Ajaran Khilafah Islamiyah Agenda Politik Bukan Akidah

Estimated read time 4 min read

JAKARTA – Berbagai kelompok Islam yang biasanya memiliki penafsiran ekstrem terhadap ajaran agama kerap menggunakan simbolisme dan menjebak banyak pengikutnya dalam pemikiran dikotomis. Seperti dalam penggunaan istilah khilafah atau Negara Islam. Siapa pun yang tidak setuju dianggap sesat bahkan dikutuk sebagai kafir karena dianggap menghalangi penegakan hukum Islam.

Profesor Zuly Qodir, Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menjelaskan kelompok radikal kerap mengacaukan prinsip mutlak keimanan dengan penafsiran fiqh, terutama pada bagian siyasah atau politik. Sebenarnya keduanya adalah dua hal yang sangat berbeda. Kesalahpahaman terhadap pembedaan ini menyebabkan kelompok Islam radikal selalu menganjurkan berdirinya negara Islam sebagai kesempurnaan agama.

“Kita harus bisa memisahkan gagasan Khilafah Islamiyah atau negara Islam dengan keyakinan kita terhadap akidah Islam yang menjadi landasan utama umat Islam. Ajaran Khilafah Islamiyah atau seruan mendirikan negara Islam merupakan sebuah politik. agenda dan bagian dari fiqh siyasah, hingga fiqh yang membahas tentang politik,” kata Profesor Zuly di Yogyakarta, Kamis (04/07/2024).

Dia menjelaskan, modus operandi sebagian besar kelompok radikal sudah jelas. Mereka secara sistematis menyasar generasi muda yang belum mendalami agama, khususnya Islam.

Hal ini juga ditentang oleh penafsiran fiqh yang menyatakan bahwa berdirinya Khilafah Islamiyah atau negara Islam adalah bagian dari iman atau syariah Islam. Akibat wajar dari pemikiran ini adalah bahwa hukum Islam bersifat mengikat, termasuk pendirian negara Islam, dan kegagalan dalam melaksanakannya dinyatakan sebagai kejahatan.

Profesor Zuly yang kerap mengkaji pola pergerakan jaringan radikal dan teroris ini mengatakan, semangatnya mempelajari Islam tidak boleh membuat dirinya menjadi guru yang kurang selektif. Menurutnya, para mantan anggota HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang masih eksis di ruang publik seringkali tidak memperjelas pengetahuan akademisnya, siapa gurunya, kapan dan di mana menuntut ilmu. Internet sering kali digunakan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan utama bagi kelompok seperti ini.

“Hal ini tentu berbeda dengan organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah. Kedua lembaga ini mengirimkan kadernya ke pesantren dan kajian Islam di perguruan tinggi, atau kajian Islam intensif,” tambah Profesor Zuly.

Perdebatan mengenai urgensi berdirinya negara Islam efektif berakhir ketika para founding fathers menerima format Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, upaya pendirian negara Islam yang dilakukan saat ini jelas tidak sejalan dengan aqidah Ahlusunnah waljamaah, atau prinsip yang dianut mayoritas umat Islam di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia.

Selain itu, ketertarikan masyarakat Indonesia khususnya umat Islam terhadap cara pandang dan gagasan pendirian negara Islam nampaknya tidak sebesar apa yang dipropagandakan HTI. Seperti kebanyakan masyarakat dunia pada umumnya, Indonesia lebih tertarik pada konsep-konsep konkrit seperti keadilan, kesejahteraan, akses terhadap pekerjaan dan pendidikan.

“Kita tidak perlu jauh-jauh dengan Daulah Islam atau Khilafah Islamiyah, kita lihat partai-partai Islam di Indonesia tidak memperoleh suara terbanyak. Ini hanya bukti bahwa umat Islam. Di Indonesia yang 87 % dari total penduduk “tidak menjamin partai berideologi Islam bisa melewati ambang batas pemilu,” kata Profesor Zuly.

Dia mencontohkan seperti PPP, PBB, dan Partai Umat. Ketiga partai ini mungkin diasumsikan mewakili mayoritas suara umat Islam, namun kenyataannya perolehan suara mereka jauh lebih kecil dibandingkan dengan partai-partai non-Islam lainnya. Memang ada partai Islam lain yang lolos dan masuk parlemen, namun jumlahnya tidak sebanding dengan partai nasionalis.

Prof Zuly menekankan pentingnya mempelajari agama Islam dan sejarah secara umum. “Kita bisa merujuk pada masa kenabian di masa lalu. Tidak ada nabi yang mengatakan perlunya negara Islam, yang ada hanyalah negara atau masyarakat sipil, negara yang beradab di zaman Nabi Muhammad SAW,” ujarnya.

Ia menjelaskan, hingga akhir hayatnya, Nabi tidak pernah mengatakan bahwa Madinah atau Mekkah adalah tanah Islam. Kekhalifahan Islam memang ada, namun masa keemasan konsep ini berakhir dengan runtuhnya Turki Ottoman.

“Sekarang ada teman-teman HTI kita yang mau memuji dan menghidupkannya kembali, seolah-olah negara Islam sedang bangkit kembali di Indonesia, bahkan di tingkat internasional. Saya kira itu utopia, dari situ kekacauan yang luar biasa,” kata Profesor Zuly.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours