Belajar sastra Betawi bisa mulai dari karya apapun

Estimated read time 2 min read

Jakarta (ANTARA) – Pengamat budaya Betawi Yahya Andi Saputra mengatakan masyarakat yang ingin membaca buku Betawi bisa menekuni karya apa pun sesuai minatnya, baik novel, cerpen, puisi, maupun naskah drama.

“Orang-orang yang karyanya bagus seperti Firman Muntaco, SM Ardan, dan Zeffry al-Katiri bisa membaca bukunya,” ujarnya di Jakarta, Jumat.

Yahya yang juga peneliti Lembaga Kebudayaan Betawi menyebut nama Ridwan Saidi. Ridwan Saidi, yang sebelumnya dikenal sebagai aktivis, anggota DPR, dan intelektual Islam, banyak memasukkan pengaruh politik dan budaya ke dalam karya-karyanya.

Tertulis, pria kelahiran 1942 ini telah menerbitkan lebih dari dua puluh buku tentang kebudayaan.

“Saat saya baca novel Pak Ridwan Saidi, dialog di novelnya sudah lengkap. Jadi dia pakai bahasa gaul, Betawi, Inggris, Belanda. Salah satu novelnya, ‘Hunting by Mossad’, banyak terdiri dari buku nonfiksi.” dia berkata.

Di sisi lain, mengenai sastrawan Betawi yang menjadi bagian dari sastra Indonesia, sejarawan J.

SM Ardan adalah orang pertama yang menanggapi permasalahan sastra ini pada tahun 1950-an. Saat itu, ada keinginan akan warna-warna lokal atau Indonesia pada buku.

“Ia meninggalkan dunia puisi demi cerpen yang sangat berbeda, ‘Terang Bulan Terang di Kali’ pada tahun 1957, dan mulai menarik perhatian,” kata Rizal.

Rizal menilai cerpen SM Ardan dinilai dekat dengan permasalahan masyarakat, khususnya generasi muda yang tinggal di Jakarta.

Saat itu, kehidupan anak muda tidak pernah diceritakan dan buku dianggap sepele. Namun SM Ardan membawanya ke sastra dengan menggunakan bahasa Betawi.

“HB Jassin mengatakan SM Ardan bagian dari sastra Indonesia karena ia tidak berpura-pura menulis karya sastra Betawi, melainkan menulis teks-teks sosial tentang minoritas yang tinggal di Jakarta,” ujarnya.

Selain SM Ardan, ada juga Firman Muntaco yang menerbitkan karyanya dalam bentuk cerpen berdialog. Karyanya dimuat di rubrik “Cermin Jakarta” dan kemudian diubah menjadi “Gambang Jakarta” di surat kabar.

Menurut Rizal, Firman Muntaco menyebut karyanya sebagai lukisan dan disukai banyak siswa. Tampaknya dia sepenuhnya menggunakan bahasa Betawi dalam karyanya, katanya.

Firman Muntaco menulis dengan cepat seperti laporan, namun memiliki kualitas tulisan yang kemudian dianggap tidak biasa. “Dan sukses karena muridnya banyak,” kata Rizal.

Rizal mengatakan, Firman Muntaco dinilai sebagai sosok yang berperan penting dalam menjadikan bahasa Betawi sebagai lingua franca atau bahasa pengantar.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours