Dewan Guru Besar UI: Ketahanan pangan penting untuk kedaulatan negara

Estimated read time 3 min read

DEPOK (ANTARA) – Dewan Guru Besar (DGB) Universitas Indonesia (UI) menilai pentingnya ketahanan pangan dalam negeri dengan alasan krisis pangan merupakan situasi global yang harus dihadapi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Sekretaris DGB UI Prof. PhD. Indang Trihandini, M.Kes., di Depok, Kamis, mengatakan banyak hasil penelitian di bidang pangan yang dapat membantu memperbarui kekuatan keamanan pangan dan ilmu pengetahuan modern.

Ia mengatakan diperlukan penelitian untuk melihat langkah apa yang perlu dilakukan dalam mengatasi permasalahan pasokan pangan di Indonesia.

Untuk itu, pihaknya menyelenggarakan webinar dengan tema “Ketahanan dan Kedaulatan Pangan, Berbagai Isu dan Rekomendasi”.

Webinar ini dipandu oleh profesor Fakultas Hukum Universitas Illinois, Prof. Sulisyowati Irianto menghadirkan tiga pembicara yaitu Dr. inframerah. Dwi Andreas Santosa, Magister dan Profesor. PhD. inframerah. Suryo Wiyono, Magister Pertanian IPB University, Prof. Subejo, S.P., M.Sc., PhD, Universitas Gadjah Mada.

Ketiganya membahas berbagai persoalan pasokan pangan dan solusi/gagasan untuk mencapai ketahanan pangan di Indonesia.

Profesor Andreas menyoroti permasalahan di sektor pertanian dan pangan dalam satu dekade terakhir.

Ia meyakini kedaulatan pangan yang menyehatkan petani dapat dicapai melalui restrukturisasi ekonomi politik kedaulatan pangan, yaitu pembangunan pertanian yang berbasis pada petani kecil.

Kunci produksi pangan berkelanjutan adalah meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus menjaga Jawa sebagai keranjang pangan yang beragam dan produktif.

Selain itu Profesor Subejo melihat permasalahan lain di sektor pertanian yaitu perampasan tanah. Perampasan tanah adalah situasi di mana banyak negara kaya dan perusahaan multinasional melakukan investasi untuk memperoleh lahan pertanian dengan harga murah dan dalam skala besar (jutaan hektar).

Dengan menguasai lahan tersebut, korporasi dapat memproduksi dan mengendalikan distribusi dan harga pangan. Gagasan ini seringkali bertentangan dengan konsep kedaulatan pangan.

Padahal, Profesor Subejo menilai kedaulatan pangan nasional bukanlah persoalan yang bisa diselesaikan melalui negosiasi.

“Salah satu contohnya adalah Singapura yang sudah bertahun-tahun terlibat dalam ketahanan pangan. Meski Singapura tidak memiliki sawah dan kebun, namun dengan kekuatan finansialnya, Singapura mempunyai kekuatan untuk membeli pangan di seluruh dunia,” imbuhnya. “

Namun pada masa wabah ini, sangat sulit mendapatkan barang dari pasar. Banyak negara yang mengutamakan stok dibandingkan menjualnya di pasar internasional, sehingga meskipun mereka punya banyak uang, Singapura tidak bisa mendapatkan makanan dalam kondisi normal.

Saat ini Indonesia mengandalkan ekspor enam jenis pangan yaitu gandum, gula, garam, kedelai, jagung, dan bawang putih.

Sedangkan beras berasal dari padi sawah (95%) dan padi gogo/lahan kering (5%), dengan mayoritas (55,87%) diproduksi di Pulau Jawa.

Dibandingkan dengan Filipina, Tiongkok, India, Thailand, dan Vietnam, seluruh usaha pertanian di Indonesia berkinerja buruk dan memerlukan biaya produksi yang tinggi. Selain itu, Indonesia merupakan negara dengan kehilangan pangan terbesar kedua di dunia, yaitu 300 kg/orang/tahun.

Menyadari hal tersebut, Profesor Suryo menekankan pentingnya membangun infrastruktur produksi yang dibarengi dengan pendidikan masyarakat. Dalam memperluas areal budidaya, kita tetap harus memperhatikan empat pilar pengembangan lahan.

Ada juga kebutuhan untuk menggunakan teknologi untuk memproduksi berbagai jenis beras dan menciptakan sistem terintegrasi untuk menghemat biaya produksi. Pendidikan dan pelatihan harus diberikan kepada petani agar mereka dapat beradaptasi dengan perubahan.

Selain itu, diperlukan kebijakan kelembagaan untuk mendorong inisiasi inovasi pertanian, menciptakan sinergi regional, dan menyediakan pusat pelatihan bagi petani.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours