Ambyar! Rumah Mewah di Kemang Dijual Pengontrak Santoso Halim, Diduga Sindikat Mafia Tanah

Estimated read time 4 min read

JAKARTA – Rumah mewah mantan Dubes Djohan Effendi yang berlokasi di Jalan Kemang V No.12, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan dijual Santoso Salim. Anehnya, sebelum menjual rumah tersebut, pelaku yang diduga anggota mafia tanah ini menyewa rumah korban.

“Husin Ali Muhammad mengontrak rumah Djohan Effendi yang berlokasi di Jalan Kemang V No.12, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Pelaku Husin Ali Muhammad menyewa 2 gambar SHM dari Djohan Effendi, dengan cara mereduksi daya dari 23.000 watt menjadi 6.000 watt,” kata pengacara Djohan Effendi, Arlon Sitinjak, dalam video YouTube Suara Kunci, Minggu (30/6/2024).

Usai direkrut, Husin Ali Muhammad pun menghubungi Djohan Effendi karena mengira untuk meredam listrik ia harus menggunakan SHM asli dengan mendatangkan pejabat PLN palsu untuk meyakinkan Djohan Effendi. Awalnya korban tidak percaya, namun pelaku Husin Ali Muhammad membawa polisi berseragam PLN palsu, Fauzi (DPO) untuk meyakinkan korban, tambah Arlon.

Belakangan, pada 12 Juli 2016, Djohan Effendi terpaksa menyewa dua izin pertama yang diajukan pelaku dan menunggu di lantai rumahnya. Selang 1 jam, pelaku mengembalikan kedua SHM yang ternyata palsu.

“Pada suatu kesempatan, pelaku yang memiliki surat izin asli korban menjual rumah korban bersama Halim yang mengaku bernama Djohan Effendi dan posisinya masih dalam daftar pencarian orang/DPO, menjualnya kepada Santoso Halim. dengan biaya 10 miliar,” ujarnya.

Pada tanggal 12 Agustus 2016, Perjanjian Pembelian No. 08 dan tidak. 09 antara Djohan Effendi, gambar tersebut ditafsirkan oleh Halim (DPO) sebagai penjual, dan Santoso Halim sebagai pembeli, di hadapan Notaris/PPAT Lusi Indriani. . Pada tanggal 22 Agustus 2016, akta jual beli no. 376 dan akta jual beli no. 377 dihadapan Notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireksa.

“Dalam penjualan tersebut, yang mengejutkan Santoso Halim tidak membayar penjualan properti tersebut kepada Djohan Effendi, Nomor Telepon (DPO) Halim selaku penjual,” ujarnya.

Namun Santoso Halim ditransfer ke rekening pelaku Husin Ali Muhammad senilai Rp 8 miliar berdasarkan keterangan Santoso Halim dalam Putusan Pidana no. 1073/Pid.B/2018/PN.Jkt.Sel halaman 33.

Atas ulah buruk atlet nasional, Djohan Effendi pada 6 Februari 2017 membuat laporan polisi dengan nomor: LP/176/K/II/PMJ/Restro JakSel.

Berdasarkan laporan tersebut, penulis Husin Ali Muhammad divonis 5 tahun penjara berdasarkan Perkara Pidana No. 562 K/Pid/2019 (Inkracht van gewijsde) karena dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan pemalsuan karya asli dan pemalsuan surat menyurat sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 266 ayat 1 KUHP Jo. . Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan pasal 263 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP bersama Halim (DPO).

Pada 16 Maret 2018, Santoso Halim menggugat Djohan Effendi, atas perkara melawan hukum (PMH), dengan registrasi no. 240/PDT.G/2018/PN.Jkt. Sel, dan Putusan Hakim menyatakan perkara Santoso Halim tidak diterima karena tidak ada pihak (N.O).

Majelis hakim menilai Santoso Halim tidak menunda pihak-pihak yang patut digugat yakni Husin Ali Muhammad, Halim (DPO), Notaris/PPAT Lusi Indriani dan Notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireksa.

Santoso Halim mengajukan banding dalam perkara Nomor 317/Pdt/2020.PT.DKI dengan putusan Santoso Halim melakukan pembelian wajar, sedangkan hakim banding menyatakan Djohan Effendi melanggar hukum, kata Arlon.

Tak berhenti sampai disitu, Djohan Effendi juga menghimbau jika tidak. 2721 K/Pdt/2021, namun Pengadilan Kasasi menyatakan Santoso Halim adalah pembeli yang adil sehingga Djohan Effendi kalah dalam banding.

“Djohan Effendi mengajukan gugatan perdata, dengan registrasi perkara nomor 251/Pdt.G/2020/PN JKT.SEL., menanggapi putusan nomor 240/PDT.G/2018/PN.Jkt. Sel yang menyatakan bahwa Perkara Santoso Halim tidak disetujui karena tidak punya partai.

Namun Majelis Hakim bertindak a quo mengeluarkan putusan Ne bis di Idem, karena memiliki perkara yang sama dengan Perkara Nomor 240/PDT.G/2018/PN.Jakarta Selatan, ”ujarnya.

Dalam putusan tersebut, Santoso Halim mencopot Djohan Effendi sebagai terdakwa, padahal membujuk terdakwa merupakan suatu kesalahan (gemis aanhoeda nigheid). Perhatikan bahwa ne bis in idem hanya berlaku untuk keputusan positif.

“Jadi sebenarnya suatu keputusan yang salah tidak mengikat ne bis mu idem. Putusan Nomor 240/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel., dapat disimpulkan sebagai keputusan yang salah. Sebab, tidak memutus Perihal perkara tersebut, maka korban mengajukan banding dan sedang diproses di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, kata Arlon.

M Luthfi Adrian dan Siti Sarita selaku ahli waris Djohan Effendi, korban mafia tanah, mengajukan banding pidana (PK) atas Putusan Kasasi no. 2721 K/Pdt/2021, dan pada tanggal 26 Desember 2022 berdasarkan Surat no. W10.U3/18834/HK.02/12/2022, berkas PK dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dilimpahkan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Pada 15 Desember 2022, Santoso Halim mengatakan dalam putusan kasasi pembeli beritikad baik, Notaris/PPAT Lusi Indriani dan Notaris/PPAT Vivi Novita Ranadireksa ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik ​​Polda Metro Jaya berdasarkan surat penetapan tersangka no. B/18529/XII/RES.1.9/2022/Ditreskrimum tentang Laporan Polisi No. LP/B/3397/VII/2021/SPKT/POLDA METRO JAYA tanggal 8 Juli 2021 yang diduga melanggar Pasal 266 KUHP dan/atau Pasal 264 KUHP.

Namun dia tidak datang karena berharap Covid-19 sehingga harus kembali pada 25 Januari 2023, lalu diminta ditunda hingga 6 Februari 2023. Selesai.

Seorang wartawan SINDOnews mencoba menghubungi Santoso Halim sebagai pembeli. Namun hingga tulisan ini dibuat, Santoso Halim belum memberikan tanggapan.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours