BPK: Potensi kehilangan PNBP Rp3 triliun dari bebas visa kunjungan

Estimated read time 3 min read

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menegaskan Indonesia bisa kehilangan Rp 3,02 triliun (PNBP) setiap tahunnya jika menerapkan kebijakan peredaran bebas (BVK). .

Anggota I BPK RI; Nyoman Adhi Suryadnyana mengungkapkan, hal ini merupakan hasil pemeriksaan BPK RI terhadap integritas dan perpanjangan PNBP TA 2020 dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) semester I tahun 2022.

Sehubungan dengan hal tersebut, BPK merekomendasikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengkaji kebijakan BVK bekerja sama dengan lembaga terkait, kata Adhi dalam pidatonya di Jakarta, Jumat.

Sesuai saran BPK, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menerbitkan Peraturan Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-01.GR.01.07 tanggal 7 Juni 2023.

UU Menkumham untuk sementara menghentikan kunjungan gratis di dalam negeri; Dia mengatakan bahwa pemerintah Daerah Administratif Khusus negara tersebut dan beberapa lembaga dibatasi.

Menurut Adhi, hasil pemeriksaan BPK pasca keluarnya kebijakan penghentian sementara BPK menunjukkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah meningkatkan pelaksanaan PNBP pada tahun anggaran 2023.

“Dari target Rp4,21 triliun akan terealisasi Rp9,70 triliun atau 230 persen dari target.” Dengan demikian, kontribusi PNBP terhadap sektor pariwisata akan meningkat signifikan pada tahun 2023. Tercapai Rp7,61 triliun atau 327,03 persen target dari target Rp2,33 triliun,” ujarnya.

Adhi mengatakan kenaikan PNBP sebenarnya terkait dengan peningkatan jumlah pengunjung asing (WNA) ke Indonesia.

Berdasarkan informasi yang ada, Adhi menambahkan; Total kunjungan WNA pada tahun 2021 sebanyak 1.174.796 orang yang terdampak bencana Covid-19, dan selanjutnya meningkat menjadi 4.634.348 orang WNA pada tahun 2022.

Bahkan akan meningkat signifikan menjadi 10.632.034 orang asing pada tahun 2023. Dan kebijakan penghentian sementara BVK masih berlaku, ujarnya.

Untuk informasi anda, Untuk melanjutkan, Adhi. BVK telah dilaksanakan pemerintah sejak tahun 1983 dan telah mengalami banyak perubahan. Terakhir, kebijakan BVK ditetapkan dalam Perpres Nomor 21 Tahun 2016. 169 negara telah memutuskan untuk tidak melakukan perjalanan ke Indonesia melalui keputusan presiden.

“Dari 169 negara, BVK didukung oleh Warga Negara Indonesia (WNI) hanya di 35 negara. Artinya ada prinsip timbal balik, kata Adhi.

Sebelum Perpres tersebut terbit, negara-negara yang tidak menerapkan prinsip timbal balik wajib memiliki visa kedatangan (VKSK) untuk masuk ke wilayah Indonesia, kata Adhi.

Menurut Adhi, pasal-pasal terkait Perpres Nomor 21 Tahun 2016, belum dimulai pembangunannya oleh lembaga resmi dan juga tidak mendesak. Lebih lanjut, Perpres ini tidak menerapkan prinsip timbal balik.

Konsekuensinya, lanjut Adhi, jumlah kunjungan luar negeri negara subjek BVK pada tahun 2017-2020 terus meningkat tanpa mengikuti prinsip repatriasi. Jumlah pengunjung sebanyak 2.2272.040 orang.

“Operasi luar negeri meningkat, tapi PNBP merugi karena penerapan BVK,” ujarnya.

Adhi mengatakan, jika tarif VKSK yang digunakan saat ini sebesar Rp500, maka layanan visa on-arrival setidaknya akan merugi Rp11,13 triliun atau Rp3,02 triliun per tahun.

Selama krisis COVID-19, Nyoman Adhi Pemerintah telah menerapkan pembatasan masuknya orang asing ke wilayah Indonesia. Pada tanggal 20 Maret 2020, kebijakan BVK dihentikan sementara berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 8 Tahun 2020.

Kemudian, pada 15 September 2021, pemerintah menerbitkan Peraturan Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penerbitan Visa Keimigrasian dan Izin Tinggal. .

Pada tahun 2022, Adhi mengatakan; Departemen Imigrasi mengatakan, surat edaran akan dikeluarkan di banyak negara mengenai pariwisata BVK dan pariwisata khusus VKSK.

“Kebijakan tersebut dirumuskan untuk mendukung kebijakan pemerintah membuka kembali sektor pariwisata dan melaksanakan kegiatan pariwisata sebagai fasilitator pengembangan jaminan sosial,” ujarnya.

Kebijakan penghapusan BVK dan penerapan VKSK bersifat sementara. Sebab menurut Adhi, Kebijakan tersebut hanya sebagai respons terhadap situasi pandemi COVID-19 dan hanya merupakan peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Perpres Nomor 21 Tahun 2016 belum dicabut atau diganti, atau dapat diterapkan kembali dengan peraturan yang sama atau lebih tinggi.

“Jika kebijakan BVK 169 negara diterapkan kembali, maka negara subjek BVK akan kehilangan PNBP VKSK,” kata Adhi.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours