Pengangguran di Kalangan Gen Z Sangat Tinggi, Ini Penyebabnya Menurut Pakar

Estimated read time 2 min read

dlbrw.com, JAKARTA – Penduduk berusia 15-24 tahun yang dikenal sebagai Generasi Z memiliki tingkat pengangguran yang tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan 9,9 juta generasi Z akan menganggur pada tahun 2023.

Profesor Omas Bolan Samosa, ekonom dan pakar bisnis Universitas Indonesia, mengatakan penyebab utama tingginya angka pengangguran generasi Z adalah ketidaksesuaian antara sistem pendidikan dan permintaan tenaga kerja. Akibatnya, kualifikasi lulusan tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kerja saat ini.

Profesor Omas mengatakan dinamika pasar tenaga kerja tumbuh lebih cepat dibandingkan dinamika kapasitas input tenaga kerja. Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus memberikan ilmu bagi tenaga kerja, namun sayangnya seringkali tertinggal dalam memenuhi kebutuhan pasar. Kurikulum yang dirancang mungkin tidak selalu mengikuti perkembangan dunia industri.

“Jika terjadi pengangguran massal di kemudian hari, maka angkatan kerja yang menganggur saat ini akan menjadi beban. Akibatnya, jika ada generasi yang mencari pembangunan, maka ada risiko tidak tercapainya Indonesia emas.” Tenaga kerja diharapkan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi untuk mencapai Indonesia Emas,” kata Prof Omas dalam keterangan tertulis, Jumat (19/7/2024).

Untuk mengatasi masalah ini, para pemangku kepentingan dapat bekerja sama dan berkoordinasi, termasuk lembaga profesi dan pendidikan, pekerja, dan pemerintah. Etos kerja juga harus dibangun agar tenaga kerja siap menghadapi dinamika pasar kerja. Selain itu, lembaga pendidikan perlu terus memperbarui kurikulumnya sesuai kebutuhan industri.

Profesor Amas mengatakan: “Seorang pekerja harus aktif dalam meningkatkan keterampilan. Namun di sisi lain, pemerintah harus berperan dalam mengembangkan kebijakan yang mendukung dunia pendidikan.”

Mereka berpendapat bahwa pendidikan formal saja tidak cukup. Sertifikasi profesional dan pelatihan tambahan diperlukan untuk melengkapi kualifikasi lulusan. Ia mengatakan bahwa semakin banyak sertifikasi yang dimiliki seorang pelamar kerja, semakin besar peluangnya untuk memenuhi perubahan kebutuhan pasar kerja.

Dikatakannya, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu bentuk pendidikan vokasi formal. Dunia pendidikan masih memerlukan keterampilan vokasi melalui sekolah vokasi dan tetap relevan untuk menciptakan tenaga kerja terampil di industri. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan keterkaitan langsung antara sekolah kejuruan dengan dunia industri agar dapat berpartisipasi secara baik dalam pembentukan program sekolah kejuruan.

Menurut dia, pihak industri harus bisa bekerjasama langsung dengan pihak SMK dalam pembuatan atau produksi suku cadang untuk industrinya. Misalnya pada industri sepeda BMW di Jerman, produksi suku cadang sepeda BMW dikirim ke sekolah kejuruan oleh sekolah kejuruan dan harga yang ditawarkan untuk pembuatannya adalah harga pasar.

“Namun Indonesia belum melakukan hal dan kerjasama tersebut, dan dunia pendidikan vokasi kita masih jauh dari dunia manufaktur atau industri.”

 

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours