Industri Otomotif Jalan di Tempat, Tersandera Perjanjian Eksklusif

Estimated read time 4 min read

JAKARTA – Tujuan pemerintah terhadap industri otomotif menghambat rantai pasok distribusi. Salah satu dampaknya adalah kasus pembatasan distribusi berdasarkan kontrak eksklusif (agensi). Akibatnya, selama hampir satu dekade, industri otomotif mengalami stagnasi.

Hingga tahun 2013, penjualan mobil dalam negeri masih di angka 1 juta unit/tahun. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pada awal tahun ini, penjualan grosir mobil pada Januari hingga Maret sebanyak 215.069 unit. Namun dibandingkan tahun sebelumnya, mengalami perubahan sebesar 23,9%.

Data lain juga menunjukkan penurunan penjualan mobil. Berdasarkan data PT Astra International Tbk, penjualan mobil pada Juli 2024 sebanyak 74.160 unit. Angka tersebut mengalami perubahan sebesar 0,62% dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Juni, penjualan mobil mencapai 74.623 unit. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, penurunan penjualan Juni tahun ini dibandingkan Juli 2023 sebesar 7,88% atau 6.344 unit.

Baca Juga: Industri Otomotif Lambat, Industri Ini Basicnya

Melihat data tersebut, target pemerintah untuk mencapai 2 juta unit penjualan tahunan pada tahun 2030 terancam terhambat. Salah satu alasannya adalah peraturan di Indonesia tidak membantu, terutama untuk rantai pasok kelas menengah.

Selama ini pemerintah hanya fokus mendukung daerah hulu dan hilir, namun lupa fokus pada perlindungan pedagang. Hal ini terlihat dari adanya suatu kontrak yang memuat klausul khusus.

Ketentuan khusus dalam perjanjian vertikal melarang investor mendirikan usaha serupa yang menjual merek berbeda.

Diane Parlohuten, dosen hukum persaingan usaha Universitas Pelita Harpen, dalam keterangannya, Jumat (27 Februari), mengatakan situasi ini tentu berbeda dengan praktik-praktik sebelumnya yang mendorong persaingan usaha dan menurunkan tingkat dunia usaha. , merek berbeda. September 2024).

Ia menjelaskan, sifat pasar otomotif di Indonesia adalah oligopolistik, artinya hanya sedikit perusahaan yang menguasai pasar otomotif. Ia mengambil contoh pedagang Jepang, Korea, atau Eropa untuk menentukan bahwa keputusan pasokan, harga, dan layanan penjualan akan dilakukan secara bersamaan oleh para pedagang tersebut.

Menurutnya, pasar monopoli di Indonesia menjadi peluang bagi pelaku usaha lain untuk mencari atau menemukan pasar merek-merek baru di Indonesia. Kecenderungan ini terjadi karena perjanjian eksklusif dilarang berdasarkan Pasal 15 UU No. 5/1999 dan penyalahgunaan posisi dominan dilarang berdasarkan Pasal 25. Kegiatan penguasaan pasar juga dilarang berdasarkan Pasal 19 UU No.1999.

“Artikel eksklusif tersebut tercipta dari kontrak eksklusif yang diberlakukan oleh pemilik merek, sehingga menghilangkan peluang bagi investor untuk mendirikan usaha lain yang menjual merek lain,” kata Diane.

Baca Juga: Imbas Perang Harga, Dealer Mobil Listrik Besar China Mulai Menangis

Ia menjelaskan, dalam hukum persaingan usaha Jerman dan Uni Eropa (UE), perjanjian restriktif jenis ini tergolong dalam perjanjian keras (hardcore agreement). Bahkan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha Uni Eropa (KPPU), perjanjian tersebut tidak diperbolehkan dan dianggap tidak tepat.

Diane menambahkan, jika dalam perjanjian kerja sama ada klausul yang menyebutkan klausul tertentu, maka perjanjian tersebut tidak sah. “Jika KPPU menemukan bukti adanya perjanjian tertentu, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum,” ujarnya. Oleh karena itu, perjanjian ini dianggap tidak ada.”

Dean menegaskan, kontrak eksklusif tersebut merupakan kontrak ilegal dan dapat dengan mudah dibatalkan berdasarkan Pasal 1335 dan Pasal 1320 KUH Perdata. Artinya menurut Pasal 1335 KUH Perdata dinyatakan tidak ada yang melanggar peraturan atau undang-undang antimonopoli, imbuhnya.

Ia meminta KPPU, pakar hukum persaingan usaha, melakukan investigasi lebih spesifik pada industri, misalnya di sektor otomotif. Hal ini sebagai upaya untuk mencegah potensi praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Data hasil penelitian menjadi bukti yang disampaikan oleh pelapor. “Agen atau pengusaha dapat melaporkan kepada KPPU apabila dirasa terdapat unsur tertentu dalam perjanjian kerja sama dan harus dilaksanakan oleh KPPU,” ujarnya.

Jika seorang agen hanya melaporkan kepada KPPU bahwa izin kerjasamanya dicabut oleh pemilik merek, hal ini juga merupakan pelanggaran hukum. UU 5/1999 Pasal 15 dan Pasal 19 melarang badan usaha mengadakan perjanjian vertikal yang pada dasarnya membatasi kebebasan badan usaha eksternal untuk mengambil keputusan bisnis yang tepat berdasarkan perjanjian tersebut.

“Dengan kata lain, tidak boleh membatasi lokasi badan usaha terkait untuk mendirikan usaha lain yang menjual produk berbeda,” ujarnya.

Ia menambahkan: “Jangankan undang-undang yang bertentangan dengan perjanjian kerja sama. Undang-undang yang bertentangan dengan standar kepatuhan bisnis dianggap sebagai praktik ilegal.

Diane menyarankan agar agen yang merasa kehilangan kontrak tertentu tidak perlu takut. Sebab, syarat sahnya suatu kontrak adalah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum. Dalam hal ini, UU 5/1999 menjadi undang-undang penuntun utama atau “payung hukum” bagi persaingan usaha yang sehat, khususnya di bidang otomotif nasional.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours