Seminar FSI dan Paramadina: Perkembangan Militer China Tingkatkan Ketegangan di Kawasan

Estimated read time 5 min read

JAKARTA – Modernisasi Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok menjadi kekuatan militer kelas dunia dalam waktu yang relatif singkat merupakan perkembangan yang patut mendapat perhatian di Indonesia dan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Apalagi, seiring dengan upaya peningkatan kemampuan militernya, Tiongkok belakangan ini sudah bergerak memposisikan diri berhadapan dengan Barat, dan berpotensi menjadikan kawasan Laut Cina Selatan menjadi arena konflik konflik. Dengan kekuatan Barat. meletus di masa depan.

Di sisi lain, kekuatan militer Tiongkok yang semakin besar juga berpotensi meningkatkan ketegangan antara Tiongkok dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang sebagian wilayahnya diakui Tiongkok, padahal pengakuan Tiongkok tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum laut internasional (UNCLOS).

Direktur Riset Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Ayesha Rasidila Kusumasumantri, M.Sc. Ia mengungkapkan angkatan bersenjata Tiongkok kini telah menjadi salah satu angkatan bersenjata dengan pertumbuhan tercepat di dunia.

Menurut Aisha, China saat ini memiliki angkatan laut yang sangat kuat yaitu sekitar 370 kapal atau kapal selam dan 140 kapal tempur permukaan. Angkatan bersenjata Tiongkok juga didukung oleh teknologi operasional multi-domain dan sistem otonom yang dipersenjatai dengan kecerdasan buatan dan robotika.

Namun perkembangan militer Tiongkok di atas berpotensi menimbulkan tantangan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, mengingat Tiongkok saat ini sedang berusaha memaksakan pengakuan kepemilikannya, yang merupakan pelanggaran terhadap Hukum Laut Internasional (UNCLOS), di berbagai wilayah. wilayah di Laut China Selatan. .

Upaya yang dilakukan Tiongkok untuk menegakkan klaim kepemilikan ini antara lain dengan memperkuat armada Penjaga Pantainya, mengambil tindakan agresif yang diperintahkan oleh kapal Penjaga Pantai, dan menerapkan taktik zona abu-abu untuk mengganggu negara lain yang memiliki ZEE. ) di LCS.

Aisha menegaskan, Indonesia sebenarnya tidak berbagi klaim kepemilikan baik dengan China maupun dengan negara lain di LCS. Namun, Indonesia tetap terlibat dan bisa terkena dampak jika ketegangan di Laut Cina Selatan meningkat. Dalam pandangan Aisha, Indonesia masih mempunyai beberapa pilihan untuk menyikapi perkembangan di atas.

Di satu sisi, Indonesia dapat meningkatkan diplomasi pertahanan dengan Tiongkok, antara lain dengan menjajaki kemungkinan kerja sama pertahanan kedua negara. Namun di sisi lain, Indonesia juga harus meningkatkan pendekatan pertahanan yang mengantisipasi perkembangan di luar Indonesia.

“Indonesia antara lain perlu meningkatkan anggaran pertahanannya sebagai respons terhadap meningkatnya ketegangan di kawasan,” kata Aisyah pada diskusi publik bertajuk “Modernisasi Militer dan Diplomasi Pertahanan Tiongkok: Peluang dan Tantangan di Asia Tenggara” yang diprakarsai oleh Kementerian Pertahanan. Luar Negeri. Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI), di Jakarta, pada Senin, 30 September 2024.

Selain Aisha, yang turut serta dalam diskusi umum ini adalah Inspektur Keamanan Daerah Brigjen (Purn) Victor B. Topping, M. Si (Han), Dosen Program Studi Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadena, Dr. Benny Hangraini, MSc.

Senada dengan Aisha, Benny Hangarini, dosen program Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, juga menyoroti pesatnya perkembangan militer China belakangan ini.

“China sepertinya mengurangi jumlah personel di angkatan bersenjatanya, namun tentara China semakin kuat di bidang teknologi. China menggunakan orang-orang yang terdidik dan terlatih di bidang teknologi informasi untuk tentaranya,” kata pemegang gelar doktor di bidang strategi pertahanan itu. Dari Universitas Pertahanan Republik Indonesia.

Binnie menilai perilaku Tiongkok dalam urusan militer bisa dibilang sangat ambisius, tegas, dan agresif, hal ini didukung oleh upayanya dalam mencapai China Dream.

Menurutnya, sekaligus bertujuan untuk mewujudkan impian tercapainya kebangkitan nasional Tiongkok dengan Era Tiongkok

Menuju angka 100 pada tahun 2049, tiga A yaitu ambisi, ketegasan, dan agresivitas yang disebutkan di atas juga didorong oleh persaingan Tiongkok dengan Amerika Serikat. Benny menjelaskan, negara-negara ASEAN menyikapi perkembangan di atas dengan cara yang berbeda-beda.

Indonesia misalnya, terus melakukan diplomasi pertahanan dengan Tiongkok, meski tingkat kerja sama pertahanannya masih relatif rendah. Terakhir, Benny berpendapat masih terdapat ruang perbaikan yang signifikan dalam diplomasi pertahanan Indonesia dengan Tiongkok, baik secara bilateral maupun dalam konteks Tiongkok sebagai mitra Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI), Johannes Hirlijanto, Ph.D., menilai posisi dampak Proyek Modernisasi Angkatan Bersenjata Tiongkok di atas merupakan hal yang sangat penting yang harus diketahui dan diwaspadai oleh masyarakat Indonesia dan pemerintah. memahami.

Selain itu, pada Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok ke-20 tahun 2022, Xi mengubah tujuan modernisasi angkatan bersenjata dan pertahanan Tiongkok dari tahun 2035 menjadi 2027, kata dosen Universitas Pelita Harapan itu.

Purnawirawan Brigjen TNI Victor B. Topping dalam paparannya mengatakan, modernisasi militer China bukanlah hal yang mengejutkan. Ia mengatakan, “Ide untuk melancarkan modernisasi militer sudah ada sejak era modernisasi Deng Xiaoping pada tahun 1978.” Namun perbedaan tajam muncul sejak Xi Jinping naik ke puncak dan menjadi penguasa partai, tentara, dan negara pada tahun 2012.

“Jika Tiongkok pada awalnya tidak berniat membangun pangkalan militer di luar negeri, sejak peluncuran Buku Putih Kedua pada tahun 2013, Tiongkok telah menyatakan bahwa kekuatan militernya akan setara dengan kedudukan Tiongkok di dunia internasional,” ujarnya. Menurut Victor, hal inilah yang melatarbelakangi dibangunnya pangkalan militer China di Djibouti, Afrika.

Dalam artikelnya, Victor juga menjelaskan bagaimana Tiongkok menjadikan sebagian wilayah LCS sebagai rangkaian pulau pertahanan pertama Tiongkok, sedangkan kawasan Pasifik, mulai dari Papua Barat bagian utara, Palau, dan Guam, hingga Jepang merupakan rangkaian pulau pertahanan kedua Tiongkok. rangkaian pulau. Membela negara.

Victor meyakini Tiongkok yang kini memiliki tiga kapal induk dan fasilitas militer di berbagai pulau yang tersebar di Laut Cina Selatan, tidak akan kesulitan mengendalikan wilayah yang merupakan rangkaian pulau pertama yang harus dipertahankan.

Menurut pria yang pernah bertugas di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) ini, kehadiran kapal induk ketiga China, kapal induk dan senjatanya. disebut Fujian yang baru menjalani uji coba beberapa bulan lalu memberikan tantangan bagi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya terkait modernisasi militer China.

Tantangan lainnya, menurutnya, termasuk Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok ke-21, yang tampaknya hanya akan mengukuhkan Xi sebagai pemimpin Tiongkok untuk periode mendatang.

Artinya, tidak akan ada perubahan besar terkait kebijakan yang ada di China saat ini, tutupnya. Victor juga menyoroti belanja pertahanan RI pada tahun 2025 sebagai tantangan lain yang dihadapi Indonesia.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours