Budidaya Ikan Bioflok, Warga Depok Bentuk Ketahanan Pangan di Perkotaan

Estimated read time 4 min read

DEPOK – Pagi hari, Murji (45) berjalan menuju kolam lele bioflok yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Satu hari dalam seminggu dia bertanggung jawab memberi makan ribuan ikan lele dan nila.

Kolam yang didirikan 19 warga RT 10 RW 03 Desa Tirtajaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat itu berisi 4.000 bibit ikan. Kelompok tersebut mendapat modal dari program prakerja Covid-19 tahun 2020 dan diberi nama Lele Kita.

Modal Rp 40 juta dari program tersebut telah direalisasikan dalam bentuk bibit, bahan kolam dan pompa udara, pakan dan peralatan lainnya, kata Murjee.

Warga Tulungagung, Jawa Timur juga tergabung dalam kelompok tersebut. Bersama anggota lainnya, ia termasuk dalam kategori pencari nafkah tidak tetap yang diberdayakan melalui kegiatan budidaya ikan.

Ia pun mulai belajar dari anggota lain yang sudah berpengalaman mengelola ikan lele dan nila. Memberi dosis pakan ikan, mengetahui cara membuat kolam, serta mempelajari obat-obatan dan pakan probiotik yang mendorong pertumbuhan ikan adalah hal baru bagi pengemudi taksi internet ini.

“Kami memutuskan untuk menggunakan sistem bioflok yang mengandalkan pertumbuhan mikroorganisme di dalam kolam, karena hasilnya lebih tinggi dan limbahnya dapat didaur ulang menjadi pakan ikan,” kata Murji.

Lahan kosong seluas 200 meter persegi milik salah satu anggota merupakan tempat kelompok membudidayakan ikan. Sistem bioflok dinilai cocok karena menghemat lahan dan hemat biaya. Untuk 1000 ekor benih bisa diisi 10 meter kubik. Total kelompok ini membuat empat kolam terpal.

“Dalam setahun kami bisa panen ikan lele atau nila 3-4 kali. Hasil yang kami peroleh sebagian kami konsumsi dan sisanya kami jual ke pasar,” jelas Murji.

Untuk sekali panen dalam tiga hingga empat bulan, kelompok tersebut bisa mendapatkan 20 kilogram ikan. Jika dibagikan kepada anggota, masing-masing mendapat satu kilogram ikan. Pada musim tertentu, ikan tersebut dijual ke pengepul dengan harga rata-rata Rp 19.000 per kilogram. Uang hasil penjualan ditransfer ke kasir untuk membeli ikan lebih banyak.

Selama empat tahun terakhir, budidaya ikan mereka terus berkembang. Jumlah benih yang dibagikan bertambah sekitar 6000. Kelompok ini berharap hasilnya dapat memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.

“Alhamdulillah ikan-ikan tersebut dapat dikonsumsi oleh anggota kelompok dan tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk berobat, pakan dihasilkan secara alami dari bakteri penyebab penyakit yang ada di kolam,” kata Murji.

Budidaya ikan lele kelompok Lele Kita juga dipadukan dengan budidaya ikan lele di lahan terbatas. Berbagai tanaman sayur dan buah tumbuh di area sekitar kolam. Konsep pertanian terpadu, meski masih dalam tahap awal, kini mulai diterapkan.

Murji mengatakan, limbah kolam lele bisa dimanfaatkan untuk menyiram tanaman. Apalagi saat musim kemarau, ada kalanya sumber air di Depok cukup sulit. Sejumlah tanaman seperti daun pepaya juga bisa dijadikan makanan alami dan obat ikan lele.

Kesuksesan kolam bioflok milik kelompok Lele Kita menginspirasi warga lain untuk melakukan budidaya serupa. Inda Wulandari, salah satu anggota Dasa Wisma RT 08 RW 03 Kampung Serab, membuat kolam renang keramik berukuran 1 x 10 meter di halaman samping rumahnya. Kolam tersebut diisi dengan 500 bibit ikan lele.

Setiap tiga bulan ASN Komnas HAM bisa menangkap ikan lele dengan berat mencapai 70 kg. “Ikannya kami makan sendiri dan membaginya dengan tetangga kami,” katanya.

Ikan lele sendiri (Clarias gariepinus) telah terbukti tinggi akan nutrisi antara lain protein, fosfor, kalium, lemak, omega-3, omega-6 dan vitamin B12. Budidaya kolam bioflok ikan lele mencerminkan kesadaran warga akan pentingnya ketahanan pangan di wilayah sekitarnya. Mereka menciptakan sumber pangan sendiri di tengah terbatasnya lingkungan perkotaan sehingga mereka dapat memperoleh akses terhadap sumber protein hewani.

Dalam berbagai kesempatan, Direktur Jenderal Bidang Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) RI Suwandi menekankan pentingnya konsep pertanian terpadu. Sistem pertanian terpadu merupakan sistem integrasi pertanian yang mempertemukan beberapa sektor yaitu pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan kehutanan sebagai solusi untuk meningkatkan produktivitas lahan dan menjaga kelestarian lingkungan.

“Sektor pertanian Indonesia harus memiliki daya tahan agar dapat tetap eksis dalam menghadapi berbagai guncangan untuk menyediakan pangan bagi penduduk dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada tingkat mikro dan makro. “Model pertanian terpadu adalah jawaban yang salah,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Kementerian Pertanian saat ini mengidentifikasi lima bidang kerja untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan reformasi sosial pasca pandemi COVID-19. Program ini meliputi program menjamin akses dan konsumsi pangan berkualitas (program khusus), program peningkatan daya saing industri (program lintas K/L), penelitian dan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (program lintas K/L). /A program), pendidikan dan pelatihan profesional, dan program dukungan manajemen.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours