Asal Mula Semboyan Bhinneka Tunggal Ika Lahir dari Disharmoni Kerajaan Majapahit

Estimated read time 2 min read

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang tertulis pada lambang negara warisan Kerajaan Majapahit Indonesia. Slogan ini mewakili keberagaman budaya, suku, agama, dan ras di Indonesia yang sedang merayakan 79 tahun kemerdekaan.

Namun nyatanya semboyan Bhinneka Tunggal Ika pertama kali muncul dari sebuah konsep keagamaan baru setelah adanya hubungan harmonis antar agama yang ada pada masa Kerajaan Majapahit. Pendirinya adalah Mpu Tantular, seorang penyair yang terkenal dengan karya sastranya.

Konon memang ada permasalahan agama yang dihadapi kerajaan Majapahit saat itu. Pada awalnya hubungan antara Hindu Siwa dan Buddha Mahayana sangat harmonis dan tidak langsung.

Namun pada masa pemerintahan Majapahit saat itu, masih terlihat jelas bahwa kedua agama tersebut terpisah.

Setelah terpecah belah dan mengalami keretakan hubungan, mengutip dari buku “700 Tahun Majapahit, Bunga Bunga Rampai”, masing-masing agama memiliki candi yang berbeda dan tersendiri bahkan patung pemujaan yang berbeda.

Hanya prasasti Kelurak yang ditulis pada tahun 782 M yang merupakan satu-satunya yang memberikan keseimbangan antara konsep kebenaran Budha dan konsep kebenaran agama Siwa.

Oleh karena itu, dalam Kakavina Šutasoma dibuat kesimpulan yang jelas tentang hubungan kedua agama tersebut.

Dalam Kakavina Sutasoma bait pertama Pupuha CKSLVII disebutkan dengan jelas bahwa karyanya merupakan bodacarita atau cerita tokoh Budha.

Selain itu, ayat yang mengandung ungkapan Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam Pupuh Jawa Kuno CXXXXIX yang berbunyi:

“Rvaneka dhatu vinuvus vara Buddha Visva bbhineki rakva ring apan ke parvvanose’n mangkaang jinatva kalung Sivatatva baru bbinnekatung ika tan bana dharmma mangrva.”

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bait kelima Pupuh CXXXXIX berbunyi:

“Para Terpilih mengatakan bahwa Buddha dan Visva (Siwa) bukanlah sesuatu yang terpisah, melainkan dua unsur yang mendasar, karena keduanya dapat dipisahkan menjadi dua sekaligus, (padahal) pada hakikatnya kebenaran Tuhan (Buddhisme) dan Siwa adalah satu dan terpisah. ” (tetapi) tidak ada kebenaran tunggal yang tidak ambigu.

Ayat ini mengatakan bahwa Dewa Siwa disamakan dengan Buddha. Sebaliknya, hal ini mengingatkan saya bahwa Shiva – Sang Buddha – memiliki realitas yang lembut dan penuh kasih.

Pertemuan dan penyatuan Siwa dan Buddha dimulai dengan kuat pada masa Singasari, ketika raja terakhir Kertanagara membuat patung peringatan berupa Siwa dan Buddha setelah kematiannya.

Pada zaman Mayapahit, kreasi berupa sastra dan arsitektur sebagian besar merupakan kekuatan kreatif yang melampaui keberagaman agama. Persoalan keberagaman hendaknya dikelola dalam konteks upaya pembangunan negara di Kerajaan Majapahit.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours