Banyak Kelas Menengah RI Turun Kelas, Awas Stagnasi Pertumbuhan Ekonomi

Estimated read time 3 min read

JAKARTA – Banyak anggota kelompok borjuasi atau yang dikenal sebagai kelas menengah di Indonesia yang terjerumus ke dalam kelas menengah bawah atau aspiring middle class (AMC). Padahal, kelompok-kelompok dalam hierarki sosial ekonomi mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, memandang perlunya intervensi pemerintah agar permasalahan ini bisa teratasi. Konsekuensi dari kelompok sosial yang semakin kecil ini terhadap makroekonomi sangatlah signifikan.

Misalnya, terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi karena daya beli atau konsumsi kaum borjuis berada di bawah tekanan dan jatuh. Baca juga: Bank Dunia Keluarkan Ketentuan Baru, 13 Juta Masyarakat Kelas Menengah Indonesia Tiba-tiba Terjerat Kemiskinan

“Saya kira yang utama tentu saja konsumsi mereka akan turun seperti itu. Nah, artinya kalau kelas menengah turun, konsumsi turun, otomatis turun lagi, dorongan pertumbuhan ekonomi relatif terbatas.” kataku. Tauhid dalam kontak, Sabtu (27/7/2024).

Lantas, apa intervensi pemerintah agar jumlah kelas menengah tidak berkurang dan bertambah lagi?

Tauhid menilai kebijakan pemerintah terkait antisipasi dan penanganan inflasi pangan terus digalakkan. Kemudian, memperkuat investasi, meningkatkan produktivitas pekerja, upah yang layak, dan meningkatkan sistem jaminan sosial.

Ada banyak faktor yang menyebabkan menyusutnya kelas menengah nasional. Faktor yang paling dominan adalah inflasi pangan, karena harga sejumlah produk pangan menggila.

Menurut dia, konsumsi pangan di kalangan borjuasi Indonesia cukup tinggi. Namun inflasi pangan menjadi momok bagi mereka, sehingga menurunkan daya beli mereka.

“Kuncinya adalah investasi, produktivitas, pengupahan, dan perbaikan sistem jaminan sosial khususnya pendidikan dan kesehatan agar biayanya bisa ditekan, sehingga tidak mahal dan melebihi inflasi pangan,” jelasnya.

Sedangkan untuk investasi, lanjutnya, erat kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja baru. Berdasarkan data Kementerian Investasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi pada tahun 2023 mencapai Rp 1.418,9 miliar dengan total penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.823.543 orang.

Realisasi penanaman modal pada tahun 2023 terdiri dari Penanaman Modal Asing (PMA) senilai Rp744,0 triliun atau setara dengan 52,4% dari total realisasi penanaman modal. Sedangkan penanaman modal nasional (PMDN) sebesar Rp674,9 triliun atau mencapai 47,6%.

“Mau tidak mau, kita juga harus melakukan investasi yang daya serapnya tinggi, pertama meningkatkan produktivitas kelas menengah, kemudian kapasitas dan seterusnya, baru mau tidak mau ini kembali lagi ke kapasitas SDM,” ujarnya.

Pemerintah juga diminta memperkuat tulang punggung perekonomian yakni sektor industri. Pasalnya, banyak pekerja formal yang bergantung pada industri.

“Karena yang menjamin kita terhubung itu sektor formal ya, di sektor industri banyak, dijamin struktur gajinya, dijamin jaminan sosialnya, misalnya gaji, pensiun dan sebagainya, menurut saya sektor sektor industri akan dikembalikan lagi, katanya.

Intervensi lainnya adalah dengan memperbaiki sistem penggajian atau menjalankan pegawai. Tauhid mengatakan sistem penggajian antara pusat dan daerah masih jauh dari kata seimbang. Sehingga hal ini juga mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat kelas menengah.

“Kita ada disparitas antar kelas, gaji daerah besar sekali, misalnya gaji di Jabodetabek jauh lebih tinggi dibandingkan di Jawa Tengah, lalu apa maksudnya? “Di Jabodetabek banyak sekali yang PHK, tapi penyerapan di Jateng terjadi, tapi struktur skala gajinya rendah, konsumsinya juga rendah, jadi harus ada keseimbangan baru,” jelasnya.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours