AI tidak lagi sekadar tren jadi kebutuhan industri untuk tumbuh

Estimated read time 3 min read

JAKARTA (ANTARA) – Mobile Business Forum (SBF) membahas tentang derasnya industri Indonesia dalam mengadopsi kecerdasan buatan (AI) yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir.

Diskusi tersebut menyoroti pentingnya penerapan kecerdasan buatan dalam lingkungan AI berskala besar karena hal ini telah menjadi kebutuhan bagi pertumbuhan industri.

VP of Digital Technology mengatakan, “Di tingkat organisasi, penerapan sudah ada dimana-mana dan sudah menjadi hal sehari-hari. Jadi perusahaan yang tidak menggunakan AI pasti akan tertinggal. Mau tidak mau harus menguasainya,” kata Deputy EVP Bisnis Teknologi Digital dan Platform Telkom Ari Kurniawan dalam diskusi di Jakarta, Senin.

Namun, jika melihat wilayah Asia Tenggara yang lebih luas, Indonesia masih memiliki beberapa hal yang perlu dilakukan dalam hal kesiapsiagaan.

Menurut Indeks Kesiapan AI Asia Tenggara 2023 Oxford Insight, Indonesia berada di peringkat keempat di belakang Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Ari mengatakan, strategi nasional yang komprehensif harus dilaksanakan secara serius untuk mengejar ketertinggalan.

Strategi ini mencakup investasi pada penelitian dan pengembangan AI, membangun ekosistem digital, serta meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang merupakan faktor kunci keberhasilan AI.

Tidak hanya strateginya, kehadiran aturan yang beradaptasi dengan masyarakat juga berperan penting dalam mencegah AI merusak tatanan sosial dan menjadi alat yang dapat membantu Indonesia mencapai manfaat ekonomi maksimal.

Pakar Menteri Komunikasi dan Informasi Urusan Sosial, Ekonomi dan Budaya Vijay Kusumavardhan, ketika menjawab pertanyaan regulasi, mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan sejumlah pertimbangan, termasuk menerapkan pendekatan yang berbeda.

Setelah muncul pada tahun 2023 Surat Edaran Komunikasi dan Informasi No. 9 tentang etika kecerdasan buatan, Pemerintah merumuskan peraturan yang lebih ketat dan menerapkannya dalam dua cara – vertikal dan horizontal.

“Kebijakan itu ada yang bersifat vertikal dan horizontal. Apa itu kebijakan vertikal? Maksudnya kebijakan sektoral yang berlaku pada sektor tertentu. Tapi kita juga mendorong yang bersifat horizontal, mempunyai peraturan yang lebih tinggi dan mengatur di antara keduanya. -sektor kementerian,” kata Vijaya.

Panel tersebut juga mencakup perwakilan industri yang menerapkan kecerdasan buatan, dan CEO GLAIR William Lim mengatakan bahwa kecerdasan buatan terus mempercepat laju pertumbuhan bisnis tradisional.

Dia mengatakan kecerdasan buatan saat ini banyak digunakan dalam layanan pelanggan.

“Tentu yang paling diminati adalah customer service, karena 90 persennya menggunakan AI. Bahkan saat ini debt collector juga bisa digantikan oleh AI karena bisa berkomunikasi langsung dengan nasabah atau klien,” ujarnya.

Lain cerita dengan perwakilan Bank DKI yang menyampaikan bahwa AI memfasilitasi proses e-KYC (Know Your Customer), membantu perusahaan mereka bergerak menuju transformasi digital.

“Ke depan, strategi Bank DKI di bidang kecerdasan buatan adalah perencanaan bisnis, kemudian pelatihan sumber daya manusia, proses implementasi, dan terakhir implementasi teknologinya,” kata Surendra Pohn, Kepala Departemen Pengembangan Platform Digital dan Saluran Elektronik TI di Bank DKI

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours