Siapkan Penerbang Tempur, Optimalkan Dassault Rafale

Estimated read time 11 min read

TIDAK ADA YANG meragukan kepiawaian pilot pesawat tempur Indonesia. Telah diuji untuk digunakan pada berbagai jenis pesawat tempur TNI AU dan diakui secara internasional. Bukti integritas antara lain diberikan oleh para pegawai Jupiter Aerobatic Team (JAT). Bekerja sama dengan pesawat latih KT-1B Wongbee, mereka mampu mendemonstrasikan berbagai formasi berbahaya di banyak operasi internasional.

Baca Juga: Keunggulan Jet Tempur Dassault Rafale yang Dibeli Indonesia Siap Jalani Berbagai Misi

Kemampuan para pilot pesawat tempur dan penerbang atau penerbang TNI juga diperlihatkan pada ajang pelatihan internasional Pitch Black 2024 di Royal Australian Air Force (RAAF) Darwin, Northern Territory. Mereka mendapat lima penghargaan dari RAAF (1/8/24) atas prestasinya. Mereka mengerahkan empat pesawat tempur F-16 Fighting Falcon, bersaing untuk mendapatkan kemampuan menerbangkan pesawat tempur tersebut dalam beberapa misi.

Selain TNI, Pitch Black 2024 akan melibatkan angkatan udara dari banyak negara lain dengan sejumlah pesawat tempur elit, termasuk F-16 generasi berikutnya. Ini termasuk Angkatan Udara Republik Singapura (RSAF), yang telah menerjunkan F-15SG, Angkatan Udara Bela Diri Jepang (JASDF) dengan F-2 As, Angkatan Udara Republik Korea (ROKAF) dengan dua F-15. , Angkatan Udara dan Luar Angkasa Perancis (FASF) yang memamerkan produk kebanggaan nasional Dassault Rafale.

Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) juga berpartisipasi dengan F-22 Raptor, Angkatan Udara dan Luar Angkasa Spanyol (SASF) mengandalkan Eurofighter Typhoon, Angkatan Udara India (IAF) dengan jet tempur Sukhoi Su-30, Champion dan tentu saja tuan rumah Royal Australian Air Force ( RAAF) yang mewakili Eurofighter Typhoon. Sebanyak 20 TNI Angkatan Udara mengikuti latihan rutin ini.

Prestasi yang diraih pilot pesawat tempur Pitch Black 2024 TNI AU menunjukkan kemampuannya bersaing dengan pilot negara maju yang menerbangkan pesawat tempur lebih modern. Ketangguhan ksatria udara Indonesia merupakan perpaduan antara kekuatan mental, kecerdasan, dan ketahanan fisik. Bayangkan jika mereka menggunakan F-15, F-35, Eurofighter Typhoon atau Dassault Rafale, aksi mereka pasti akan lebih kuat.

Namun perlu dipahami bahwa mereka tidak bisa duduk langsung di belakang kokpit pesawat tempur lain, apalagi yang baru seperti generasi 4.5 atau 5.0. Hingga saat ini, tulang punggung TNI AU masih mengandalkan pesawat tempur generasi 4.0. Selain F-16, pesawat tempur generasi yang sama antara lain Suhkoi Su-30 MK2 Flanker dan Sukhoi Su-27 dari Rusia, serta T-50 Golden Eagle buatan Korea Selatan. Bahkan TNI AU masih menggunakan pesawat lawas yakni pesawat tempur ringan Hawk-200 produksi perusahaan Inggris British Aerospace.

Keputusan mengakuisisi Dassault Rafale dari Dassault Aviation Perancis akan menjadi langkah penting peralihan tulang punggung tempur TNI AU dari Generasi 4.0 ke Generasi 4.5 dan juga menjadi penanda kemajuan Indonesia. militer di sektor penerbangan. Apalagi jika Kementerian Pertahanan membeli pesawat F-15EX generasi terbaru dari Perusahaan Boeing Amerika (Amerika).

Akuisisi Dassault Rafae merupakan bagian dari visi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk membangun angkatan udara yang andal dan mutakhir. Langkah yang diambil juga mencerminkan keputusan strategis yang memungkinkan Indonesia bersaing dengan armada tempur di kawasan seperti Australia dan Singapura. 35 Petir II. Begitu pula dengan China yang menebar ancaman di Laut Cina Selatan (LCS) yang telah menyiapkan pesawat terbarunya, Chengdu J-20.

Baca Juga: Mengenal Detail Jet Tempur Dassault Rafale Buatan Prancis

TNI AU sudah memiliki F-16, Su-27 dan Su-30. Namun, ia kurang atau kurang memiliki kemampuan untuk bersaing dengan pesawat siluman. Selain itu, jumlah pejuang Indonesia juga masih terbatas. Di sisi lain, Paman Sam juga menolak keinginan Indonesia untuk mengakuisisi F-35. Untuk itu, kehadiran Dassault Rafale yang diproduksi oleh Dassault Aviation menjadi pilihan yang baik dan andal untuk menyeimbangkan kekuatan udara Indonesia dengan negara-negara di kawasan.

“Kami tidak ingin menyombongkan diri, kami tidak ingin mengancam orang. “Tapi kami ingin mandiri dan berdaulat,” kata Prabowo saat menyerahkan delapan unit helikopter tugas berat H225M kepada TNI di Pangkalan Udara Atang Sandjaja di Bogor.

Secara teknologi, Dassault Rafale bukanlah timah. Secara harfiah berarti “semburan api”, pesawat ini cocok untuk berbagai jenis senjata. Senjata yang dapat dikerahkan antara lain rudal jarak jauh BVR seperti METEOR, MICA, Sidewinder, ASRAAM dan AMRAA.

Pesawat multi-peran sayap delta bebek ini dapat menembakkan rudal permukaan-ke-udara (SCALP), rudal anti-kapal AM39 EXOCET, bom berpemandu laser, bom konvensional, dan meriam internal 30mm NEXTER 30M791 yang mampu menembakkan 2.500 peluru per menit.

Baca Juga: Simak Perbandingan Pesawat Tempur Dassault Rafale dan Su-30MKI, Mana yang Lebih Aman?

Selain memiliki persenjataan yang mumpuni untuk mencapai superioritas udara, pesawat tempur ini juga mampu menjalankan misi anti-nuklir. Jet tempur yang mulai beroperasi pada tahun 2001 ini disebut-sebut telah membuktikan keunggulannya dalam pertempuran melawan pesawat tercanggih di dunia.

Dalam simulasi pertempuran udara, Dassault Rafale dikabarkan berhasil mengalahkan F-22A Raptor Amerika. Brandon J Weichert, analis pertahanan dari National Interest – majalah pertahanan internasional, menggambarkan Dassault Rafale sebagai jet tempur yang sangat canggih dan bertenaga sehingga dianggap sebagai salah satu jet tempur terbaik di dunia.

Selain itu, Dassault Rafale juga disebut-sebut memiliki fleksibilitas, jangkauan, kecepatan, dan teknologi canggih yang menjadikannya aset penting bagi angkatan udara mana pun yang mengoperasikannya. Dassault Rafale dengan keunggulan yang dimilikinya telah memberikan keunggulan kompetitif bagi Prancis dalam merebut pasar dunia.

Namun tujuan hadirnya Dassault Rafale untuk memperkuat kemampuan TNI AU (Indonesia Air Power) yang disegani hanya bisa tercapai jika TNI AU mampu menyediakan pilot-pilot mumpuni yang mampu menerbangkan pesawat terbaru tersebut. Bagus. Pertanyaannya adalah, apakah mereka bersedia menerima pekerjaan itu.

Pria di belakang pistol

Pria di belakang pistol. Ungkapan yang sangat populer di dunia militer ini menggambarkan pentingnya keterampilan militer di balik senjata. Sekalipun senjatanya lebih tua atau kurang canggih dibandingkan milik lawan, jika penggunanya terampil, maka senjata tersebut akan lebih akurat mengenai sasarannya dibandingkan mereka yang kurang terampil.

Ilustrasi sederhana yang disampaikan prajurit TNI AD pada acara Arms Skills Training (AASAM) tahunan Angkatan Darat Australia. Sejak bergabung pada tahun 2008, perwakilan TNI AD selalu menjadi juara. Fakta ini menunjukkan tidak hanya kemampuan senapan SS2-V5 milik PT Pindad saja, namun mampu mengalahkan senjata terbaik di dunia dan memiliki nama besar dari produsen pertahanan terbesar di dunia. Terakhir, kemampuan menembak prajurit Indonesia terbukti berada di atas rata-rata infanteri negara maju seperti Amerika, Inggris, Prancis, dan Australia.

Baca juga: Indonesia Setuju Beli 42 Jet Tempur Rafale Prancis

Tentu saja membandingkan performa senjata dengan pesawat tempur bukanlah hal yang apple to apple. Dari segi harga misalnya, penggunaan senjata seperti SS2-V5 tidak terlalu beresiko karena harganya hanya berkisar puluhan juta saja. Sedangkan seperti diberitakan, harga pesawat Dassault Rafale sekitar Rp 2,7 triliun per unit. Pikirkan ketika Anda jatuh, betapa ruginya Anda. Belum lagi nilai pilotnya yang tentunya tak terukur.

Oleh karena itu, tidak semua orang bisa mendapatkan sertifikat pilot pesawat tempur. Yang terpilih dijamin memiliki tubuh yang sehat, otak yang cerdas, dan ketangguhan mental. Hal lain, sebagaimana disampaikan Marsekal TNI (Purn) Yuyu Sutisna saat menjabat Kepala Staf TNI AU, pilot yang tersertifikasi sebagai pilot pesawat tempur dituntut untuk terus meningkatkan keterampilan dan pengetahuannya menghadapi tantangan perannya. itu menjadi semakin sulit.

Pilot Amerika Letnan Pete ‘Maverick’ Mitchell menampilkan sosok pesawat tempur yang tangguh dan terus mengasah keterampilannya agar siap setiap kali menerima tugas nasional. Tom Cruise – keduanya dalam Top Gun: Maverick yang dirilis pada tahun 1986 dan 2022 – melukiskan gambaran seorang pilot pesawat tempur andal yang menerbangkan jet tempur pemberani untuk menyelesaikan misi yang ditugaskan padanya.

Dalam Top Gun: Maverick 1986, ia berhasil mengirimkan jet F-14 Tomcat untuk menyerang dan melakukan manuver terhadap jet MIG-28 yang menjadi kebanggaan Uni Soviet saat itu. Sedangkan di Top Gun: Maverick 2022, Pete yang dikabarkan berusia 30 tahun mampu menerbangkan F/A-18F Superhornet dan berhasil melampaui batas. Di film terakhir, Pete juga kembali mengemudikan F-14 Tomcat dan pesawat ke-4 berhasil mengalahkan pesawat tempur Rusia terakhir, Su-57.

Narasi yang disampaikan dalam sekuel Top Gun adalah orang di belakang kokpit pesawat tempur atau the man behind the gun adalah orang yang terpilih, cerdas, kuat, berani, berpikiran besi, tidak pernah berhenti belajar, bisa menerbangkan apa saja. pesawat terbang, selalu siap menunaikan tugasnya dan siap berkorban untuk negara. Profil pilot Top Gun yang sempurna sangat cocok dengan pilot pesawat tempur TNI AU.

Baca Juga: Pembelian Rafale dan Pengembangan Iptek Sumber Daya Manusia

Citra seorang pilot yang sempurna tentu saja hanya sekedar impian di film-film Hollywood. Namun bukan berarti pilot pesawat tempur TNI tidak bisa meniru Pete ‘Maverick’ Mitchell. Tentu saja level tersebut bisa dicapai melalui latihan terus menerus, termasuk menerbangkan jet Dassault Rafale. Selama ini pilot pesawat tempur TNI AU baru berpengalaman menerbangkan pesawat 4.0 seperti F-16, Su-27, Su-30, TA-50. Sedangkan Dassault Rafale masuk kategori generasi 4,5.

Meski sudah bisa menerbangkan pesawat tempur generasi 4.0, namun pilot pesawat tempur tidak bisa langsung duduk di depan kokpit pesawat tempur generasi 4.5. Karena banyak inovasi yang dilakukan dari segi teknologi, sehingga definisi kecanggihan pasti lebih dari generasi sebelumnya. Selain itu, untuk Dassault Rafale buatan Prancis, TNI AU untuk pertama kalinya akan menggunakan pesawat tempur buatan negeri Napoleon Bonaparte.

Lalu apa perbedaan antara pesawat tempur generasi 4.0 dan 4.5? Dari berbagai referensi, secara umum diketahui bahwa pesawat 4.0 menggunakan mesin turbocharged, sistem kendali fly-by-wire, aplikasi jet-thrust-vectoring untuk meningkatkan efisiensi, sistem avionik yang lebih canggih seperti sistem isyarat yang dipasang di helm. , pesawat tempur multi-peran dan BVR yang ditingkatkan.

Pesawat generasi 4.0 ini juga memiliki sistem terintegrasi untuk dukungan otomatis terhadap beberapa target, telah memasang sistem elektronik dan mulai menerapkan elemen siluman. Sementara itu, pesawat tempur generasi 4.5 secara umum memiliki karakteristik yang sama dengan generasi 4.0. Namun pesawat tempur generasi ini mengalami peningkatan kemampuan avionik, kemampuan mesin, kemampuan manuver dan radar AESA.

Semboyan AMPUH

Sangat penting bagi pilot yang mengetahui cara menggunakan Dassault Rafale untuk siap, bukan karena harga pesawat yang sangat mahal, yang dibayar dari uang rakyat. Perubahan lain yang perlu diperhatikan adalah fakta bahwa telah terjadi beberapa kecelakaan pesawat tempur yang menewaskan pilot-pilot terbaik tanah air. Meski pilot TNI AU dinilai kompeten, namun satu kesalahan yang ceroboh seringkali berubah menjadi bencana.

Fakta tersebut terlihat dari beberapa catatan kecelakaan pejuang TNI. Sebagian besar kondisi ini terjadi selama pelatihan. Dua pesawat tempur taktis Super Tucano EMB-314 baru-baru ini jatuh di kawasan Gunung Bormo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur (16/11/2023) pukul 12:00 WIB saat latihan. Empat pilot tewas dalam kecelakaan ini. Dua di antaranya merupakan perwira senior, Marsma TNI (Anumerta) Subhan dan Marma TNI (Anumerta) Widiono Hadiwijaya.

Baca juga: Pangkoopsudnas Uji Kemampuan Pesawat Tempur Rafale Buatan Prancis

Pesawat latih T-50i Golden Eagle buatan Korea Selatan jatuh di sisi Bandara Adisucipto Yogyakarta (22/0/2015), menewaskan dua pilot senior, Letkol Pnb Marda Sarjono dan Capt. Pnb Dwi Cahyadi. Jauh sebelumnya, pada tanggal 28 Maret 2002, dua pesawat Hawk MK-53 TNI AU dari Skuadron 15 bertabrakan di Lanud Iswahyudi di Madiun saat sedang melakukan operasi perlawanan musuh, roll kemenangan. Empat pilot pesawat tempur terbaik TNI AU tewas mengenaskan.

Dassault Rafale juga punya rekor hitam dengan teknologinya yang lebih canggih. Bahkan, musibah baru terjadi pada 14 Agustus 2024. Ceritanya menceritakan dua pesawat kebanggaan bangsa Ayam itu bertabrakan saat latihan di Perancis bagian timur. Dua pilot juga menjadi korban. Sebelumnya, pada September 2009, dua pesawat serupa juga jatuh saat kembali ke kapal induk Charles de Gaulle.

Berbagai kejadian menyoroti bahwa jet tempur tidak bisa diterbangkan sembarangan karena berisiko terjadinya kecelakaan. Yang terpenting, betapapun canggihnya sebuah pesawat tempur, fungsi strategisnya tidak dapat berfungsi dengan baik jika pilotnya tidak sepenuhnya menguasai prinsip-prinsip man behind the gun.

Kedatangan pesawat Dassault Rafale 24 yang dibeli Indonesia masih pada tahun 2026. Namun pilot yang akan membawahinya harus bersiap terlebih dahulu. TNI tampaknya memanfaatkan kesempatan ini untuk bertindak cepat. Saat dilantik menjadi KSAU, Marsekal TNI Mohamad Tonny Harjono menegaskan semboyan AMPUH (Adaptif, Modern, Profesional, Unggul dan Humanistik) untuk memastikan TNI AU memiliki peralatan keamanan modern dan sumber daya manusia (SDM) yang kuat. Menurutnya, TNI AU harus mampu mencapai standar tertinggi dalam seluruh operasinya.

Baca juga: Prabowo Beli Pesawat Tempur Rafale 42, Indonesia Makin Disegani

Untuk mencapai tujuan tersebut, ia mengkaji secara detail proses pengadaan berbagai alutsista dan infrastrukturnya. KSAU juga mengunjungi sejumlah pangkalan untuk bertemu langsung dengan prajurit TNI AU dan mendorong mereka agar siap menerima dan menggunakan alutsista baru tersebut. Menurutnya, kedatangan berbagai alutsista yang canggih akan menambah kekuatan TNI AU beserta kemampuan prajurit yang mengoperasikannya guna mewujudkan TNI AU yang disegani.

Pada tahun 2022, enam pilot Indonesia sedang berlatih untuk menerbangkan Dassault Rafale di Prancis. Selain pilot, ada pula delapan pilot teknis yang dilatih. Calon pilot tersebut dipilih berdasarkan beberapa kriteria yang ditetapkan TNI AU.

Kapten Rayak, pilot asal Prancis yang menerbangkan Dassault Rafale dari Guam menuju Jakarta beberapa waktu lalu, mengatakan dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan bagi pilot berpengalaman untuk menggunakan pesawat tersebut. Ia pun meyakini pilot TNI AU, termasuk pilot Hawk-200, tidak akan mendapat masalah.

Melihat bakat pilot pesawat tempur Indonesia, kematangan TNI AU dalam pelatihan pilot, serta pengalaman yang dibagikan Kapten Rayak dalam mengoperasikan Dassault Rafale, kemungkinan besar ia siap mengambil alih jajaran TNI AU. . pesawat kebanggaan ini berhasil. Namun perlu ditegaskan pula, TNI AU tengah memperkuat aturan latihan dan kedisiplinan agar tidak terulang tragedi yang menimpa beberapa jet tempur. (*)

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours