Banyak Pekerja Tersapu Badai PHK, Pemerintah Perlu Bertindak Cepat

Estimated read time 4 min read

Jakarta – Gelombang pemutusan hubungan kerja massal (PHK) di berbagai industri. Hal itu berlanjut hingga tahun ini. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, jumlah pekerja yang terkena PHK pada Januari hingga Agustus 2024 meningkat 23,72 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jika pada tahun 2023 terdapat 37.375 pekerja yang menganggur, maka jumlahnya akan meningkat menjadi 46.240 orang. . 2024.

Provinsi dengan jumlah PHK terbanyak pada semester I 2024 adalah DKI Jakarta dengan jumlah pegawai terdampak sebanyak 7.469 orang, disusul Banten (6.135 orang), Jawa Barat (5.155 orang), Jawa Tengah (4.275 orang), Sulawesi Tengah (1.812 orang). ). ) dan Bangko Belitung (1.527 orang) terjadi akibat krisis berbagai lapangan kerja di sektor manufaktur.

Liliak Setiawan, Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, mengatakan jumlah kasus penolakan di sektor tersebut kemungkinan lebih tinggi dibandingkan angka yang dicatat Kementerian Tenaga Kerja.

Berdasarkan data API, hingga awal Agustus 2024, terdapat sekitar 15.000 pekerja yang terkena PHK akibat penutupan 10 pabrik tekstil di wilayah Jawa Tengah. Termasuk Unkaran, Karaganyar, dan Boyolali, Liliek mengatakan banyak perusahaan yang kesulitan bertahan akibat masuknya barang impor. Hal ini membuat produk dalam negeri tidak mampu bersaing di pasarnya sendiri.

“Setiap upaya efektif. Namun pada akhirnya banyak juga yang menutup usahanya,” ujarnya dalam keterangannya, Kamis (9/12/2024).

Baca selengkapnya: 46.000 pekerja di-PHK karena badai Sebagian besar korban berada di Jawa Tengah dan Jakarta.

Bob Azam, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengatakan pelemahan industri manufaktur diperburuk dengan melemahnya daya beli masyarakat. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2023 hanya sebesar 4,82 persen, turun dibandingkan tahun 2022 sebesar 4,94 persen. Menurunnya daya beli berdampak pada turunnya permintaan produk manufaktur secara tajam. Akibatnya banyak perusahaan yang harus bekerja efisien dan memberhentikan karyawannya.

Lebih lanjut, Bob menjelaskan ketidakpastian politik pada masa transisi pemerintahan juga membuat investor enggan berinvestasi. Yang pada akhirnya menghambat pemulihan sektor industri. Turunnya Purchasing Managers’ Index (PMI) menjadi 48,9 pada Agustus 2024 merupakan indikator nyata melemahnya sektor manufaktur dalam negeri.

Lucia Nanny Lusida, Corporate Strategist dan Direktur D’Impact Indonesia, menjelaskan, dalam beberapa kasus, keputusan mundur harus diambil demi menjaga daya saing dan kelangsungan bisnis perusahaan di masa depan.

“Di banyak perusahaan, terutama perusahaan multinasional, disengagement hanya akan terjadi jika semua opsi lain seperti efisiensi dan optimalisasi dihilangkan. Hal ini tidak lagi mampu memberikan hasil yang diharapkan,” jelas Lucia dari pengalamannya sebagai praktisi sumber daya manusia.

Hal ini sejalan dengan tren di mana banyak perusahaan terpaksa melakukan efisiensi besar-besaran sebagai respons terhadap kondisi industri yang stagnan. Produksi khusus

Lucia juga menekankan pentingnya restrukturisasi yang bertanggung jawab, yaitu restrukturisasi yang dilakukan secara bertanggung jawab. Untuk memberikan panduan dalam menyelesaikan kewajiban industri dan ketenagakerjaan. Langkah ini tidak hanya membantu perusahaan menjaga keberlangsungan bisnis, namun juga membantu karyawan mendapatkan hak-haknya. Dalam kondisi sulit seperti ini, Lucia menambahkan perusahaan harus sangat cerdas. Hal ini terutama berlaku dalam memastikan penyediaan jaring pengaman dan perolehan keterampilan setelah restrukturisasi. Penting untuk mempersiapkan keterampilan dan pola pikir karyawan yang terkena dampak. Sehingga mereka bisa tetap menjaga kemandiriannya setelah kehilangan pekerjaan.

Baca Juga: Jokowi Mania Bela Dugaan Kaesang Pemanjaan Jet Pribadi

Andy William Sinaga, Sekretaris Eksekutif Lembaga Ketenagakerjaan Indonesia menjelaskan, meningkatnya kehilangan pekerjaan di Indonesia tidak lepas dari dampak ketidakstabilan geopolitik internasional. Dan lemahnya perekonomian dunia dan perekonomian nasional persaingan yang ketat dengan negara-negara seperti Tiongkok, Kamboja dan Vietnam, yang menganut kebijakan produksi berbiaya rendah. Hal ini membuat produk Indonesia sulit bersaing di pasar luar negeri. Hal ini disebabkan oleh kebijakan produksi murah negara lain sehingga mengurangi permintaan. Dan perusahaan-perusahaan di Indonesia terpaksa mengambil tindakan efektif, termasuk pemutusan hubungan kerja.

Hadapi PHK massal, Lembaga Ketenagakerjaan Indonesia dorong penerapan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebagai solusi bagi pekerja terdampak Andy mengingatkan pentingnya kolaborasi antara BPJS Ketenagakerjaan dan Kementerian Tenaga Kerja dalam pelaksanaan proyek ini

“Kami menghimbau kepada Divisi BPJS Ketenagakerjaan dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk berkoordinasi dan segera mengambil tindakan agar proyek JKP dapat mencapai tujuannya, tegasnya.

Andy juga menekankan perlunya penyediaan fasilitas pelatihan kerja. dan menyederhanakan transisi keanggotaan Jamsostek untuk memastikan perlindungan sosial yang berkelanjutan bagi pekerja.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours