Batavia (ANTARA) – Perusahaan Tambang Nikel Indonesia (APNI) membuka peluang bagi perusahaan tambang multinasional Australia, BHP Group Limited, untuk fokus dan berinvestasi di Indonesia pasca penutupan bisnis nikelnya di Australia.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey kepada wartawan di sela-sela International Fire Summit 2024, di Batavia, Senin, mengatakan pihaknya telah berdiskusi dengan BHP mengenai potensi investasi di Indonesia.
Namun keputusan akhir masih belum pasti dan bergantung pada beberapa faktor situasi politik dan peraturan yang dikeluarkan pemerintahan baru, ujarnya.
Meidy mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat BHP berpeluang besar masuk ke Indonesia. Salah satunya adalah tingginya biaya produksi tambang BHP sulfida di Australia dibandingkan tambang nikel laterit yang lebih dominan di Indonesia.
Menurut dia, BHP juga ikut bertanggung jawab atas anjloknya harga nikel dunia. Perusahaan kesulitan mempertahankan daya saing karena tidak mampu menekan biaya produksi.
Di sisi lain, dengan insentif dan sumber daya pemerintah yang memadai, Indonesia dinilai lebih kompetitif dalam hal biaya produksi.
“Nah, itulah salah satu alasan mengapa BHP akhirnya menyerah daripada terus merugi,” kata Meidy.
Lebih lanjut dia menjelaskan, BHP memiliki infrastruktur hilir untuk mengolah nikel matte. Guna menjaga keberlangsungan usaha, perseroan membutuhkan pasokan nikel yang konstan.
Oleh karena itu, Indonesia yang berpotensi menjadi produsen nikel besar dinilai bisa menjadi mitra potensial.
APNI berharap jika BHP benar-benar masuk ke Indonesia bisa mendorong masuknya investor besar lainnya selain China. Hal ini bertujuan untuk mengurangi dominasi investasi dari satu negara dan menciptakan persaingan yang sehat di sektor pertambangan Nikel Indonesia.
“Supaya kita tidak dikatakan dikuasai oleh Tiongkok,” ujarnya pula.
+ There are no comments
Add yours