IDI Akui Adanya ‘Budaya’ Perundungan di PPDS

Estimated read time 2 min read

JAKARTA – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengakui pelecehan merupakan hal yang lumrah dalam dunia medis. Bahkan, kegiatan ini sudah menjadi “budaya”.

Koordinator IDI Junior Doctor Network (JDN) Ph.D. Tommy Dharmawan mengatakan, fenomena perundungan pada Program Pelatihan Dokter Spesialis (PPDS) di Indonesia sudah berlangsung lama. Salah satunya adalah pengalaman kerja yang kurang baik dan lebih banyak terjadi di PPDS Indonesia.

“Pola pelecehan sudah berlangsung lama. “Ada pola budaya seperti itu, kami tidak menyangkalnya,” kata Dr. Tommy dalam jumpa pers online, Rabu (21/08/2024).

Dr Tommy berharap pola usia tua di PPDS dihilangkan. Ia mencontohkan, banyak dokter yang tidak bisa bekerja di departemen ini atau itu karena dikuasai oleh seniornya.

“Ada beberapa budaya lama yang tidak baik. “Ada PPDS yang tidak mau praktek di daerah itu karena sudah punya senior, sehingga akhirnya PPDS (dokter junior) takut,” ujarnya.

“Ada magang. “Orang-orang muda belajar dari orang dewasa. Ada sistem penyalahgunaan dalam cetakan ini yang perlu dipatahkan,” katanya.

Selain itu, Dr. Tommy juga menyebut PPDS tidak dibayar, yang menurutnya menjadi masalah di Indonesia.

Gaji mempunyai dampak yang besar terhadap kejadian bullying, sehingga beberapa dokter senior meminta makanan, membawanya, atau bahkan meminta layanan di luar akademi.

“Kalau PPDS dibayar, minimal bisa beli pangan. Atau ketika anak sakit, bayangkan peserta PPDS berusia 27-35 tahun, seharusnya di usia tersebut sudah berpenghasilan dan berkeluarga. Bayangkan anak sakit, keluarga sakit, tidak ada gaji. “Bagaimana mereka bisa bertahan selama ini,” kata dokter. tomi.

Dr Tommy mengatakan di negara lain seperti Malaysia, peserta PPDS mendapat Rp 15 juta. Sementara itu, berdasarkan pengalaman belajar di Singapura, Dr. Tommy memperoleh 2.650 dolar Singapura atau sekitar 31,4 juta rupiah. Sedangkan di Indonesia, peserta PPDS tidak menerima imbalan apa pun.

Dr Tommy menegaskan, PPDS harusnya dibayar karena mereka bekerja, bukan mahasiswa kedokteran yang berada di kapal.

“PPDS harus dibayar karena tidak membayar adalah tindakan yang tidak manusiawi. Mereka bekerja, mereka tidak bekerja. Mereka bukan santri kedokteran, mereka bekerja sebagai asisten, memeriksa pasien, mengatur pelayanan. “Dengan begitu, setelah pleno, pasien bisa diperiksa secara menyeluruh,” ujarnya.

Namun, Dr. Tommy mengatakan, biaya peserta PPDS tidak bisa berasal dari keuangan vertikal rumah sakit, melainkan dipungut dari dokter pasien yakni konsultan.

“Simulasi keuangan mengatakan, jika PPDS hanya dibayar oleh rumah sakit vertikal atau rumah sakit pendidikan, maka tunjangan mengajar akan dibayarkan selama beberapa bulan, sehingga harus dicari program yang baik yang memungkinkan PPDS dibayar,” ujarnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours