Pelajar Diingatkan Kebebasan Berekspresi di Media Sosial Ada Batasnya

Estimated read time 3 min read

KOLAKA – Kebebasan berpendapat adalah hak setiap orang untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, dengan cara apapun. Hal ini mencakup ekspresi lisan, cetak dan audiovisual, serta ekspresi budaya, seni dan politik.

Dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Eko Pamuji mengatakan kebebasan berpendapat setidaknya dijamin oleh dua aturan dasar: Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 28e Ayat (3) UUD 1945.

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat,” tegasnya dalam webinar literasi digital sektor pendidikan yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI bersama Dikbud Provinsi Sultra. Pelayanan, di Kabupaten Kolaka, Rabu (25/9/2024)

Dalam webinar bertajuk “Bebas tapi Terbatas: Berekspresi di Media Sosial”, Eko mengatakan kebebasan berekspresi di media sosial juga dibatasi oleh aturan yang diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE; akses ilegal (Pasal 30); dan intersepsi yang melanggar hukum (Pasal 31).

“Beberapa kejahatan siber yang diatur dalam UU OTM antara lain: konten ilegal, yaitu: pencabulan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan, sebagai tanda ruang digital, sehingga warga negara merasa nyaman dan aman dalam berekspresi,” jelas Eko.

UU ITE, lanjut Eko, merupakan sinyal lalu lintas media sosial untuk mengantisipasi penyalahgunaan teknologi informasi, khususnya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Hal ini tertuang dalam pasal 27 ayat 3 UU No. 11 Tahun 2008 juncto UU No. 19 Tahun 2016.

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan dan/atau mengirimkan dan/atau membuat informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang mengandung muatan yang menyinggung dan/atau mencemarkan nama baik,” kata Eko Pamuji kepada mahasiswa dan staf pengajar yang mengikuti diskusi. mengikuti acara tersebut dengan mengadakan kelompok nonton bareng (nobar) di sekolah masing-masing.

Beberapa sekolah yang mengadakan sesi diskusi daring di wilayah Kabupaten Kolaka dan sekitarnya antara lain: SMP Islam Terpadu Nur Syamzam, SMP Islam Terpadu Wihdatul Ummah, SMA Negeri 1 Tanggetada, SMA Negeri 1 Wolo, SMA Muhammadiyah Dawi-Dawi, AlMawar IT SMA, SMA Negeri 1 Pomalaa, SMAN 1 Samaturu, SMA IT Wahdah Islamiyah, dan SMAN 1 Wundulako.

Pembicara lainnya, dosen dan peneliti Universitas Paramadina di Pusat Kajian Media dan Demokrasi LP3ES Jakarta, Joko Arizal, mengatakan kebebasan berekspresi di media sosial dibatasi oleh hak digital orang lain. Hak digital adalah hak asasi manusia yang menjamin kemampuan seluruh warga negara untuk mengakses, menggunakan, membuat dan mendistribusikan media digital.

“Ada hak, ada tanggung jawab. Untuk melindungi hak atau reputasi orang lain. Untuk menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, atau kesehatan dan moral masyarakat. Hak digital yang berbeda-beda, yaitu hak akses, hak berbicara, dan hak berbicara. berhak merasa aman,” jelas Joko Arizal.

Sementara itu, CEO PT Mahakarya Berkah Sejahtera Muhajir Sulthonul Aziz menghimbau agar pengguna digital memiliki keterampilan digital. Keterampilan tersebut meliputi lanskap digital, mesin pencari informasi, aplikasi chat dan media sosial, dompet digital, pasar, dan transaksi elektronik.

“Individu yang melek media digital dinilai mampu mengetahui, memahami dan menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak dalam lanskap digital, mesin pencari informasi, chatting dan aplikasi media sosial, seperti aplikasi dompet digital, marketplace dan transaksi digital,” jelas Muhajir Sulthonul Aziz . .

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours