Indef Sebut Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dibuat Terburu-buru

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Center for Economic and Financial Development (INDEF) kembali menekankan permasalahan kemasan rokok polos tanpa label dalam rencana Kementerian Kesehatan (RPMK) dan Peraturan PP Nomor 28 Tahun 2024. INDEF melihat dua kebijakan tersebut digagas oleh Center for Economic and Financial Development (INDEF). Kementerian Kesehatan (Kemenkes) seiring munculnya tantangan dan perselisihan.

Kepala Pusat Bisnis Indef Andry Satrio Nugroho menilai aturan tersebut belum sepenuhnya mempertimbangkan dampaknya terhadap pedagang dan dunia usaha secara umum. Anehnya, PP 28/2024 dan RMPK yang seharusnya fokus pada penanganan masalah kesehatan justru berdampak pada perekonomian, bahkan sebelum manfaat dari sisi kesehatan bisa dirasakan oleh masyarakat umum.

“Kebijakan tersebut dilaksanakan dengan sangat cepat, bahkan justru menambah beban sektor tembakau yang sudah menghadapi kesulitan,” ujarnya baru-baru ini.

Baca Juga: Gudang Garam ‘Batuk’ setelah Alami Kenaikan, Pendapatan 10,54%.

Salah satu permasalahan utamanya adalah penerapan kemasan rokok yang jelas dan diberi nama dengan rencana RPMK yang didorong oleh Kementerian Kesehatan untuk segera disetujui. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengatur kemasan produk tembakau, namun menimbulkan kontroversi karena menghilangkan merek dagang atau hak kekayaan intelektual pada produk tersebut. Selain itu, aturan tersebut dinilai kurang terkoordinasi antara Kementerian Kesehatan dengan departemen terkait lainnya seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Andy mencatat, kurangnya transparansi Kementerian Kesehatan juga menjadi kekhawatiran, terutama mengingat banyaknya penolakan masyarakat. Selain itu, dampak dari kebijakan kemasan jelas diperkirakan akan berdampak pada industri tembakau.

Sebab, jika harga tembakau naik, perusahaan-perusahaan di sektor tersebut bisa meresponsnya dengan mengurangi produksi, yang berujung pada PHK. Padahal ekosistem tembakau sendiri telah menciptakan lapangan kerja hingga 6 juta orang.

“Kebijakan ini dapat memperburuk keadaan di sektor ketenagakerjaan, apalagi dengan penurunan pendapatan negara yang sudah berjalan,” imbuhnya.

Sementara itu, kebijakan restriktif bisa memperburuk permasalahan pendapatan negara. Menurut dia, peraturan yang terlalu ketat dapat mendorong merebaknya produk tembakau ilegal yang justru mengurangi pendapatan dari penjualan tembakau legal.

“Pemerintah harus memperhatikan fakta bahwa peraturan yang bertujuan untuk memberantas produk ilegal dapat mempersulit masalah ini,” ujarnya.

Baca juga: Peredaran Rokok Ilegal di Jateng Kerugian Rp 121,77 Miliar

Andy juga menyoroti potensi dampak kebijakan tersebut terhadap perekonomian yang lebih luas. Jika suku bunga tetap tinggi dan PPN meningkat, hal ini dapat memperburuk keadaan perekonomian dan menyebabkan peningkatan jumlah rokok ilegal, karena tidak dapat lagi dipisahkan dari yang asli jika diterapkan aturan kemasan rokok polos tanpa tanda, yang mengakibatkan ke potensi. Dalam pendistribusian obat.

“Peningkatan suku bunga dan PPN dapat menyebabkan peningkatan permintaan barang ilegal,” tegasnya, seraya menekankan bahwa penegakan hukum terhadap kejahatan narkoba tidak efektif.

Secara umum, ia berharap pemerintah mempertimbangkan kembali RPMK yang memuat ketentuan kemasan rokok polos tanpa tanda dan PP 28/2024 secara mendalam. “Pemerintah harus memastikan kebijakan yang diterapkan tidak hanya fokus pada tujuan kesehatan, tetapi juga mempertimbangkan dampak ekonomi dan lapangan kerja,” tutupnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours