Inklusi keuangan: kunci mengangkat kelas menengah dari jurang stagnasi

Estimated read time 5 min read

JAKARTA (Antara) – Indonesia kini berada di persimpangan penting dalam perjalanan perekonomiannya. Kelas menengah, yang merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi, kini menghadapi tantangan serius.

Selama beberapa dekade terakhir, kelas menengah Indonesia mengalami pertumbuhan pesat. Menurut Bank Dunia (2020), kelas menengah Indonesia adalah segmen populasi yang tumbuh paling cepat, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 10 persen setiap tahunnya. Jumlah penduduk kelas menengah diproyeksikan mencapai 70 persen dari total penduduk Indonesia pada tahun 2045.

Namun, jumlah penduduk kelas menengah justru mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Data BPS menunjukkan jumlah kelas menengah mengalami penurunan sebesar 4,32 persen, dari 21,45 persen pada tahun 2019 menjadi 17,13 persen pada tahun 2024.

Hal ini menjadi sinyal yang tidak boleh diabaikan, apalagi inklusi keuangan Indonesia yang menurut Laporan Pelaksanaan Kebijakan Inklusi Keuangan Nasional (SNKI) tahun 2023 terus mengalami perbaikan setiap tahunnya hingga mencapai angka 88,7 persen pada tahun 2023.

Angka tersebut berarti delapan dari sepuluh masyarakat Indonesia, termasuk kelas menengah, memiliki akses terhadap layanan keuangan formal, seperti rekening bank, kredit, asuransi, dan produk keuangan lainnya. Rasio ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menggunakan produk dan jasa keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan formal.

Di sisi lain, inklusi keuangan telah menjadi agenda global. Pemerintah di berbagai negara berupaya meningkatkan inklusi keuangan untuk memberdayakan masyarakat, mendukung pengentasan kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

Inklusi keuangan dianggap sebagai pendorong utama untuk mengurangi kemiskinan ekstrem dan meningkatkan kesejahteraan bersama. Faktanya, inklusi keuangan telah diidentifikasi sebagai pendorong tujuh dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Selain itu, G20 berkomitmen untuk meningkatkan inklusi keuangan di seluruh dunia.

Namun, inklusi keuangan bukan hanya sekedar akses fisik, namun juga penggunaan aktif layanan keuangan yang tersedia seperti menabung di bank, menggunakan dompet digital, atau menggunakan kredit.

Menurut Bank Indonesia (2020), inklusi keuangan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Akses terhadap produk dan layanan keuangan yang bermanfaat dan terjangkau memungkinkan masyarakat mengelola risiko, mendistribusikan konsumsi, membangun aset, dan berinvestasi di bidang pendidikan dan kesehatan. Semua ini pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan finansial secara keseluruhan.

Dengan tingkat inklusi keuangan yang relatif tinggi, diharapkan masyarakat mampu mengelola keuangannya, merencanakan masa depan, dan meningkatkan kesejahteraan keuangannya.

Lantas, mengapa kelas menengah terjebak dalam krisis ekonomi? Meskipun inklusi keuangan semakin meningkat, banyak daerah di Indonesia, terutama masyarakat kelas menengah di luar Pulau Jawa, masih menghadapi tantangan dalam mengakses layanan keuangan.

Data Potensi Desa tahun 2021 menunjukkan sebaran agen bank dan ATM masih sangat terbatas di banyak daerah seperti Kalimantan, Maluku, dan Papua. Tanpa akses yang setara, akan sulit bagi kelas menengah di sektor ini untuk memanfaatkan potensi inklusi keuangan secara maksimal.

Selain terbatasnya akses, tingkat inklusi keuangan di kalangan kelas menengah juga belum merata. Berdasarkan Laporan Penerapan SNKI Tahun 2021, meskipun kepemilikan rekening dan penggunaan produk/jasa keuangan formal relatif tinggi pada kelompok pendapatan menengah ke atas, namun 71 persen memiliki rekening dan 86,3 persen menggunakan produk/jasa keuangan formal, memiliki akses terhadap banyak hal. . Produk yang masih kurang baik perbankan maupun non perbankan.

Penggunaan produk dan layanan, seperti pinjaman, Internet atau “mobile banking”, dan uang elektronik, kurang dari 50 persen, dan untuk beberapa produk non-bank, seperti pembelian obligasi, saham, dan reksa dana, penggunaannya adalah kurang dari 10 persen.

Penurunan jumlah kelas menengah ini merupakan insentif bagi pemerintah untuk meningkatkan inklusi keuangan. Langkah konkrit perlu diambil untuk menghadapi situasi ini. Dengan demikian Indonesia akan segera keluar dari ‘middle income trap’. Untuk menghindari hal ini, kita harus mengambil beberapa langkah.

Pertama, literasi keuangan harus ditingkatkan. Literasi keuangan harus diprioritaskan dalam kebijakan inklusi keuangan. Masyarakat, khususnya masyarakat kelas menengah, perlu memiliki pengetahuan yang memadai mengenai produk keuangan termasuk investasi, agar dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Kedua, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur perekonomian di daerah tertinggal. Tanpa akses yang setara, inklusi keuangan hanya akan menjadi sebuah angka yang tidak memiliki dampak nyata terhadap kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, kebijakan investasi harus diperkuat. Pemerintah bersama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus merancang kebijakan yang mendorong masyarakat untuk lebih banyak berinvestasi, misalnya melalui insentif pajak bagi rumah tangga yang berinvestasi atau program literasi keuangan yang berfokus pada manfaat investasi jangka panjang.

Keempat, pendidikan juga harus menjadi prioritas utama. Saat ini, 37,75 persen penduduk kelas menengah masih memiliki tamatan SMP sederajat atau kurang. Memang benar, pendidikan merupakan variabel penting untuk meningkatkan kesejahteraan. Penelitian menunjukkan bahwa satu tahun pendidikan tambahan dapat mengurangi risiko kemiskinan dan pengucilan sosial sekitar 29 persen.

Inklusi keuangan bukan sekedar memberikan akses terhadap rekening bank. Hal ini tentang menciptakan peluang nyata bagi setiap keluarga kelas menengah untuk berkembang, meningkatkan kesejahteraan, dan melampaui batasan finansial mereka. Dengan akses terhadap investasi, literasi keuangan yang memadai, dan pendidikan yang lebih baik, kelas menengah memiliki peluang lebih besar untuk naik ke kelas atas.

Jika Indonesia ingin mencegah jebakan kelas menengah dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, kebijakan inklusi keuangan yang progresif harus segera diterapkan.

Sudah saatnya Indonesia beralih dari kata-kata menjadi tindakan, agar kelas menengah tidak lagi terjebak dalam stagnasi. Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan mendorong mobilitas sosial untuk semua.

*) Nuri Tawfiq dan Lily Ratnosari merupakan ahli statistik di Badan Pusat Statistik (BPS).

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours