Aspek Hukum tentang Kerugian Negara dalam UU Tipikor

Estimated read time 4 min read

Rumli Atmasmita

Kerugian Negara – Kerugian keuangan negara atau keuangan negara yang tercakup dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Tahun 2001 2001 telah menjadi pemandangan yang menakutkan dan bahkan “mematikan” semangat para pengelola publik, khususnya para pelaku yang selama ini berkiprah di dunia keuangan dan perbankan selama terlibat dalam pengelolaan keuangan publik, misalnya “Badan Usaha Milik Negara” .

Ketentuan mengenai kerugian negara mencakup dua persoalan penting dalam proses hukum pemberantasan korupsi. Pertama, mengenai sah atau tidaknya kerugian negara sebelum Pasal 2 dan 3 sebagai unsur tindak pidana korupsi. Kedua, status penilaian kerugian keuangan negara.

Pertanyaan pertama merujuk pada pengujian konstitusionalitas ketentuan unsur kerugian negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi. Hilangnya keuangan negara atau perekonomian masyarakat sehubungan dengan frasa “dapat” diletakkan sebelum frasa tersebut; Dalam keputusan MKRI Nomor 25/PU-XIV/2016 tanggal 8 September 2016 disebutkan bahwa kata “mampu” diperuntukkan bagi keahlian. tidak bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat 1 UUD 45, sepanjang ditafsirkan menurut penafsiran pengadilan (mungkin konstitusional), yaitu unsur merugikan negara. Dan itu bisa dihitung, diprediksi atau tidak.

Konsep “kerugian sebenarnya” digunakan dalam putusan MKRI. Memberikan kepastian hukum yang lebih adil dan konsisten dengan upaya harmonisasi instrumen hukum nasional dan hukum internasional (Konvensi PBB Menentang Korupsi, 2003, diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 2006). Beralih pada putusan yang sedang dibahas, terlihat jelas penafsiran UU MKRI terhadap unsur kerugian negara. Lebih menitikberatkan pada kerugian yang bersifat nyata dan mempunyai akibat tertentu (kerusakan aktual) serta sependapat dengan penafsiran undang-undang bahwa kerugian negara merupakan “kerugian potensial”. Apalagi, kata “kerugian total” tidak dikenal dalam konteks undang-undang antikorupsi dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan publik, serta audit pengelolaan dan akuntabilitas keuangan publik.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini sejalan dengan penafsiran ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Tahun 1999 yang menyebutkan kata “boleh” sebelum kalimat merugikan keuangan atau perekonomian negara. menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana formil, artinya hanya keberadaan tindak pidana korupsi saja yang cukup untuk mengeksekusinya, bukan akibat yang ditimbulkannya. Bertentangan dengan putusan MKRI, Yurisprudensi MARI Nomor 417/K/PID.SUS/2014 tanggal 7 Mei 2014 yang merupakan perbuatan melawan hukum Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor Tahun 1999. bekerja, bahkan bekerja melawan hukum.

Perbedaan penafsiran antara kedua badan peradilan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan ketidakadilan dalam proses peradilan tindak pidana korupsi. Kebingungan dalam penafsiran hukum telah menyebabkan pergeseran tanggung jawab dalam kasus korupsi. Semula tanggung jawab pidana, kini menjadi tanggung jawab administratif.

Hal ini disebabkan dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa penyelenggara negara yang melakukan tindakan atau jabatan yang merugikan keuangan negara harus mengganti kerugian keuangan negara dalam jangka waktu 30 hari. Pengawasan terhadap BPK akibat tindakan badan negara yang merugikan keuangan negara merupakan tanggung jawab administratif, bukan tanggung jawab pidana.

Peralihan tanggung jawab/transparansi ini terutama terjadi pada pejabat publik yang diduga menyalahgunakan wewenang karena jabatan dan jabatannya, sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara. Dalam proses peradilan perkara pidana korupsi, terbukti bahwa hakim Mahkamah Agung dan sistem peradilan, tanpa memperhitungkan adanya putusan tentang sifat tidak sahnya MKRI, berpihak pada yurisprudensi Mahkamah Agung. Tuduhan atas tindak pidana korupsi.

Ditinjau dari teori sistem hukum yang sudah lama dikenal, sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum perdata warisan pemerintahan kolonial Belanda dan masih diterapkan hingga saat ini, meskipun pada tahun 1946. Beberapa perubahan telah dilakukan pada sistem pidana. KUHP dan transformasi KUHP Belanda menjadi KUHP dan KUHP nasional yang baru. Yurisprudensi, yang diterima sepenuhnya dalam sistem hukum common law, adalah praktik peradilan tradisional yang mengharuskan pengadilan berikutnya untuk mengikuti keputusan peradilan yang serupa dengan kasus yang sudah diputuskan (Nazir al-Usul). Namun jika dilihat dari sistem ketatanegaraan (hukum) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Pasal 10 Ayat 1; Keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final yaitu. Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diumumkan segera dan tidak dapat dilaksanakan atau dilaksanakan, artinya setiap lembaga negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif tunduk padanya dan wajib ditaati.

Sejauh ini belum ada solusi hukum yang dapat mencerminkan kepastian hukum persidangan tindak pidana korupsi di Pengadilan Tipikor, sehingga masih jauh dari tercapainya tujuan keadilan, baik bagi individu, masyarakat, maupun bangsa. dan negara. Misalnya, kasus korupsi proyek infrastruktur bernilai triliunan berdampak pada stagnasi dana APBN yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan tentu saja meluapnya perumahan penjara dengan segala implikasi strategis negatifnya.

Penuntutan korupsi juga berdampak negatif terhadap keuangan negara baik dari segi kuantitas dan kualitas pendapatan/pendapatan yang dihemat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan mulai dari penyidikan suatu perkara korupsi hingga persidangan. Minimal 6 (enam) bulan dan maksimal 6 (enam) bulan dilanjutkan dengan 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) tahun.

Masa depan pemberantasan korupsi tidak hanya bergantung pada integritas, profesionalisme, dan akuntabilitas aparat penegak hukum, namun juga pada integritas dan ketulusan sikap dan kebijakan seluruh lembaga pemerintah, termasuk eksekutif dan legislatif. dan elit peradilan itu sendiri. Tanpa hal-hal tersebut, impian Indonesia emas pada tahun 2045 tidak akan terwujud.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours