BKKBN: pendidikan rendah jadi tantangan edukasi stunting ke masyarakat

Estimated read time 2 min read

Semarang (ANTARA) – Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan rendahnya pendidikan menjadi salah satu tantangan dalam mengedukasi masyarakat tentang stunting atau tengkes.

Deputi Advokasi, Mobilisasi dan Informasi BKKBN (ADPIN), Sucario Teguh Santoso mengakui, tidak mudah bagi pihaknya untuk mengedukasi masyarakat mengenai perlambatan tersebut.

Harus diakui tidak mudah, tidak mudah mendidik dan mendidik masyarakat, kata Sukario dalam pertemuan di Semarang, Jawa Tengah, Selasa.

Dikatakannya, ada beberapa faktor yang menjadi kendala dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut, salah satunya adalah faktor pendidikan.

“Pertama, tingkat pendidikan saat ini masih tergolong rendah. Kemampuan menyerap keluarga ini tentu tidak secepat kemampuan mereka yang berpendidikan tinggi,” ujarnya.

Menurut Sucario, banyak orang yang menganggap anak stunting memiliki tubuh yang pendek.

“Kalau kita bicara masalah stunting, kita harus memahaminya dengan baik. Masyarakat tahu bahwa stunting itu pendek, namun tidak semua orang pendek mengalami stunting. Ada yang bilang stunting adalah penyakit. Itu penyakit, jadi tidak perlu diobati,” tambahnya.

Sucario menegaskan, stunting bukan disebabkan oleh faktor keturunan, melainkan karena faktor pola makan dan lingkungan.

Stunting tidak berasal dari stunting, lebih pada pola asuh yang baik dan faktornya bukan hanya makanan tapi juga lingkungan,” ujarnya.

Menurut Sucario, dengan banyaknya karakter masyarakat, permasalahan stunting harus disikapi dengan sabar.

“Jadi harus bersabar untuk menyosialisasikannya,” ujarnya.

Lebih lanjut Sukaryo mengatakan, program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu program khusus BKKBN dalam upaya menurunkan angka stunting.

Oleh karena itu, tetap diperlukan kerja keras, misalnya dengan meningkatkan partisipasi keluarga berencana, menunda atau memvariasikan kelahiran pada keluarga berisiko stunting dengan pelayanan keluarga berencana pasca melahirkan (KBPP), kata Sucario.

Metode KBPP, kata dia, digunakan segera setelah ibu melahirkan, sehingga merupakan upaya mengatasi kesenjangan pelayanan KB.

Sementara berdasarkan survei Sistem Kesehatan Indonesia (SKI), laju perlambatan pertumbuhan Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 21,5 persen, hanya berkurang 0,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 21,6 persen. Target yang ingin dicapai pada tahun 2024 adalah 14 persen.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours