BPIP Rekomendasikan Pembentukan UU Etika Kepresidenan

Estimated read time 4 min read

JAKARTA – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengusulkan disahkannya undang-undang lembaga presiden yang mengatur prinsip moral. Hal ini harus mengatasi masalah etika administrator publik dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Rekomendasi tersebut disampaikan BPIP dalam Focus Group Discussion bertema “Sensitivitas Etis Penyelenggara Publik” yang diselenggarakan di Jakarta pada Selasa, 27 Agustus 2024.

FGD ini mengeksplorasi bagaimana ketidakstabilan moral mempengaruhi sistem hukum, demokrasi dan pemerintahan, serta membahas upaya mengembalikan Pancasila sebagai pedoman hidup dan cita-cita negara.

“Kekuasaan korup dan kekuasaan absolut pasti korup” Kutipan Lord Acton patut menjadi bahan pertimbangan dalam menggambarkan realitas bangsa dan negara saat ini, apalagi dengan semakin maraknya dugaan penyalahgunaan kekuasaan. administrator publik.

Jelas nilai-nilai dan etika Pancasila dalam politik dan perundang-undangan sudah terkikis secara signifikan, kata Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ikrar Nusa Bhakti, Rabu (28/8/2024). ).

Menurut Lord Acton, kekuasaan absolut pasti akan berujung pada korupsi. Ini bukanlah sebuah slogan, namun telah divalidasi oleh berbagai kajian akademis. “Kekuasaan mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari kecanduan narkoba.”

Kekuasaan dapat mengaktifkan sistem penghargaan saraf di otak, membuat orang yang berkuasa cenderung akan tetap kuat. Hal ini berdampak pada penyalahgunaan kekuasaan.

“Ternyata dengan memperoleh kekuasaan, seseorang bisa mengubah pandangannya terhadap dunia dan dirinya sendiri,” kata Ramlan Surbakti, Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga.

Akibat dari penyalahgunaan kekuasaan dapat menimbulkan kolusi dan nepotisme yang berujung pada dominasi kekayaan kolektif dan penggunaan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan.

Bentuk kekerasan yang lebih serius adalah manipulasi sistem hukum dari segi peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum.

Saat ini, hakikat hukum yang seharusnya mendukung etika moral sudah melampaui nilai-nilai moral.

“Ada masalah besar dengan pendewaan hukum dan mengesampingkan moralitas, begitu pula sebaliknya,” kata Bivitri Suzanti, pakar hukum STH Jentera.

Demikian pula proses legislasi yang seharusnya memungkinkan partisipasi masyarakat dilakukan secara tertutup dan terbuka.

“Etika harus menjadi pedoman moral para administrator publik untuk menjaga integritas dan kepercayaan publik. “Juga mereka harus kuat secara moral, sekarang mereka menunjukkan keputusan yang tidak bermoral,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Harkristuthi Harkrisnawa.

Terlebih lagi, kerja legislasi dilakukan tanpa naskah akademis yang kritis dan mendalam, sehingga istilah DPR lebih berfungsi sebagai dewan perwakilan Rezim dibandingkan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini juga tidak mengurangi independensi lembaga peradilan.

“Pada akhirnya, undang-undang tersebut tidak lagi secara adil melindungi hak asasi manusia dan kepentingan publik, namun malah digunakan untuk meningkatkan kekuatan politik.”

Hal ini juga memperburuk kualitas demokrasi. Misalnya saja menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2024, Indonesia masuk kategori demokrasi cacat dengan skor 6,53 dan menempati peringkat 56 dunia, turun 2 peringkat dibandingkan tahun lalu.

“Demokrasi yang rusak adalah situasi kita. “Mekanisme pemilu yang merupakan syarat prosedural demokrasi dan kebebasan sipil belum cukup kuat karena ada oligarki di atas, tapi di bawah masyarakat menghadapi intoleransi karena proses politik,” kata Martin L. Guru Ujian. .

Beberapa komentar penting yang menduduki peringkat terendah dalam indeks ini adalah budaya politik sebesar 4,38 dan kebebasan sipil sebesar 5,29. Sedangkan menurut data Freedom House tahun 2024, Indonesia mendapat nilai 57/100 pada kategori bebas sebagian, turun 1 poin dibandingkan tahun lalu.

“Demokrasi berkorelasi positif dengan indikator ekonomi dan sosial. Jika ingin mengurangi kesenjangan, maka demokrasi harus menjadi prioritas. Andi Wijajanta, ilmuwan politik yang mengepalai Lembaga Nasional Keberlanjutan (Lemhannas) 2022-2023: “Saat ini, demokrasi di Indonesia lemah dan perekonomian stagnan.”

Berdasarkan FGD tersebut, BPIP memberikan rekomendasi untuk mengatasi permasalahan etika penyelenggara publik, yaitu perlunya menetapkan undang-undang tentang Kantor Presiden yang mengatur prinsip-prinsip etika.

Hal ini disebabkan karena presiden, lembaga legislatif, dan lembaga eksekutif yang dipimpin oleh lembaga yudikatif mempunyai kode moral masing-masing, misalnya lembaga legislatif mempunyai MD3, lembaga yudikatif mempunyai mahkamah konstitusi, Mahkamah Agung, undang-undang Kentucky, dan lembaga eksekutif mempunyai Departemen Luar Negeri, Wakil Presiden, TNI, Polri dan lain-lain, namun tidak di Kantor Presiden.

“Perundang-undangan harus berkualitas tinggi dengan teks akademis yang mendalam, proses yang transparan dan inklusif harus diprioritaskan, dan partisipasi masyarakat harus didorong.”

Kemudian memperkuat struktur dengan mengembalikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KARC) dan Mahkamah Konstitusi (CRC) menjadi lembaga yang independen dan imparsial.

“Memperkuat independensi dan imparsialitas peradilan dan mereformasi kepolisian untuk mengubahnya menjadi lembaga penegak hukum dan keadilan, bukan sekedar penegak hukum.”

Di bidang politik, sistem partai politik (partai politik) harus direformasi agar kader partai politik mendapat dukungan moral dan etika.

“Partai politik juga harus dibiayai oleh negara, dengan pentingnya pelatihan staf untuk memastikan bahwa partai politik memenuhi persyaratan yang ketat dan partai politik memiliki ideologi yang jelas.”

Di bidang pendidikan, bahan ajar Pancasila hendaknya berlandaskan hak dan nilai-nilai masyarakat serta tidak mendukung ajaran yang bersifat normatif dan simbolis seperti upacara penghormatan terhadap bendera.

“BPIP juga hendaknya mengungkapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan praktis dan menyampaikan kebenaran, bukan sekedar lembaga dogmatis yang bertugas melakukan sosialisasi, tetapi lembaga yang mengungkapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.” dia menjelaskan.

Penyelenggara Negara TAP MPR no. VI Tahun 2001 untuk menegakkan kode etik yang kuat dalam berbagai bidang kehidupan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hukum di masa lalu.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours