Dokter Tirta Ungkap Sisi Gelap di Lingkungan Profesinya: Sengsara

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Permasalahan terkait dunia kedokteran belakangan ini bermunculan. Sisi gelap terkait pekerjaan tersebut mulai bermunculan silih berganti

Hal ini disebabkan oleh bunuh diri seorang dokter muda sekaligus peserta PPDS anestesi Andip Semarang akibat bullying. Kasus tersebut kemudian mengingatkan Dr Tirta akan sisi gelap profesi yang terkenal dengan “citra” bergaji tinggi.

Memang, menurut Dr. Tirtha, dokter adalah profesi yang menyedihkan. Apalagi jika Anda bukan seorang profesional medis dan tidak bekerja pada posisi ‘strategis’

“Sebenarnya saat itulah (setelah masuk kedokteran) saya belajar bahwa menjadi dokter, kalau tidak profesional, itu menyedihkan,” kata Dr. kata Tirta dalam podcast bersama Fenny Rose, Rabu (21/8/2024) dari Saluran YouTube resmi Cheney Rose Dan sayangnya jika Anda seorang profesional, Anda tidak bekerja di area basah.

Dr Tirtha mengatakan, proses menjadi dokter profesional tidaklah mudah. Sulit sekali memulainya dengan masa studi yang panjang, ketika memulai pekerjaan harus mengeluarkan biaya yang murah

Meski tidak memiliki ‘networking’ alias ‘ordal’, Dr Tirtha mengatakan, di awal karir, akan banyak kendala di profesi medis karena Anda akan dijauhkan dari keluarga. Tempat yang buruk

“Prosesnya seperti maraton. Perkuliahannya memakan waktu lama dan prosedurnya juga memakan waktu lama. Setelah lulus, semua dokter harus menyelesaikan magang. Katanya, gaji setelah pelatihan rata-rata dan harus berjuang 5 tahun lagi untuk menjadi profesional.

“Lima tahun nanti, kalau jaringannya bagus, nanti bekerja di wilayah perairan. Jadi airnya dekat dengan keluarga, masih di Pulau Jawa. Tapi kalau mau masalah bisa ke tiga tempat, yang mana mereka sangat khawatir dan jauh dari keluarga kata dokter.

Dokter lulusan Universitas Gjaja Mada ini mencontohkan perjuangannya saat memulai program BPJS kesehatan di Indonesia pada tahun 2014 saat mulai dilaksanakan. Saat itu, Dr. Tirtha mengira perjuangannya telah usai setelah ia menjadi dokter hebat.

Ia berpikir setelah itu ia akan bekerja di bidang kesehatan, kemudian mengambil SIP dan berharap mendapat penghasilan sekitar 30-Rp. Namun kenyataannya tidak demikian

“Sibuk sekali, antrean BPJSnya panjang. Jadi waktu itu saya merasa risih, wah kaget. Setelah jadi dokter umum, saya pikir, itu saja. Kami kerja di puskesmas kelompok, ambil 3 SIP, atau dokter kita bisa mendapat gaji 30-40 (juta). “Mungkin tidak,” katanya.

Faktanya, Dr. Tirta mengaku saat itu hanya menerima uang kembalian sebesar Rp 100. Dari sana, Dr. Tirtha mulai melihat bahwa para profesional medis seringkali menerima gaji yang tidak sesuai dengan apa yang mereka usahakan.

“Tinggal uang saja (saat itu) masih 100-150 ribu sehari. Uang tinggal di dalam dokter-dokter yang bekerja. Kalau kita duduk saja, lain hari,” ujarnya.

Namun di sisi lain, banyak masyarakat dan kelompok yang berpendapat bahwa pekerjaan medis adalah pekerjaan yang harus mereka lakukan dengan sepenuh hati.

“Lebih lanjut soal waktu kurban, kebetulan dapat imbalan finansial seperti itu. Kalau kita mengeluh soal uang, orang bilang, “Ini pengorbanan.” Dokter Tirtha kemudian berkata, “Tapi saya butuh uang untuk makan.”

Ia sedih dan sedih mengetahui masyarakat mempunyai pandangan yang salah terhadap profesi dokter. Pasalnya, Dokter Tirtha meyakini dokter juga merupakan manusia yang membutuhkan makanan dan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

“Hatiku seperti, wah. Kita butuh uang untuk makan kan? Kita kan pekerjaan?” Tapi kalau kita mengeluh soal uang, selalu ada pembelaan, ya, kamu budak, kalau tidak. siap, kenapa kamu tidak menjadi dokter?”

Dr. Tirta kemudian menyimpulkan bahwa layanan pendidikan dan kesehatan di Indonesia murah. Padahal, menurutnya, kebijakan rumah sakit, bukan dokter, yang menentukan murah atau mahalnya layanan kesehatan.

“Mereka berpikir guru dan dokter seharusnya diberi uang lebih sedikit. Rumah sakit yang menentukan mahal atau tidaknya rumah sakit itu. Saya tidak peduli di sana, katanya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours