Ketika Post Truth Mewarnai Pemberitaan  

Estimated read time 4 min read

dlbrw.com, Penulis: Firmansyah, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung        

Belakangan ini ada fenomena netizen yang menyamar sebagai peneliti dan mencoba mengungkap permasalahan yang sedang dikerjakan. Kasus Vina Cirebon yang difilmkan dan kasus pembunuhan Mirna menggunakan kopi sianida adalah dua contoh dari sekian banyak kasus yang diyakini netizen telah terselesaikan.

Kekuatan pengguna internet sepertinya membenarkan bahwa tekanan masyarakat dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Kini peran pengguna internet semakin kuat untuk tertekan dalam setiap persoalan dan persoalan yang ada di negeri ini.

Meskipun pengguna web belum tentu demikian. Kenyataannya sekarang adalah apa yang dipikirkan sebagian besar pengguna internet. Kebenarannya mungkin berdasarkan asumsi pengguna web. Di sinilah muncul fakta post facto, yaitu ketika keyakinan dan perasaan pribadi mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pembentukan opini publik dibandingkan fakta sebenarnya.

Dapat dikatakan bahwa kebenaran kini merupakan konstruksi kebenaran oleh mereka yang menyebarkan dan menerima pesan kebenaran. Secara umum, kebenaran dapat diartikan setelah Anda meyakini sesuatu untuk melegitimasi kebenaran dengan mengabaikan beberapa informasi atau fakta yang bertentangan.

Perkembangan media sosial sebagai alternatif media arus utama menjadi peluang untuk menyebarkan kebenaran masa lalu. Berbeda dengan media arus utama, tidak ada penyaringan atau pengecekan informasi di media sosial. True text berkembang karena tidak ada filter atau gateway yang bertanggung jawab menyaring informasi yang disebarkan.

Masyarakat bertanggung jawab menyaring informasi yang beredar. Besarnya dampak berita bohong dan berita palsu terhadap masyarakat Indonesia menimbulkan pertanyaan bagaimana cara memprediksi kebenaran terbuka pasca perkembangan teknologi informasi yang tidak dapat dihentikan. Jika kita hanya mengandalkan pengetahuan masyarakat tentang teknologi, maka akan memakan waktu lama bagi masyarakat untuk memahami kerentanan informasi dan pesan kebenaran data.

Terlihat bahwa penyebaran berita bohong di Indonesia menimbulkan berbagai permasalahan. Jemadu (2017) menyatakan bahwa awalnya masyarakat mencari informasi yang benar melalui media arus utama, namun kini berbohong sudah menjadi mode di media sosial dan hanya digunakan di media tanpa penjelasan apa pun. Pertanyaannya justru terfokus pada media arus utama sebagai produser berita sebenarnya, apakah hal tersebut dapat mempengaruhi kebenaran di balik informasi tersebut?

Steve Tesich pertama kali mempopulerkan istilah post-truth dalam tulisannya yang dimuat di majalah The Nation pada tahun 1992. Kisah tersebut memicu skandal Iran-Contra dan Perang Teluk yang terjadi pada tahun tersebut.

Tesich percaya bahwa sebagai orang bebas, setiap orang berhak memutuskan ingin hidup di dunia pasca-kebenaran. Pengirim dan penerima postingan yang jujur ​​biasanya memiliki keyakinan yang sama tentang sesuatu. Jadi jika ada pesan yang benar dalam sebuah postingan, tanpa pikir panjang orang yang di kirim akan menerima kebenaran didalamnya, dan tidak mungkin pengirim pesan tersebut membalas pesan tersebut kepada orang lain yang mempunyai kesamaan. keyakinan. Pesan berantai semakin meluas, sehingga pesan kebenaran yang beredar menjadi kebenaran yang diyakini sebagai kebenaran sesungguhnya, tanpa menghiraukan informasi atau kebenaran lain yang muncul.

Masyarakat saat ini lebih cenderung mempercayai informasi post factum yang belum diketahui kebenarannya dibandingkan informasi berdasarkan fakta nyata yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Permasalahannya adalah media arus utama yang terjebak pada Viralitas informasi media sosial akan menarik perhatian masyarakat terhadap berita tersebut. Seperti halnya perekonomian, pola permintaan dan penawaran dalam berita video dapat mempengaruhi jumlah produksi berita di suatu masyarakat.

Semakin banyak produk berita video yang diminati maka akan semakin banyak pula tercipta berita yang tersebar ke seluruh masyarakat. Seperti halnya berita yang diperoleh dari tayangan media sosial berpotensi memuat informasi faktual yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat, produsen akan menganggap bahwa berita tersebut merupakan produk yang sedang berkembang dan akan terus diproduksi untuk kemudian dikembalikan ke masyarakat. .

Penyedia informasi resmi, yaitu pers dan media arus utama, tidak lagi mempunyai kekuasaan untuk menentukan agenda, tetapi mengikuti tren penularan di masyarakat. Jurnalisme di media tradisional terancam serius dengan pemberitaan palsu di media sosial yang justru membuat masyarakat sibuk dengan berbagai drama yang ditampilkan dalam pemberitaan.

Belum lagi industri media yang kini dipenuhi oleh pembuat konten, bukan pembuat berita. Akibatnya, trafik lebih diutamakan daripada kualitas produk jurnalistik. Kisah-kisah korupsi dan peristiwa-peristiwa penting kini dipenuhi dengan kisah-kisah drama pembunuhan.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours