Kisah Kebangkitan Daha sebagai Ibu Kota Kerajaan setelah Kejatuhan Majapahit

Pada masa keemasan Majapahit, kekuasaan dan pengaruhnya menyebar ke berbagai penjuru nusantara. Namun, seperti banyak kerajaan besar lainnya, Majapahit juga mengalami kemunduran. Ketika Majapahit jatuh pada tahun 1478, muncul cerita baru seiring bangkitnya Daha menjadi ibu kota kerajaan baru.

Pasca jatuhnya Majapahit, Sri Vilvatiktapura-Janggala-kadiri Dya Ranavijaya yang dikenal dengan gelar Prabhu Natha mengambil alih kekuasaan dan berusaha melestarikan sisa-sisa Majapahit. Daya Ranavijaya memerintah di Keling, yang kemudian menggantikan Majapahit sebagai pusat pemerintahan baru. Gelar yang disandangnya, sebagaimana tercantum dalam Prasasti Jiu, mengukuhkan kedudukannya sebagai penguasa yang sah.

Namun Keling tidak bertahan lama sebagai ibu kota. Pada masa pemerintahan Girindravardhana Dya Ranavijaya, ibu kota dipindahkan dari Keling ke Daha. Meskipun tidak ada catatan sejarah yang mencatat secara akurat kapan migrasi ini terjadi, bukti dari sumber sejarah Portugis karya Tom Pires memberikan petunjuk penting. Dalam bukunya “Suma Oriental” yang ditulis antara tahun 1512 dan 1515, Pires menyebut ibu kota kerajaan Jawa “Dayo”. Nama tersebut diduga terjemahan dari Daha, terletak di tengah Jawa Timur, dua hari perjalanan dari pelabuhan Tuban.

Perpindahan ke ibu kota ini menandai tumbuhnya Daha sebagai pusat pemerintahan baru. Lokasinya yang strategis, seratus kilometer di selatan Tuban, memberikan keamanan dan stabilitas yang dibutuhkan kerajaan untuk menghadapi tantangan zaman. Menurut Tome Pires, Daha menjadi pusat kerajaan Jawa pada tahun 1513 menggantikan Majapahit yang telah lama menjadi simbol kejayaan nusantara.

Munculnya Daha sebagai ibu kota kesultanan pasca jatuhnya Majapahit menunjukkan kemampuan penguasa Jawa dalam beradaptasi dengan perubahan zaman. Meski Majapahit jatuh, semangat dan warisannya tetap hidup melalui Daha, simbol kelangsungan dan kebangkitan kekaisaran di Jawa Timur.