Kisah Jenderal Kopassus Berondong Gerombolan DI/TII Pakai AK-47, Shock Jalani Misi Pertama

Estimated read time 5 min read

Jenderal TNI (Purn) Soegito merupakan salah satu Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang diandalkan massanya. Pengalaman perangnya dalam berbagai operasi menjadikannya seorang tokoh militer terhormat.

Mantan Pangkostrad ini menceritakan pengalamannya saat menjadi perwira pertama RPKAD yang kini berganti nama menjadi Kopassus pada tahun 1964 dalam misi pertamanya memburu gerombolan DI/TII di gurun Sulawesi yang dipimpin Kahar Muzakkar.

Dari sekian perwira yang dikabarkan lolos seleksi, tidak semuanya berkesempatan mengikuti langsung pelatihan komando dasar di Pusdiklat Komando Angkatan Darat di Batujajar, Jawa Barat. Mereka malah dibagi menjadi dua kelompok, ada yang langsung mengikuti pelatihan komando di Batujajar, namun ada juga yang dikirim ke wilayah operasional di Sulawesi Selatan.

Kelompok pertama dipilih untuk melanjutkan pelatihan komando dasar, karena mereka dikatakan sudah memiliki pengalaman operasional. Mereka adalah Lettu Eddie Sudrajat, Lettu Feisal Tanjung, dan Kopral Satu Kentot Harseno. Mereka merupakan lulusan Akademi Militer Nasional (NMA) angkatan pertama yang menjalani pelatihan komando dasar RPKAD di Batujajar pada tahun 1964.

Sedangkan kelompok kedua yang terdiri dari tujuh perwira muda, berdasarkan Perintah Komandan RPKAD, Inf Kolonel Moeng Parahadimulyo (NRP 11662) No. Sprin-192/11/1964 tanggal 23 November 1964, dikirim ke Sulawesi untuk bergabung dengan komando tentara . Operasi Tumpas. Di bawah kepemimpinan Panglima XIV/Hasenuddin TNI Brigjen TNI Andi Mochammad Jusuf. Perintah ini dibuat untuk memantau geng-geng DI/TII.

Perwira muda yang dikirim ke Sulawesi, Letjen Inf. Soegito, Letjen Inf. Meliala, serdar Inf. Soegito mengambil sisi positifnya ketika memasuki pelatihan komando angkatan kedua.

“Saya bisa langsung mendapatkan pengalaman operasional,” kata Soegito, dari buku Letjen (Purn) Soegito, Pengabdian Seorang Prajurit Stoottroepen, Minggu (15/9/2024).

Perwira muda berpangkat letnan dua ini dikirim dengan kapal laut ke Ujung Pandang dengan singgah di Surabaya. Setiap tim membawa senapan AK-47. Karena ia merupakan pemain kualifikasi yang dilindungi, Soegito bisa saja mengenakan baret merah, namun ia tidak melakukannya dan lebih memilih mengenakan jubah binatang saja. “Ini memalukan,” katanya.

Perjalanan kapal sangat bergejolak, apalagi saat kapal melintasi Laut Jawa hingga menyebabkan sebagian dari mereka kehilangan keberanian karena mabuk laut. Sesampainya di Ujung Pandang, mereka menginformasikan bahwa para pemuda mereka yang telah tiba lebih awal, seperti Letjen. Inf Sintong Panjaitan dan Letkol. Inf.

Dari Ujung Pandang, kelompok kecil ini diangkut ke Parepare dengan menggunakan truk militer. Dalam perjalanan menuju Parepare, mereka melihat banyak prajurit berjaga di berbagai tempat yang dikuasai prajurit TNI. Banyak daerah yang sengaja dievakuasi untuk memisahkan secara jelas antara geng bersenjata dan masyarakat.

Sesampainya di Parepare, mereka mulai berpisah menurut tempatnya. Mereka yang ditempatkan di daerah terpencil diberangkatkan dengan helikopter Mi-4 Hound milik Divisi TNI AU yang sengaja mengerahkan lima helikopter terbang di Pakue. Dengan helikopter ini, agen dilempar ke lokasi sasaran kapan saja.

Pria yang menjabat Pangdam Jaya itu diutus ke Tanah Batue, desa kecil yang masuk dalam Distrik Libureng, Kabupaten Bone. Karena merasa misinya tidak akan bertahan lama, Soegito meninggalkan pakaian cadangan di Parepare.

Di Tanah Batu sudah terjadi baku tembak dengan Panglima Gerakan I Rahman. Tidak lama setelah Soegito bergabung dengan kompi ini, Letnan Rahman mendapat izin yang secara otomatis menunjuk Soegito sebagai komandan lokasi kompi tersebut.

Soetedjo dan mungkin beberapa petugas lainnya juga mengalami kondisi serupa. Tampaknya sudah menjadi kebijakan komando tinggi untuk mengistirahatkan komandan kompi, untuk memberikan kesempatan kepada perwira muda untuk mendapatkan pengalaman dalam operasi tempur.

Saat mengunjungi kompinya, Komandan Batalyon Mayor Andi Bustam meyakinkan Soegito untuk tidak khawatir karena semuanya berjalan baik. Soegito hanya harus terus berjalan. Mengingat pesan Kolonel Moeng sebelum berangkat untuk memanfaatkan kesempatan misi dan memperoleh pengalaman tempur sebanyak-banyaknya, Soegito berinisiatif untuk bergabung dengan peleton yang mempunyai peluang kontak api paling besar.

Kesempatan telah tiba. Sekelompok orang yang diduga pengikut Kahar Muzakkar dikabarkan hendak pergi ke suatu tempat yang tidak diketahui. Butuh beberapa hari bagi kelompok ini untuk mencapai posisinya.

Tanpa menunggu instruksi lebih lanjut, Soegito langsung memutuskan untuk bergabung dengan resimen berburu yang telah disiapkan. Hanya ada satu semangat stoottroepen di dalamnya untuk berburu dan mencapai tujuan. Pengalaman bedah akan meninggalkan kesan terdalam bagi Anda di kemudian hari.

Setelah beberapa hari mencari di hutan dan kembali merasakan sakit pada kakinya, batalion tersebut sampai di suatu tempat yang sepertinya tidak jauh dari posisi rombongan yang mereka cari. Tembakan dilepaskan secara langsung. Posisi Soegito yang berada di belakang membuatnya sulit menerima informasi detail posisi musuh dari komandan regu atau batalyon.

Tiba-tiba terlihat dua orang berlarian dari balik pohon sambil membawa senjata. Secara refleks, Soegito langsung mengarahkan AK-47 miliknya ke arah kedua pria tersebut. Mereka hancur seketika ketika terkena peluru panas 7,62 mm.

“Tampias pak, tampias,” kata bintara, artinya musuh sudah tertembak. Soegito kemudian menghampiri korban yang katanya tertembak, meski ragu.

Mantan Panglima ABRI Aster sempat tertegun lama saat berdiri di depan pemakaman. Saya tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Pikirannya berpacu, pikirannya berkelana liar dan suara-suara halus saling beradu dalam benaknya.

“Pertama kali saya membunuh orang, padahal saya tidak begitu yakin apakah itu tembakan saya atau tembakan anggota lain,” keluh Soegito. Anggota mengatakan mereka tidak menargetkan. Tugas pertama dan kontak pertama dengan senjata, yang langsung mengakibatkan korban jiwa di pihak lawan.

NCO-nya menyadari perubahan sikapnya setelah ini, lalu menyalahkan dan menyemangatinya. Katanya, lupakan kejadian itu, karena hukumnya perang, kalau kita tidak menembak maka mereka akan menembak kita.

“Saya kaget, saya tidak pernah menceritakan hal itu kepada teman-teman saya, bahkan sekarang pun tidak,” kata Soegito.

Menurutnya, selain kaget, ia juga merasa malu jika menceritakan keadaan tersebut kepada teman-temannya. Perasaan hampir sama kembali ia rasakan ketika perwiranya, Inf Mayor Atang Sutresna, tewas bersama anggota lainnya pada hari pertama Operasi Seroja di Dili pada 7 Desember 1975.

Tak lama kemudian, Operasi Kilat berakhir setelah Kahar Muzakkar terbunuh pada 3 Februari 1965. Mantan Dangrup 1 RPKAD dan kawan-kawan lainnya ditarik ke Cijantung dan dipulangkan menggunakan pesawat. Setibanya di Cijantung, rombongan perwira ini langsung diajak bersiap untuk mengikuti pelatihan komando di Batujajar.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours