Ekonom Usul Tunda Rencana Kenaikan PPN 12 Persen, Ini Pertimbangannya

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Direktur Jenderal Center for Economic and Legal Research (Celiode) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah menunda rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Penerapan ketentuan kenaikan PPN yang diatur dalam UU Nomor 7 Keputusan tahun 2021 akan diambil oleh pemerintah berikutnya.

Bhima menjelaskan, Senin (5 Mei 2024), “Tolong tunda kenaikan tarif PPN sebanyak 12 lagu. Jika memungkinkan, turunkan tarif PPN saat ini menjadi 8-9% untuk merangsang konsumsi domestik.”

Bhima berpendapat, meski asumsi PPN sebesar 12% sudah dimasukkan dalam asumsi untuk memfasilitasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, pemerintah masih bisa menunda kenaikan tarif PPN menjadi 12% dengan mempertimbangkan beberapa pertimbangan. Sebab berdasarkan ayat (3) Pasal 7 UU HPP, tarif PPN dapat diubah paling sedikit 5% dan paling banyak 15%.

“Berdasarkan pertimbangan pembangunan ekonomi dan/atau kebutuhan penambahan modal untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah paling rendah 5% dan paling tinggi 15%,” jelas ayat (3) Pasal 7 UU tersebut. Nomor 15. Keputusan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Perpajakan (HNL).

Bhima mengatakan, jika pemerintah ingin mengubah tarif PPN, sebaiknya disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk dibahas dan mufakat dalam penyusunan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).

Pada saat yang sama, ia menjelaskan beberapa dampak yang akan dihadapi Indonesia jika AS terjerumus ke dalam resesi ekonomi. Menurutnya, pelemahan ekonomi di AS akan membuat sikap bank sentral AS dan Federal Reserve (Fed) terhadap suku bunga semakin sulit diprediksi. Hal ini bisa berdampak pada melemahnya nilai tukar rupee karena investor beralih ke aset yang lebih aman (safe havens).

“Kalau ada tanda-tanda pelemahan ekonomi semakin parah, posisi bank sentral AS tidak jelas, (maka investor bisa beralih ke) aset-aset safe-haven ((aset yang lebih aman) bisa yang lain, bisa emas, bisa jadi emas, bisa jadi. dolar AS dalam jangka menengah” kata Pak Bhima pada pengarahan dua mingguan CELIOS pada Senin malam (8 Mei 2024).

Akibat kedua adalah menurunnya cadangan devisa akibat lemahnya permintaan ekspor di Amerika Serikat. Konsekuensi selanjutnya adalah suku bunga di AS akan tetap tinggi untuk mencegah keluarnya uang asing, khususnya di pasar saham.

Bhima mengatakan, perlambatan ekonomi di AS juga akan berdampak pada minat investor untuk menerbitkan surat utang pemerintah.

“Hal ini akan mempersulit pencarian sumber pendanaan untuk menutupi defisit anggaran nasional (APBN) hingga akhir tahun dan mendanai program Prabowo pada tahun 2025,” kata Bhima.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyampaikan kepada pemerintah baru rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%.

“Untuk PPN, kami serahkan pada kebijaksanaan pemerintah,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers usai pemaparan Kerangka Ekonomi Makro dan Kerangka Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) DPR di Jakarta, awal Maret lalu.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours