Bank DBS sampaikan krisis iklim jadi tantangan mendesak perlu solusi

Estimated read time 3 min read

Jakarta (ANTARA) – Wakil direktur dan pimpinan grup perbankan institusi DBS Bank Ltd. (Bank DBS) Tan Su Shan mengatakan bahwa krisis iklim saat ini merupakan masalah mendesak yang memerlukan solusi inovatif untuk mengatasinya.

Dalam pidatonya di International Sustainability Forum (ISF) Indonesia 2024, ia menilai perubahan iklim telah mencapai titik kritis yang mengancam stabilitas perekonomian dan kehidupan masyarakat global, khususnya di Asia.

“Para ilmuwan mengatakan kita memiliki ‘anggaran karbon’ (jumlah emisi yang dapat kita buang ke atmosfer) sebesar sekitar 2.900 gigaton untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. kata Tan Su Shan pada sesi tema Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Jumat.

Dari Bank DBS sendiri, Tan mengungkapkan saat ini pihaknya telah melepaskan lebih dari 2.600 gigaton ke atmosfer. Tanpa tindakan yang berarti, dunia akan menghadapi kenaikan suhu lebih dari 2°C, yang akan menimbulkan konsekuensi ekonomi dan sosial yang sangat buruk.

Ia mengatakan kerugian ekonomi akibat bencana cuaca ekstrem akan meningkat dan masyarakat yang paling rentan, terutama masyarakat miskin, akan terkena dampak paling parah. Hal ini memperburuk kesenjangan sosial.

“Jumlah orang yang terkena dampak langsung bencana ini telah mencapai rekor tertinggi, dengan kelompok masyarakat miskin terkena dampak yang tidak proporsional, sehingga memperburuk kesenjangan sosial,” katanya.

Oleh karena itu, Bank DBS berkomitmen untuk mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon dan menekankan pentingnya energi terbarukan dan efisiensi energi.

Pangsa sumber terbarukan dalam produksi listrik global telah mencapai 33 persen, yang merupakan peningkatan signifikan dibandingkan beberapa tahun lalu.

Dalam paparannya, Tan mengatakan selain semakin meningkatkan porsi pembangkitan energi terbarukan, para pemangku kepentingan juga harus memastikan lebih banyak sektor perekonomian global, seperti sektor transportasi, pemanas dan pendingin, menerima listrik.

Maka efisiensi energi akan meningkat dan sistem pangan global perlu dikelola dengan baik.

Meski demikian, Tan mengakui transisi tersebut tidak akan mudah, terutama di Asia yang masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil.

“Meskipun kontribusi historis Asia dan emisi per kapita saat ini masih relatif stabil, besarnya jumlah penduduk dan pertumbuhan PDB dalam beberapa tahun terakhir berarti bahwa Asia kini menghasilkan 50 persen emisi global,” ujarnya.

Namun, ia optimis langkah dekarbonisasi global yang dilakukan saat ini dapat memberikan dampak positif yang signifikan.

“Kita perlu mempertimbangkan tantangan yang dialami negara-negara Asia dan mengembangkan solusi dekarbonisasi yang relevan dengan komunitas dan perekonomian di kawasan,” ujarnya.

Sementara itu, dalam acara yang sama, Menteri Keuangan Shri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan Produk Domestik Bruto (PDB) menurun sebesar 10 persen pada tahun 2025.

Ia meyakini bahaya ini akan berdampak pahit jika perubahan iklim tidak segera dihilangkan.

“Ini (penurunan) sangat besar, yakni 10 persen terhadap PDB. “Setiap kali kita mencoba meningkatkan PDB menjadi 3 persen, seperti pada tahun 2024 dan 2025, dibutuhkan banyak upaya, apalagi dengan banyaknya risiko penurunan seperti ini (perubahan iklim),” kata Shri Mulyani.

Bendahara negara itu menegaskan, hilangnya 10 persen PDB akan berdampak tidak hanya pada perekonomian, namun juga pada upaya pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, khususnya bagi generasi muda.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours