Pengamat Tekankan Pentingnya Peningkatan Nasionalisme Berdasarkan Pancasila

Estimated read time 4 min read

Ambon – Peran agama di Indonesia yang semakin dianggap berubah dari kenyataan kini kerap dijadikan alat resmi dan politik. Akibatnya peran agama dalam menjaga moral dan etika masyarakat semakin lemah.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Maarif Institute, Inder Nubu, pada diskusi yang diselenggarakan Lembaga Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertajuk “Kelemahan Etika Penyelenggara Publik: Etika dan Agama” di Universitas Patimura. Ambon, Maluku, Jumat (20/9/2024)

Nowbu mengatakan, agama kini digunakan sebagai alat politik dan ekonomi. Ia berkata: “Agama hanyalah alat yang dapat dilemahkan atau digunakan untuk situasi politik dan ekonomi.”

Nobu juga menekankan adanya prasangka buruk terhadap agama tertentu yang dianggap tidak bermoral oleh masyarakat. Dengan menggunakan agama sebagai alat politik, peran agama dalam menjaga moral dan etika masyarakat semakin lemah dan berujung pada tragedi moral dan etika masyarakat.

Ia berkata: “Agama tidak lagi mampu menjadi kekuatan moral yang independen, namun telah menjadi alat untuk kepentingan politik praktis.”

Padahal, secara historis, peran agama di Indonesia selalu dijadikan sebagai landasan moral dalam kehidupan berbangsa, bahkan sebagai sarana untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Di negara-negara Barat, kata Nobuo, telah berkembang konsep agama sipil yang bersumber dari nilai-nilai universal dan nilai-nilai agama profetik yang didasarkan pada nilai-nilai agama universal dan dipadukan dengan prinsip-prinsip sekuler modern di Barat.

“Harus menjadi refleksi bagi kita semua bahwa betapa negara kita yang berideologi Pancasila perlu melakukan radikalisasi terhadap Pancasila, seperti yang dikatakan Contoviejo. Lalu bagaimana kita menjadikan Pancasila sebagai ideologi dasar? , tapi juga kaki kita.”

Akademisi IAIN Ambon Abedin Wakano menilai agama-agama di Indonesia kini sudah kehilangan semangat profetiknya. Menurut pihak berwenang, agama tidak lagi memiliki kekuatan untuk membimbing masyarakat dalam menjawab berbagai tantangan sosial, melainkan terjebak dalam industri politik identitas.

“Kapitalisasi agama, kapitalisasi agama,” tegas pihak berwenang, seraya menekankan bahwa kekuatan ekonomi dan politik para elit juga melemahkan otoritas moral agama.

Pihak berwenang menilai sejak Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019, agama banyak digunakan dalam narasi politik identitas. Penggunaan agama dalam politik ini menimbulkan perpecahan sosial, memecah belah masyarakat berdasarkan identitas agama, dan berujung pada mentalitas kelompok dan kelompok.

Ia mengatakan, “Agama yang seharusnya menjadi pedoman moral dan etika bagi masyarakat, kini terjebak dalam dinamika politik praktis yang menyembunyikan nilai-nilai esensial agama.”

Ketua Organisasi Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Najib Burhani menjelaskan, terdapat kontradiksi agama di Indonesia. Salah satunya adalah kelimpahan yang terbatas. Menurut Burhani, meski Indonesia mengakui pluralisme agama, ada beberapa pembatasan yang diberlakukan pemerintah.

Hal ini serupa dengan perilaku “kecenderungan mesianis” negara-negara Barat dalam menyebarkan nilai-nilainya, misalnya penjajahan sebagai alasan membawa peradaban. “Bagi kami, dengan mengarahkan mereka ke jalan yang benar, kami menyebutnya sebagai paradigma yang melegalkan diskriminasi terhadap agama lain,” ujarnya.

Burhani juga mengemukakan paradoks negara yang religius dan bertuhan yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat dengan keyakinan akan pentingnya agama.

Merujuk pada indeks kebahagiaan dunia, ia mengatakan, “Negara dengan indeks pembangunan manusia tertinggi memiliki masyarakat yang menganggap agama tidak penting.” Merujuk pada Indeks Kebahagiaan Dunia, ia mengatakan bahwa negara-negara yang paling bahagia seringkali adalah negara-negara yang paling tidak religius.

Namun Berhani juga menyatakan bahwa negara-negara religius seringkali unggul dalam bidang filantropi, termasuk Indonesia. “Kemanusiaan adalah salah satu kekuatan negara religius seperti Indonesia,” imbuhnya.

Akademisi Satya Wakana Universitas Salatiga Isaac Lato mengatakan, adanya pluralisme tanpa kesetaraan dalam pengelolaan agama di Indonesia menyebabkan sebagian kelompok merasa terpinggirkan.

“Kita berurusan dengan mayoritas,” kata Lato, menggambarkan bagaimana kelompok mayoritas sering memperlakukan kelompok minoritas sebagai “sekutu” atau setengah warga negara.

Latu juga menekankan penguatan nasionalisme berdasarkan Pancasila. Latu juga menekankan pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

“Kita harus kembali kepada Pancasila sebagai dokumen hidup berdampingan yang harus digantikan dengan pluralisme kesepakatan politik,” tegasnya.

Direktur Lintas Agama Ilga Sarapong menanyakan tentang pengakuan keberagaman agama di Indonesia. “Setelah 79 tahun kemerdekaan, kita masih melihat berapa banyak agama yang diakui,” ujarnya. “Masih banyak yang mengatakan bahwa hanya lima agama yang diakui di Indonesia.

Ilga mencermati, meski konstitusi mengakui enam agama, namun praktik di lapangan menunjukkan adanya diskriminasi terhadap agama minoritas seperti Baha’i dan Sikh yang tergolong penganutnya. “Tradisi kehidupan beragama di Indonesia terjebak pada ritual tanpa memperhatikan substansi yang lebih dalam,” tambah Ilga.

Indonesia dan beberapa negara lain telah memasuki fase pasca-sekularisme yang mengarah pada formalisasi, kata Zali Kadir, guru besar sosiologi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Agama hanya semu sehingga mendorong manusia untuk maju.

Misalnya saja kemiskinan bagaimana, bagaimana kemiskinan dijawab oleh agama-agama di Indonesia. Ya karena sering diformalkan, ujarnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours