Agar Ramah Lingkungan, Penerapan EBT Dinilai Butuh Komitmen Bersama

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Mengembangkan energi terbarukan (EBT) seperti tenaga surya, angin, air, dan panas bumi sebagai solusi tantangan penyediaan energi bersih, murah, dan berkelanjutan bukanlah hal yang mudah.

Observasi Institute for Reforms, Komaidi Notonegoro dalam Transitional Energy Forum (EITS),

Ia mengatakan, minimnya infrastruktur, teknologi, dan kebutuhan penanaman modal yang tinggi dibandingkan biofuel seringkali menjadi kendala dalam percepatan pengembangan EBT, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.

Komaidi pada Sabtu, 15/6/2024 mengatakan, “Oleh karena itu, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait dengan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).”

Indira Pratyaksa PT Pertamina Wakil Presiden, Program Keberlanjutan, Pemantauan dan Keterlibatan. Ia mengatakan, Pertamina memiliki komitmen yang kuat terhadap energi berkelanjutan namun hal tersebut tidak mudah untuk diwujudkan.

Pertamina telah menetapkan dua pilar konkrit untuk mendukung Net Zero 2060. Pertama, dekarbonisasi. Hal ini dilakukan melalui efisiensi energi, pengurangan kehilangan listrik yang merugikan lingkungan, elektrifikasi peralatan stasioner, nol atau kurang bahan bakar pada armada termasuk melalui tenaga listrik, peningkatan portofolio operasional, dan kegiatan pengembangan lainnya.

Kedua, Perdagangan Rendah Karbon & Penyeimbangan Karbon. Selain Penyimpanan Karbon (CCS) dan Penggunaan dan Penyimpanan Karbon (CCUS), Penggunaan Solusi Berbasis Alami-Biologis, Solusi Berbasis Lingkungan (NEBS), Pasar Karbon, Panas Bumi, Tenaga Surya, Angin, Bahan Bakar Nabati, Hidrogen Biru & Hijau, Listrik Baterai & Ekosistem Kendaraan.

Indira mengatakan: “Agar terwujudnya pembangunan berkelanjutan, tidak mungkin terlaksana tanpa adanya pemahaman, maka dari itu kami bekerja sama dengan berbagai institusi baik di dalam negeri maupun di luar pertamina untuk membangun pengetahuan mengenai keberlanjutan itu sendiri”.

Baru-baru ini, Pertamina mulai membangun Pertamina Sustainability Center untuk mendukung tujuan transisi energi Indonesia dengan mendorong inovasi dengan bantuan berbagai mitra.

Direktur Utama Pertamina NRE Jhon Eusebius Iwan Anis mengatakan, kedua organisasi tersebut saat ini sedang dalam masa transisi energi, harus tetap memanfaatkan energi yang ada yang jumlahnya semakin banyak, namun harus karbon.

Namun, menurutnya mengubah energi menjadi tindakan sulit dilakukan karena biayanya mahal. Maka saat ini yang perlu dilakukan adalah bagaimana melakukan upaya-upaya tersebut yang dapat meningkatkan perekonomian.

Sementara itu, Komaidi mencatat bahwa analisis energi seringkali terbatas pada pertimbangan lingkungan saja. “Tapi setelah itu kita masuk ke bagian UUD yang disebut akhir uang, bisa diperluas atau tidak, sering terhenti,” tegasnya.

Bicara EBT, kata dia, ketika daya beli sudah terpenuhi maka inflasi akan terhenti. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga terjadi di negara-negara maju.

Menurut Komaidi, energi terbarukan berpotensi menjadi sumber energi tak terbatas yang tidak bergantung pada iklim dan karenanya sangat andal dalam jangka panjang.

“Kita bicara EBT, tenaga air kalau musim panas berfluktuasi, tenaga surya naik turun saat musim hujan, sedangkan tenaga angin dan keluarannya tidak sama, artinya tergantung cuaca,” jelasnya.

Selain itu, panas bumi atau panas bumi merupakan satu-satunya EBT yang membayar Penerimaan Pajak Negara (PNBP). Namun, kata dia, tantangannya adalah energi panas bumi terbarukan memerlukan biaya yang besar dalam jangka panjang.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours