Puisi Esai, Lahirnya Angkatan Baru Sastra di Indonesia

Estimated read time 4 min read

JAKARTA – Sejak tahun 2012, lebih dari 100 kumpulan esai telah diterbitkan. Kritikus dalam dan luar negeri telah menulis puluhan kajian tentang puisi prosa. Bahkan, kemeriahan lahirnya puisi prosa melebihi kemeriahan seluruh peristiwa sastra di Indonesia jika digabungkan. Lahirnya generasi baru sastra Indonesia menjadi kekuatan puisi prosa.

Demikian argumen yang disampaikan pada Festival Prosa dan Puisi ASEAN ke-3 di Sabah, Malaysia. Sejak awal berdirinya, festival tingkat ASEAN ini didanai sepenuhnya oleh pemerintah negara bagian Sabah di Malaysia.

Perdebatan lahirnya puisi prosa digagas oleh Agus R Sarjono. Beliau adalah seorang penyair berpengalaman, dosen, kritikus sastra dan penerbit majalah Sajak.

“Kelas sastra menjadi topik yang hangat dan meluas setiap kali diluncurkan dan/atau diumumkan,” kata Agus dalam keterangannya, Sabtu (6 Agustus 2024).

Ketika HB Jassin mengumumkan angkatan ke-45 (“gelombang terbaru”), disusul oleh “gelombang ke-50” karya Ajip Rosidi, “ke-66” karya HB Jassin, “ke-70” karya Abdul Hadi WM, dan “ke-70” karya Korrie Layun Rampan. Inilah yang terjadi pada angkatan 2000.

Pada tahun 2012, buku Denia JA “Atas Nama Cinta” terbit. Sebuah buku “aneh” dengan puisi di dalamnya, tapi bukan puisi, cerita pendek atau esai, tapi berputar, bukan kertas, tapi catatan kaki.

Penulis menyebut buku aneh ini “puisi prosa”. Setelah terbitnya kumpulan puisi prosa Atas Nama Cinta, muncullah kumpulan puisi prosa lainnya.

Keduanya sama-sama berlabel puisi prosa, sama-sama memiliki landasan estetika yang sama, dan sama-sama mengangkat tema yang sama, yaitu mereka yang mengalami diskriminasi atau marginalisasi oleh sejarah atau sosial politik. Agus juga mengatakan, Jurnal Sajak edisi ketiga telah membuka bagian baru yaitu bagian puisi prosa yang diedit oleh Ahmad Gaus.

Pada tahun 2013 dan 2014, majalah “Sajak” juga mengadakan lomba esai, dengan hasil yang luar biasa. Kompetisi Poetski časopis juga menghasilkan banyak buku yang diterbitkan.

Sementara itu, sejak tahun 2012, 2013, 2014 hingga 2019, banyak hal yang terjadi di bidang puisi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sastra Indonesia pada kurun waktu 12 dan 24 tahun setelah tahun 2000 sebagian besar dipenuhi oleh fenomena baru, yaitu “puisi dan esai”.

Lanjut Agus, gerakan puisi prosa di Sabah, Malaysia, bisa dikatakan berkembang secara alami, berkat minat dan keberanian – bahkan kecerobohan – Datuk Jasni Matlani.

Tampak tenang namun meyakinkan, puisi prosa berkembang pesat di Sabah dan menyebar ke berbagai wilayah Malaysia kecuali Brunei, Thailand, dan Singapura hingga menjadi gerakan besar.

Tak kalah dengan Sabah, ia juga menjadi orang pertama yang menyelenggarakan festival prosa dan puisi, dan kini telah memasuki festival prosa dan puisi yang ketiga.

Menurut Agus, lahirnya “Kekuatan Puisi Prosa” ini dilengkapi dengan empat buku anti kajian yang masing-masing setebal tak kurang dari 500 halaman.

Keempat antologi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kekuatan puisi prosa: kelahiran dan masa awal (2012-2015);

2. Kekuatan puisi prosa: Menuju Indonesia (2016-2019);

3. Kekuatan puisi prosa: merantau (2020-2024);

4. Kekuatan Puisi Prosa: Menuju Kritik Sastra Pribumi (2012-2024).

Berbeda dengan angkatan sastra sebelumnya, angkatan puisi untuk pertama kalinya dilengkapi dengan antologi kritik/diskusi/penelitian.

Banyak sekali kritik, pembahasan atau penelitian terhadap puisi prosa yang ditulis oleh para ahli dari berbagai latar belakang, pertama-tama Sapadi Jocko Damono, Sutaj Karzom Bahri, Leon Agusta, Asep Zamzam Noel, Eka Budianta, Joko Pinurbo dan penulis lainnya.

Ada pula kajian Jamal D Rahman, Nenden Lilis Aisyah, Hanna Francisca, SM Zakir dan lain-lain, serta para intelektual seperti Ignas Kleden, Berthold Damshäuser, Jakob Sumardjo dan Dr. Ramzah Danbul, Prof. Ayu Sutarto, Dr. Sunu Wasono , Prof. Madya, Haji Dr. Ampuan Haji Tengah dan lain-lain.

Dari sekian banyak pilihan puisi prosa dari berbagai periode, terlihat jelas bahwa kekuatan puisi prosa lahir karena alasan-alasan yang meyakinkan sebagai berikut:

1. Genre dan bentuk. Dari sudut pandang ini, semua puisi prosa pada dasarnya memiliki unsur formal dan intrinsik yang kurang lebih sama (panjang, narasi, catatan kaki, rima, dll), dan justru karena kesamaan formal inilah yang menyebabkan pencapaian estetika dan isi sangat bervariasi. . kepribadian masing-masing penulis;

2. Tema. Secara tematis, puisi-puisi prosa umumnya mengangkat isu-isu anti-diskriminasi dan memberikan suara bagi mereka yang tidak bersuara dan mereka yang terpinggirkan dalam sejarah resmi.

Keanekaragaman dan kekayaan tematik puisi prosa begitu kaya sehingga banyak pokok bahasan yang diangkatnya belum pernah ditulis dalam sastra Indonesia hingga saat ini;

3. Bercerita (naratologi). Puisi prosa merupakan teknik naratif dengan kehadiran karakter, konflik, struktur dramatis dan klimaks. Hal ini didasarkan pada struktur dramatis Aristoteles dan struktur naratif Todorov, Joseph Campbell dan lain-lain;

4. Memiliki catatan kaki. Catatan kaki adalah elemen penting dari puisi prosa dan fitur utama puisi prosa. Catatan kaki adalah jangkar faktual dari fiksi puisi prosa, serta suara kedua dan tandingan terhadap struktur puisi prosa;

5. Lahir dari momen besar dan berbagi kenangan kolektif akan reformasi Indonesia yang penuh harapan dan diskriminasi berlebihan;

6. Puisi prosa lahir sebagai alternatif dan/atau tantangan terhadap narasi dan historiografi resmi;

7. Memberikan ruang seluas-luasnya bagi non-penyair untuk berpartisipasi. Akademisi, profesional, aktivis, politisi yang selama ini tidak pernah membayangkan menulis puisi kini bisa menulis puisi prosa dengan mudah.

Kami berharap alasan-alasan di atas cukup menguatkan lahirnya kekuatan puitis prosa.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours