama kali ia meninggalkan ponselnya di toilet dan kedua kali di lereng Meuseuraya Banda Aceh, dan ternyata ponselnya ditinggalkan di toko pakaian oleh orang yang menemukannya.

Lagi pula, mungkin karena terburu-buru, mantan petinju itu meninggalkan kunci sepeda motornya tersangkut di tempat parkir. Saat kembali, kuncinya masih ada di sepeda motornya.

Kisah ini viral di berbagai platform media sosial, menunjukkan prinsip kejujuran yang dipegang teguh masyarakat Aceh.

Dalam ajaran Islam, kejujuran juga menjadi salah satu ciri Nabi Muhammad SAW yaitu “Siddiq” yang wajib dilaporkan oleh para pengikutnya.

Sebagai umat Islam, kita malu jika tidak mencontoh keteladanan kejujuran yang kita lihat pada keteladanan Rasulullah dalam kehidupan kita sehari-hari.

Selain itu, Aceh sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang diberi keahlian atau wewenang untuk melaksanakan syariat Islam yang ditetapkan oleh Qanun Aceh, merupakan tempat yang kuat untuk menegakkan aturan kesetiaan yang harus dipatuhi.

Kisah kejujuran yang terjadi selama pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional 21 Tahun 2024 (PON) Aceh-Sumut, Banda Aceh, berbeda dengan pemberitaan masyarakat sehari-hari terkait penipuan yang dilakukan pejabat dan musuh kalangan atas.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours