Kelas Menengah Mode Survival, Alarm Bagi Ekonomi Indonesia

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Beberapa bulan terakhir, kelas menengah Indonesia tengah menjadi perbincangan hangat. Pasalnya, masyarakat yang dianggap sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia justru menderita.

Data terkini Riset LPS dan Bank Mandiri menunjukkan tabungan masyarakat golongan ini semakin berkurang seiring dengan daya belinya.

Ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat memperkirakan fenomena yang biasa disebut penimbunan (Mantab) tidak hanya terjadi pada kalangan bawah, bahkan sudah mulai merambah pada kalangan menengah.

“Hal ini menunjukkan kelas menengah Indonesia nampaknya mulai mengubah cara hidupnya,” kata Achmad dalam keterangan resminya, Jumat (27/9/2024).

Ia menjelaskan, kenaikan biaya kebutuhan pokok dan energi serta PHK di berbagai sektor menyebabkan kelas menengah bergantung pada tabungan untuk bertahan hidup. Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tabungan menurun, sementara pengeluaran untuk kebutuhan dasar tetap sama.

Meski penurunan tabungan di kelas menengah tidak sebesar kelas bawah. Namun, dalam jangka panjang, pola ini mungkin menjadi tanda pertama bahwa kelas menengah sedang kesulitan mempertahankan gaya hidupnya.

“Mereka tidak lagi fokus pada konsumsi barang-barang sekunder atau yang lebih tinggi seperti hiburan atau entertainment, tetapi anggarannya beralih ke kebutuhan. Ini jelas menunjukkan bahwa mereka berada dalam mode bertahan hidup,” jelasnya.

Achmad mengatakan salah satu dampak gaya hidup kelas menengah yang paling mengkhawatirkan adalah adanya ancaman trickle down ke kelompok masyarakat kurang mampu. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jutaan masyarakat turun dari kelas menengah ke kelas bawah dalam beberapa tahun terakhir.

“Jika tren ini terus berlanjut tanpa intervensi politik yang signifikan, kita akan melihat resesi ekonomi yang besar, yang tidak hanya berdampak pada daya beli masyarakat, tetapi juga pertumbuhan ekonomi negara secara umum,” ujarnya.

Menurut Achmad, kelas menengah berperan penting sebagai penggerak konsumsi rumah tangga. Jika daya beli kelompok ini terus menurun maka sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi seperti perdagangan, real estate, dan jasa akan terkena dampak yang signifikan. Pada akhirnya, hal ini dapat menghambat pemulihan ekonomi yang seharusnya mulai terjadi setelah pandemi.

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya krisis lagi, lanjut Achmad, pemerintahan Prabowo Subianto perlu mengambil langkah-langkah politik yang tepat. Pertama, kebijakan jaminan sosial yang tepat.

Jaminan sosial penting tidak hanya bagi masyarakat kelas bawah, namun juga bagi masyarakat kelas menengah yang berisiko terpuruk. Bantuan dalam bentuk bantuan pendidikan, kesehatan dan energi yang lebih murah dapat memberikan mereka tempat untuk menjaga tabungan dan menghindari situasi yang lebih buruk.

Kedua, dukungan kerja. Pemerintah perlu mendorong kebijakan yang menciptakan lebih banyak lapangan kerja di sektor-sektor yang sedang berkembang, seperti teknologi dan ekonomi hijau. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada pekerjaan rutin yang mungkin bisa berkurang.

Ketiga, program yang mendukung inovasi dan peningkatan pendapatan. Di era digital ini, kelas menengah harus didorong untuk memanfaatkan peluang baru, seperti kewirausahaan digital dan pekerja lepas, yang dapat meningkatkan pendapatan dan memberikan stabilitas keuangan dalam menghadapi ketidakpastian.

Kebijakan yang tepat dan terukur perlu diambil untuk memastikan bahwa kelas menengah dapat kembali memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian dan tidak hanya bertahan hidup. Meski dampaknya tidak terlalu besar terhadap masyarakat kelas bawah, namun jika tidak dikelola dengan baik, masyarakat kelas menengah dapat berubah menjadi kelompok rentan yang pada akhirnya akan memperlambat pemulihan perekonomian Indonesia.

“Cara hidup masyarakat kelas menengah saat ini menjadi panggilan bagi kita semua,” jelasnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours