Belanja Negara dalam Konvergensi Wilayah: Efektifkah?

Estimated read time 5 min read

Chandra Fajri Ananda

Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Pertumbuhan ekonomi seringkali dianggap sebagai indikator kunci keberhasilan pembangunan nasional, yang mencerminkan peningkatan aktivitas ekonomi dan kapasitas produktif suatu negara. Sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan tercepat di ASEAN, Indonesia berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi lebih dari 5% dalam enam kuartal terakhir.

Data BPS mengungkapkan perekonomian Indonesia berhasil tumbuh sebesar 5,11% (disetahunkan) pada triwulan I tahun 2024, dan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,05% (disetahunkan) pada triwulan II tahun 2024.

Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif stabil di tengah berbagai krisis ekonomi di seluruh dunia, tantangan lain juga muncul berupa ketimpangan pendapatan per kapita regional. Bahkan, kontribusi perekonomian nasional terlihat dengan mendominasi di beberapa daerah, seperti Pulau Jawa yang menyumbang lebih dari 57% terhadap total produk domestik bruto (PDB) nasional.

Di sisi lain, daerah seperti Papua, Kalimantan, dan Nusa Tenggara masih tertinggal dalam kontribusi PDB dan memiliki tingkat pendapatan per kapita yang lebih rendah.

Faktanya, ketimpangan sering terjadi karena sumber daya dan investasi terkonsentrasi pada industri maju atau wilayah tertentu, sedangkan industri tradisional kurang mendapat perhatian di wilayah tertinggal. Dalam dunia perekonomian, W. Arthur Lewis mengajukan konsep “perekonomian ganda” dan menjelaskan bahwa sebenarnya ada dua sektor ekonomi yang berbeda dalam suatu negara: sektor modern yang tumbuh pesat di pusat-pusat pembangunan ekonomi, dan sektor tradisional. yang terletak di daerah tertinggal.

Oleh karena itu, diperlukan intervensi pemerintah untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Teori ekonomi Keynesian berpendapat bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur dasar dan layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan, dapat meningkatkan permintaan agregat dan mendukung pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal.

Investasi pada sektor-sektor tersebut diyakini akan menciptakan multiplier effect yang tidak hanya meningkatkan lapangan kerja dan produktivitas, namun juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di kawasan. Artinya, harapan terhadap pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang dapat dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan dapat terwujud.

Mempercepat Konvergensi di Indonesia Konvergensi adalah proses dimana daerah-daerah yang berpendapatan rendah cenderung mengikuti daerah-daerah yang berpendapatan tinggi. Menurut Barro dan Sala-i-Martin (1992), konvergensi dapat dilihat sebagai proses dimana daerah tertinggal berusaha mengejar ketertinggalan dari daerah kaya.

Teori konvergensi ini didasarkan pada model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang memperkirakan bahwa daerah berpendapatan rendah pada akhirnya akan mencapai keadaan stabil dengan daerah berpendapatan tinggi.

Konvergensi dibagi menjadi tiga jenis: konvergensi sigma, konvergensi beta absolut, dan konvergensi beta bersyarat. Kedekatan Sigma mengukur tingkat ketimpangan antar wilayah dalam kurun waktu tertentu. Pada saat yang sama, korelasi beta menunjukkan bahwa daerah berpendapatan rendah mungkin tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah berpendapatan tinggi. Di sisi lain, konvergensi beta bersyarat memperhitungkan variabel selain pendapatan awal yang dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan.

Studi menunjukkan bahwa kemajuan di Indonesia masih lambat namun konvergen. Hal ini didasari bahwa pendapatan per kapita mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita di Indonesia. Artinya, pada tahun kontrol, daerah dengan pendapatan per kapita rendah mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan daerah dengan pendapatan tinggi dengan asumsi variabel lain tetap.

Pertumbuhan PDB riil per kapita pada tahun 2010 hingga 2022 menunjukkan bahwa provinsi berpendapatan rendah meningkat sebesar 51,7% dibandingkan provinsi berpendapatan tinggi yang pertumbuhannya lebih lambat yaitu hanya 19,17%. Pertumbuhan provinsi berpendapatan rendah lebih penting dibandingkan pertumbuhan Indonesia sebesar 42,91%.

Selain itu, dari tahun 2010 hingga 2018, pertumbuhan riil per kapita di daerah berpendapatan rendah secara konsisten lebih tinggi dibandingkan daerah berpendapatan tinggi dan di Indonesia.

Menariknya, belanja pemerintah di bidang pendidikan, kesehatan dan pembangunan tidak berpengaruh signifikan terhadap percepatan konvergensi di Indonesia. Nilai koefisien yang diperoleh menunjukkan bahwa belanja pemerintah pada ketiga bidang tersebut tidak berpengaruh dalam mempercepat konvergensi.

Artinya belanja pendidikan selama ini belum memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti rendahnya kualitas pendidikan, ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan pasar kerja, serta kurangnya infrastruktur pendidikan. Faktanya, alokasi anggaran pendidikan terus menunjukkan tren peningkatan setiap tahunnya.

Demikian pula pengeluaran pemerintah untuk layanan kesehatan tidak mempunyai dampak signifikan terhadap percepatan konvergensi. Artinya, kualitas layanan yang diberikan masih rendah dan distribusi layanan kesehatan di berbagai daerah masih belum merata.

Faktanya, biaya layanan kesehatan riil meningkat setiap tahun. Lebih lanjut, temuan penelitian menunjukkan bahwa belanja kesehatan masyarakat hingga saat ini difokuskan pada pengelolaan penyakit (pengobatan) dibandingkan pencegahan (pencegahan), sehingga memberikan dampak optimal terhadap produktivitas tenaga kerja.

Pengeluaran pemerintah pada sektor pembangunan, yang meliputi infrastruktur, supremasi hukum, dan pelayanan publik, tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap percepatan konvergensi. Inefisiensi dalam alokasi dan penggunaan anggaran, serta fokus yang tidak tepat pada proyek-proyek pembangunan, secara umum telah gagal mewujudkan manfaat pembangunan infrastruktur, khususnya kemampuannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Mendorong optimalisasi peran pemerintah dan swasta Analisis di atas menunjukkan bahwa pemerintah perlu mengevaluasi dan meningkatkan kualitas belanja pemerintah di sektor-sektor tersebut untuk memastikan efektivitas dan efisiensi dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih adil. Selain itu, pemerintah harus meningkatkan perannya dengan mengoptimalkan alokasi dan penggunaan anggaran untuk program-program yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah dan dinamika pasar tenaga kerja.

Berbagai kesimpulan yang diambil dari hasil penelitian ini menunjukkan perlunya strategi yang lebih tepat sasaran dalam mengalokasikan belanja publik. Upaya untuk meningkatkan investasi di bidang pendidikan, dengan fokus pada peningkatan kualitas dan kesesuaian dengan pasar tenaga kerja, serta peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan, merupakan salah satu langkah segera yang diambil pemerintah.

Demikian pula dalam hal pembangunan infrastruktur, penting untuk memastikan bahwa proyek tidak hanya terkonsentrasi di daerah tertentu, tetapi juga tersebar ke berbagai daerah yang memerlukan dukungan untuk meningkatkan daya saingnya. Artinya, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan mengurangi kesenjangan antar daerah diperlukan kebijakan yang lebih efektif dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan spesifik masing-masing daerah di Indonesia.

Selain itu, pembiayaan pembangunan kreatif melalui KPBU (kemitraan antara pemerintah dan organisasi dunia usaha), penerbitan obligasi daerah, partisipasi sektor swasta (privatisasi fungsi publik) harus terus dikembangkan, yang bertepatan dengan perbaikan administrasi publik (pusat dan daerah). . Kami berharap demikian.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours