Alwi Shihab katakan intoleransi di RI cukup mengkhawatirkan

Estimated read time 3 min read

Jakarta (ANTARA) – Rekan senior Institut Leimen, Dr. Alwi Shihab menilai intoleransi di Indonesia meski tidak terlalu besar, namun cukup meresahkan.

Pada saat yang sama, ia juga menilai Indonesia sebagai negara dengan masyarakat majemuk cukup baik dalam berinteraksi dengan masyarakat majemuk.

“Namun bukan berarti intoleransi di Indonesia hilang. “Intoleransi di Indonesia, mungkin dibandingkan dengan banyak negara, tidak terlalu besar, namun cukup meresahkan,” ujarnya dalam konferensi pers yang diselenggarakan Institut Leimen di Piątek Jakarta.

Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia pada tahun 1999 hingga 2001 menyatakan bahwa ia mengusulkan agar agama diajarkan secara deskriptif, bukan dogmatis.

“Pengajaran agama yang deskriptif akan meredam fanatisme dan memberikan wawasan tentang kontribusi agama lain terhadap kemanusiaan, sehingga kita tidak perlu membahas isu-isu sensitif,” ujarnya.

Semasa menjabat Menlu, Alwi Shihab mengatakan, pada tahun 2000, pemerintah Indonesia mendirikan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Dikatakannya, apa yang dilakukan CRCS UGM hampir sama dengan apa yang dilakukan Institut Leimen, yaitu bagaimana menyampaikan ilmu kepada masyarakat agar saling menghormati dan berusaha mempelajari ajaran agama lain sehingga melalui gotong royong dapat terjalin kerja sama yang baik.

Mantan Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah dan OKI (2016-2019) ini menyatakan, masyarakat yang ingin mengikuti program lintas agama dan antar budaya (LKLB) memerlukan tiga kompetensi.

Pertama, kompetensi pribadi, yaitu seseorang harus terlebih dahulu mempelajari ajaran agamanya sendiri dan berusaha jujur ​​mempelajari agama lain agar dapat menemukan titik temu antara kedua agama tersebut dan menghindari konflik.

Kedua, kompetensi kooperatif, yaitu seseorang harus mempunyai kompetensi untuk bekerjasama dengan pihak lain.

Ketiga, kemampuan bekerja sama, yaitu kemampuan bekerja sama untuk membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif.

“Tidak ada keraguan bahwa semua ini, semua upaya untuk menciptakan masyarakat yang majemuk namun inklusif, tidak dapat terlaksana tanpa pendidikan. “Tanpa pendidikan, kita akan tertinggal jauh dalam mencapai tujuan ini,” tegasnya.

“Pendidikan adalah kata kuncinya. Tanpa pendidikan, sulit bagi kita untuk menembus otak orang-orang yang diarahkan atau dipengaruhi oleh pandangan radikal, yang semuanya juga didasarkan pada tokoh agama,” ujarnya.

Hasil survei tahun 2018 menunjukkan sekitar 50 persen ustadz menunjukkan intoleransi sehingga menginspirasi Institut Leimen menyelenggarakan program LKLB.

“Ini sangat berbahaya. Kalau ustadz tidak toleran, maka mereka (siswa) akan menjadi pemimpin kita di masa depan. Apa jadinya Indonesia jika kita tidak mengambil tanggung jawab bersama untuk mengatasi masalah ini,” ujarnya.

Alwi Shihab menegaskan, semua pihak baik kementerian, perguruan tinggi, dan masyarakat bertanggung jawab atas keamanan masyarakat Indonesia sendiri.

“Kita harus menciptakan kesejahteraan bangsa melalui hubungan yang di dalamnya terdapat rasa saling menghargai, kita mampu menerima perbedaan dan tidak saling menghakimi,” tegasnya.

Kementerian Luar Negeri bekerjasama dengan Institut Leimen menyelenggarakan Konferensi Internasional Sastra Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) pada 10-11 Juli 2024 di Jakarta dengan mengusung tema “Kerjasama Multiagama dalam Masyarakat Inklusif”.

Konferensi ini berfokus pada pemahaman kerja sama multi-agama, di mana orang-orang yang berbeda agama dan keyakinan dapat saling belajar dan bekerja sama sambil mengakui dan menghormati perbedaan agama dan keyakinan untuk mengatasi isu-isu yang menjadi perhatian bersama.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours